Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Twilight Saga: Eclipse Part 1 ~ Lintas info pc

Senin, 25 Juni 2012

Twilight Saga: Eclipse Part 1

Cara Download Novel
 Klick Donwload Novel Ini di atas
Klick Skip Ad / Lewati pada pojok kanan atas layar anda



Penulis :
Stephenie Meyer


Pendahuluan

SEMUA usaha kami untuk berdalih sia-sia belaka.
Dengan hari dingin dicekam ketakutan, kulihat ia
bersiap-siap membelaku. Konsentrasinya yang intens tak
menunjukkan sedikit pun keraguan, meskipun ia kalah
jumlah. Aku tahu kami tak bisa mengharapkan bantuan
saat ini, keluarganya sedang berjuang mati-matian
mempertahankan nyawa mereka, seperti yang ia lakukan
untuk kami.


Apakah aku akan mengetahui hasil pertempuran lainnya.
Mengetahui siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Masih hidupkah aku sehingga bisa mengetahuinya?
Peluangnya tidak begitu menggembirakan.
Mata hitam, liar dengan nafsu menggelora untuk
membunuhku, mencari-cari peluang ketika pelindungku
lengah. Momen saat aku pasti bakal mati.
Nun jauh di sana, di dalam hutan yang dingin, seekor
serigala melolong.


1. Ultimatum
Bella...
Aku tidak mengerti kenapa kau repot-repot menitipkan pesan
pada Charlie untuk disampaikan ke Billy, seperti anak SD saja.
Kalau aku memang mau bicara denganmu aku kan tinggal
menerima
Kau sendiri kan yang sudah menetapkan pilihan. Kau tidak
bisa memilih dua-duanya kalau
Bagian mana dari "musuh bebuyutan" yang terlalu rumit
bagimu untuk...
Begini, aku tau sikapku ini menyebalkan, tapi tidak ada jalan
lain.
Kita tidak bisa berteman kalau kau tetap bergaul dengan
segerombolan..
Keadaan akan lebih susah kalau aku terlalu sering
memikirkanmu, jadi jangan menulis surat lagi
Yeah, aku juga kangen padamu. Sangat. Tapi tidak mengubah
keadaan. Maaf.

Jacob
AKU meraba kertas itu, merasakan lekukan-lekukan
tempat Jacob menekankan bolpoinnya begitu kuat sampai
kertasnya nyaris robek, Aku bisa membayangkan ia
menuliskannya menggoreskan kalimat-kalimat bernada
marah itu dengan tulisan tangannya yang kasar, mencoret
kalimat demi kalimat ketika kata-kata yang tertulis ternyata
salah, mungkin bahkan mematahkan bolpoinnya dengan
tangannya yang kelewat besar itu: tidak heran kertasnya
berlepotan tinta begini. Aku bisa membayangkan perasaan
frustrasi membuat alis hitamnya bertaut dan keningnya
berkerut. Seandainya ada di sana, aku pasti sudah tertawa
terbahak-bahak. Jangan sampai kau kena perdarahan otak,
Jacob, aku akan berkara begitu padanya. Keluarkan saja
semua unek-unekmu.
Tapi sekarang aku sama sekali tak ingin tertawa, saat
membaca kembali kata-kata yang sudah kuhafal luar kepala
itu, Jawabannya terhadap pesan mengiba-iba yang
kukirimkan kutitipkan lewat Charlie untuk disampaikan
kepada Billy dan lalu pada Jacob, seperti anak SD, seperti


katanya dalam surat – tidaklah mengejutkan. Aku sudah
tahu inti surat ini sebelum membukanya. Yang
mengejutkan adalah betapa besarnya setiap kata yang
dicoret itu melukai hariku seakan-akan setiap hurufnya
tajam-tajam. Lebih lagi, di balik setiap permulaan kalimat
yang bernada marah tersimpan perasaan sakit hati;
kepedihan Jacob mengoyak-ngoyak hariku lebih dalam
daripada kepedihanku sendiri.
Saat memikirkan ini hidungku mencium bau yang tidak
salah lagi bau gosong yang menyeruak dari arah dapur. Di
rumah lain, fakta ada orang lain selain aku yang memasak
mungkin tidak akan menyebabkan kepanikan.
Aku menjejalkan kertas lecek itu kembali ke saku
belakang celana dan berlari, dan dalam sekejap sudah
sampai di lantai bawah.
Stoples berisi saus spageti yang dimasukkan Charlie ke
microwave baru berputar sekali waktu aku menyentakkan
pintunya hingga terbuka dan mengeluarkan stoples itu.
"Lho, apa salahku?" tuntut Charlie.
"Buka dulu tutupnya, Dad. Logam tidak bisa
dimasukkan ke microwave.”
Sambil bicara, dengan cekatan aku membuka tutup
stoples, menuangkan setengah isinya ke mangkuk,
kemudian memasukkan mangkuk itu ke microwave dan
stoples ke kulkas; kuprogram lagi waktunya dan kutekan
tombol start.
Charlie memerhatikan kesibukanku dengan bibir
mengerucut. "Apa aku memasak spagetinya dengan benar?"
Aku melongok ke panci di atas kompor – sumber bau
yang membuatku panik tadi.
 
"Perlu diaduk.” kataku kalem,
Aku meraih sendok dan berusaha melepaskan gumpalan
spageti lengket yang menempel di dasar panci.
Charlie mendesah.
”Ada apa ini?" tanyaku.
Charlie bersedekap dan memandang ke luar jendela
belakang, ke hujan yang turun deras. “Aku tidak mengerti
maksudmu.” gerutunya.
Aku keheranan. Charlie memasak? Dan kenapa sikapnya
masam begitu? Edward kan belum datang; biasanya ayahku
menyimpan sikap itu khusus untuk pacarku, sebisa
mungkin berusaha menunjukkan sikap, "kau tidak
diterima” dalam setiap kata dan tindak-tanduknya. Usaha
Charlie itu sebenarnya tidak perlu – Edward tahu persis apa
yang dipikirkan ayahku tanpa ia perlu repot-repot
menunjukkannya.
Sambil mengaduk aku memikirkan istilah "pacar"
dengan perasaan tegang dan tidak suka. Itu bukan istilah
yang tepat, sama sekali tidak tepat. Aku membutuhkan
istilah lain yang lebih ekspresif untuk menggambarkan
komitmen abadi ... Tapi istilah takdir kedengarannya konyol
bila digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Edward punya istilah lain, dan istilah itulah yang
menjadi sumber ketegangan yang kurasakan.
Memikirkannya saja sudah membuatku kalang kabut.
Tunangan. Ugh. Aku bergidik membayangkannya.
"Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba Dad masak
sendiri?" tanyaku. Gumpalan pasta timbul-tenggelam di air
mendidih waktu kutusuk-tusuk. "Atau mencoba masak
sendiri, mungkin lebih tepat begitu."


Charlie mengangkat bahu. "Tak ada hukum yang
mengatakan aku tak boleh masak di rumahku sendiri."
"Soal itu memang Dad yang paling tahu.” sahutku,
tersenyum sambil melirik lencana yang tersemat di jaket
kulitnya.
"Ha. Lucu juga.” Charlie melepas jaketnya seolah-olah
lirikanku tadi mengingatkannya bahwa ia masih
mengenakan jaket, lalu menggantungnya di gantungan
khusus untuk perlengkapan kerjanya. Sabuk pistolnya
sudah tergantung di tempat – sudah berminggu-minggu,
Charlie tidak merasa perlu memakainya lagi. Tidak ada lagi
kasus orang-orang hilang yang mengganggu ketenteraman
kota kecil Forks, Washington, tidak ada lagi yang mengaku
melihat serigala-serigala raksasa misterius di hutan yang
selalu berhujan ....
Kutusuk-tusuk spageti itu sambil berdiam diri, menduga
dalam hati, cepat atau lambat Charlie pasti akan mulai
mengeluarkan unek-uneknya. Ayahku bukan tipe orang
yang banyak bicara, dan usahanya memasak makan malam
sendiri mengisyaratkan pasti ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
Mataku lagi-lagi melirik jam dinding – sesuatu yang
kulakukan beberapa menit sekali. Kurang dari setengah jam
lagi sekarang.
Sore hari merupakan bagian terberat dalam hari-hariku.
Sejak mantan sahabatku (dan werewolf), Jacob Black,
membocorkan rahasia bahwa selama ini aku diam-diam
naik sepeda motor – pengkhianatan yang sengaja
dilakukannya supaya aku dihukum sehingga tak bisa
menghabiskan waktu dengan pacarku (dan vampir),
Edward Cullen – Edward hanya diizinkan menemuiku dari
jam tujuh sampai setengah sepuluh malam, selalu di rumah


dan di bawah pengawasan ayahku yang memandang
garang.
Ini bentuk hukuman baru yang sedikit lebih berat
daripada hukuman sebelumnya yang kudapat gara-gara
menghilang selama tiga hari tanpa penjelasan dan satu
kejadian ketika aku terjun bebas dari puncak tebing.
Tentu saja aku masih bisa bertemu Edward di sekolah,
karena tak ada yang bisa dilakukan Charlie untuk
mencegahnya. Dan Edward juga melewatkan hampir setiap
malam di kamarku, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan
Charlie. Kemampuan Edward memanjat dengan mudah
dan tanpa suara ke jendela kamarku. di lantai dua sama
bergunanya dengan kemampuannya membaca pikiran
Charlie.
Walaupun aku hanya tidak bertemu Edward pada sore
hari, itu sudah cukup membuatku gelisah, dan waktu
rasanya selalu berjalan sangat lambat. Meski begitu aku
menjalani hukumanku tanpa mengeluh karena – pertama –
aku tahu aku memang pantas mendapatkannya, dan –
kedua – karena aku tak tega menyakiti hati ayahku dengan
pindah sekarang, di saat perpisahan yang jauh lebih
permanen sudah menanti, tak bisa dilihat Charlie, tapi
begitu dekat di pelupuk mataku.
Ayahku duduk di meja sambil menggeram dan membuka
lipatan koran yang lembab; beberapa detik kemudian ia.
sudah mendecak-decakkan lidah dengan sikap tidak suka.
"Entah kenapa kau masih membaca koran, Dad, kalau
itu hanya .. membuatmu kesal.”
Charlie mengabaikanku, lalu mengomeli koran di
tangannya. "Inilah sebabnya orang senang tinggal di kota
kecil! Konyol."


"Memang apa salahnya kalau di kota besar?”
"Seattle terancam menjadi kota yang angka
pembunuhannya paling tinggi di negara ini. Lima kasus
pembunuhan dalam dua minggu terakhir. Terbayang tidak,
hidup seperti itu?"
"Kurasa kasus pembunuhan di Phoenix malah lebih
tinggi lagi, Dad. Aku pernah hidup seperti itu.” Dan aku
baru terancam menjadi korban pembunuhan setelah pindah
ke kota kecilnya yang aman ini. Faktanya, sekarang pun
aku masih jadi target pembunuhan beberapa pihak ....
Sendok bergoyang di tanganku, membuat airnya bergetar.
"Well, dibayar berapa pun aku tidak akan mau.” tukas
Charlie.
Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan makan
malam, dan memutuskan menghidangkannya saja; aku
terpaksa menggunakan pisau steak untuk memotong seporsi
spageti untuk Charlie dan untukku sendiri, sementara
Charlie memerhatikan dengan ekspresi malu. Charlie
melapisi spageti bagiannya dengan saus dan langsung
menyendoknya. Aku menutupi gumpalan pasta bagianku
sebaik mungkin dengan saus dan ikut makan tanpa sedikit
pun merasa antusias. Sejenak kami makan sambil berdiam
diri, Charlie masih menyimak berita di koran, jadi kuambil
lagi Wuthering Heights-ku yang tadi kubaca saat sarapan,
berusaha menenggelamkan diri dalam kisah peralihan abad
di Inggris sambil menunggu Charlie bicara.
Aku baru sampai ke bagian ketika Heathcliff kembali
waktu Charlie berdeham-deham dan melempar korannya ke
lantai.
"Kau benar.” kara Charlie. “Aku memang punya alasan
melakukan ini.” Ia melambaikan garpu ke hidangan
lengket di hadapannya. "Aku ingin bicara denganmu."


Kusingkirkan bukuku; jilidnya sudah lepas hingga buku
itu langsung terkulai lemas di meja. "Dad kan bisa langsung
mengajakku bicara saja."
Charlie mengangguk, alisnya bertaut, "Yeah. Iain kali
akan kuingat. Kupikir dengan memasakkan makan malam
bisa meluluhkan hatimu."
Aku tertawa. "Memang berhasil – kemampuan Dad
memasak membuatku lembek seperti marshmallow. Dad
mau membicarakan apa?"
"Well, ini soal Jacob.”
Aku merasa wajahku mengeras. "Memangnya kenapa ?”
tanyaku dengan bibir kaku.
"Tenang, Bells. Aku tahu kau masih kesal padanya
karena mengadukan ulahmu padaku, tapi tindakannya itu
benar. Itu namanya bertanggung jawab."
"Tanggung jawab apa.” sergahku sengit, memutar bola
mata. "Yang benar saja. Memangnya ada apa dengan
Jacob?"
Pertanyaan itu kuulang lagi dalam benakku, sama sekali
bukan pertanyaan sepele. Memangnya ada apa dengan
Jacob? Aku harus bagaimana lagi menghadapi dia? Mantan
sahabatku yang sekarang .. apa Musuhku? Aku meringis.
Wajah Charlie mendadak kecut. "Jangan marah
padanya, oke?"
"Marah?"
"Well, ini tentang Edward juga.”
Mataku menyipit.
Suara Charlie semakin serak. ”Aku mengizinkannya
datang ke sini, kan ?”


"Ya, memang.” aku mengakui. "Tapi hanya sebentar.
Tentu saja, sesekali Dad mungkin bisa mengizinkan aku
keluar rumah sebentar.” Aku melanjutkan – hanya
bercanda; soalnya aku tahu aku tidak boleh keluar rumah
sampai akhir tahun ajaran. "Belakangan ini kan aku sudah
bersikap baik.”
"Well, sebenarnya itu juga tujuanku mengajakmu
bicara.”
Kemudian wajah Charlie mendadak merekah
membentuk senyuman lebar; sesaat ia tampak seolah-olah
dua puluh tahun lebih muda.
Aku melihat secercah kemungkinan dalam seringaian
lebar itu, tapi aku tidak mau keburu senang. "Aku bingung,
Dad. Kita sedang membicarakan Jacob, Edward, atau aku
yang dihukum tidak boleh keluar rumah?"
Seringaian lebar itu muncul lagi. "Bisa dibilang tigatiganya."
"Lantas, bagaimana ketiganya bisa saling berhubungan?"
tanyaku, hati-hati,
"Oke.” Charlie mendesah, mengangkat tangan seperti
menyerah. "Kupikir, mungkin kau pantas mendapat
pembebasan bersyarat karena telah berkelakuan baik.
Sebagai remaja, kau luar biasa karena menjalani hukuman
tanpa mengeluh."
Suara dan alisku serta-merta terangkat. "Sungguh? Aku
bebas?"
Bagaimana bisa Padahal aku yakin akan dikurung di
rumah sampai benar-benar pindah dari sini. Apalagi
Edward tidak menangkap sinyal-sinyal keraguan dalam
pikiran Charlie ...


Charlie mengacungkan telunjuknya. "Dengan satu
syarat." Antusiasmeku langsung lenyap.
"Fantastis.” erangku.
"Bella, lebih tepat bila ini dibilang permintaan, bukan
tuntutan, oke? Kau bebas. Tapi harapanku, kau akan
menggunakan kebebasan itu .. secara bijaksana."
"Maksudnya?”
Lagi-lagi Charlie mendesah. "Aku tahu kau sudah cukup
puas menghabiskan seluruh waktumu dengan Edward ..”
"Aku juga berteman dengan Alice.” selaku. Saudara
perempuan Edward itu bebas datang ke rumahku kapan
saja, tanpa batasan; dia bisa datang dan pergi semaunya,
Charlie tidak bisa berbuat apa-apa kalau berhadapan
dengan Alice.
"Memang benar.” kata Charlie. "Tapi kau punya temanteman
lain selain anggota keluarga Cullen, Bella. Atau dulu
kau begitu.”
Kami berpandang-pandangan lama sekali.
"Kapan terakhir kau ngobrol dengan Angela Weber?"
tantang Charlie.
"Hari Jumat waktu makan siang.” jawabku langsung.
Sebelum kepulangan Edward, teman-teman sekolahku
sudah terbagi dalam dua kelompok. Aku menyebutnya
kelompok baik vs kelompok jahat. Atau kelompok kami
dan mereka. Yang masuk kelompok baik adalah Angela
dan pacarnya, Ben Cheney, serta Mike Newton; mereka
dengan murah hati memaafkan kelakuanku yang berubah
sinting waktu Edward pergi. Iauren Mallory adalah sumber
kejahatan di kelompok mereka, dan hampir semua temanku
yang lain, termasuk teman pertamaku di Forks, Jessica


Stanley, yang sepertinya tetap menjalankan agenda anti
Bella.
Dengan kembalinya Edward, garis pemisah di antara
kedua kubu semakin terlihat jelas.
Kembalinya Edward membuat Mike agak menjauhiku,
tapi Angela tetap setia padaku, sementara Ben ikut saja
dengannya. Meski ada sikap segan alami yang dirasakan
sebagian besar manusia terhadap keluarga Cullen, namun
dengan tenangnya Angela duduk di sebelah Alice setiap
hari saat jam makan siang. Tapi setelah beberapa minggu,
Angela bahkan terlihat nyaman di sana. Sulit untuk tidak
terpesona pada keluarga Cullen – asalkan mereka diberi
kesempatan untuk bersikap memesona.
"Di luar sekolah?” tanya Charlie, menggugah
perhatianku lagi.
"Aku tidak pernah bertemu siapa-siapa di luar sekolah,
Dad. Aku dihukum, ingat? Dan Angela juga punya pacar.
Dia selalu bersama Ben. Kalau aku benar-benar bebas.”
aku menambahkan dengan sikap skeptis, "mungkin kami
bisa kencan ganda.”
"Oke, Tapi...” Charlie ragu,ragu sejenak, "Kau dan Jake
dulu kan akrab sekali, tapi sekarang ”
Aku langsung memotong perkataannya. "Bisa langsung
ke pokok masalah, Dad? Apa persyaratan Dad –
sebenarnya?"
"Menurutku, tidak seharusnya kau melupakan semua
temanmu hanya karena kau sudah punya pacar, Bella.”
kata Charlie tegas. "Itu tidak baik, dan kurasa hidupmu
akan lebih seimbang kalau kau juga berhubungan dengan
orang-orang lain. Yang terjadi bulan September waktu
itu...”


Aku terkesiap.
"Well.” sergah Charlie dengan, sikap defensif. "Kalau
kau punya kehidupan lain di luar Edward Cullen, mungkin
kejadiannya tidak akan seperti waktu itu."
"Jadinya akan persis seperti waktu itu."
"Mungkin, tapi mungkin juga tidak.”
"Intinya?" aku mengingatkan Charlie.
"Gunakan kebebasan barumu untuk menemui temantemanmu
yang lain juga. Bersikaplah seimbang."
Aku mengangguk lambat-lambat. "Keseimbangan
memang perlu. Apa aku juga diwajibkan memenuhi kuota
waktu tertentu?”
Charlie mengernyitkan wajah, tapi menggeleng. "Tidak
usah yang rumit-rumit, Yang penting jangan lupakan
teman-temanmu ....”
Itu dilema yang sedang kuhadapi. Teman-temanku.
Orang-orang yang demi keselamatan mereka sendiri, takkan
bisa kutemui lagi setelah lulus nanti.
Jadi apa yang sebaiknya kulakukan? Menghabiskan
waktu bersama mereka selagi bisa? Atau memulai
perpisahan sejak sekarang secara berangsur-angsur? Gentar
juga aku membayangkan pilihan kedua.
“...terutama Jacob.” imbuh Charlie sebelum aku sempat
berpikir lebih jauh lagi.
Itu dilema yang lebih besar lagi. Butuh beberapa saat
sebelum menemukan kata-kata yang tepat. "Jacob mungkin
akan ... sulit.”
"Keluarga Black sudah seperti keluarga kira sendiri,
Bella.” kata Charlie, nadanya kembali tegas dan


kebapakan. "Dan selama ini Jacob sudah menjadi teman
yang sangat, sangat baik bagimu.”
"Aku tahu itu."
"Memangnya kau tidak kangen sama sekali padanya?”
tanya Charlie, frustrasi.
Tenggorokanku mendadak bagai tersumbat; aku harus
menelan dua kali sebelum menjawab. "Ya, aku kangen
padanya.” aku mengakui, tetap menunduk. "Aku kangen
sekali padanya.”
"Jadi, apa sulitnya?"
Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Tak seharusnya
orang-orang normal – manusia biasa seperti aku dan Charlie
– mengetahui tentang dunia rahasia yang penuh mitos dan
monster yang diam-diam ada di sekitar kami. Aku kenal
benar dunia itu – dan akibatnya aku terlibat masalah yang
tidak kecil. Aku tak ingin Charlie terlibat dalam masalah
yang sama.
"Dengan Jacob ada sedikit... konflik.” kataku lambatlambat.
"Konflik soal persahabatan itu sendiri, maksudku.
Persahabatan tampaknya tidak cukup bagi Jake.” Aku
menyodorkan alasan berdasarkan detail-detail yang
meskipun benar tapi tidak signifikan, nyaris tidak krusial
dibandingkan fakta bahwa kawanan werewolf. Jacob sangat
membenci keluarga vampir Edward – dan dengan demikian
membenciku juga, karena aku benar-benar ingin bergabung
dengan keluarga itu. Itu bukan masalah yang bisa
dibereskan hanya dengan mengirim pesan, apalagi Jacob
tidak mau menerima teleponku. Tapi rencanaku untuk
bertemu langsung si werewolf ternyata tidak disetujui para
vampir.


“Apa Edward tidak bisa bersaing secara sehat?" suara
Charlie terdengar sarkasris sekarang,
Kulayangkan pandangan sengit padanya. "Tidak ada
persaingan kok."
"Kau melukai perasaan Jake, menghindarinya seperti ini,
Dia lebih suka menjadi teman daripada tidak menjadi apaapa."
Oh, jadi sekarang aku yang menghindari dia?
"Aku sangat yakin Jake tidak mau, menjadi teman sama
sekali.” Kata-kata itu membakar mulutku. "Omong-omong,
dari mana Dad mendapat pikiran seperti itu?"
Sekarang Charlie tampak malu. "Yah, dari
omong~omong dengan Billy hari ini tadi...”
"Dad dan Billy bergosip seperti perempuan tua.”
keluhku, menusukkan garpu dengan ganas ke gumpalan
spagetiku.
"Billy khawatir memikirkan Jacob.” kata Charlie. "Jake
sedang mengalami masa sulit sekarang.... Dia depresi.”
Aku meringis, namun tetap mengarahkan mataku ke
piring.
"Dan dulu kau selalu terlihat sangar bahagia sehabis
bertemu Jake.” Charlie mengembuskan napas.
"Aku bahagia sekarang.” geramku garang dari sela-sela
gigi. Kontrasnya pernyataanku dengan nada suaraku
memecah ketegangan. Tawa Charlie meledak dan aku ikutikutan
tertawa.
"Oke, oke.” aku setuju. "Seimbang.”
"Dan Jacob.” desak Charlie.
"Akan kucoba.”


"Bagus. Temukan keseimbangan itu, Bella. Dan, oh, ya,
kau dapat surat.” kara Charlie, berlagak lupa. "Kutaruh di
dekat kompor."
Aku bergeming, pikiranku kusut memikirkan Jacob.
Paling-paling kiriman brosur promosi dan semacamnya;
kemarin aku baru mendapat kiriman paket dari ibuku, jadi
tidak ada kiriman lain yang kutunggu.
Charlie mendorong kursinya menjauhi meja, lalu berdiri
dan meregangkan otot-ototnya. Ia membawa piringnya ke
bak cuci, tapi sebelum menyalakan keran untuk
membilasnya, berhenti sebentar untuk melemparkan
amplop tebal itu ke arahku. Amplop itu meluncur melintasi
meja makan dan membentur sikuku.
"Eh, trims.” gumamku, bingung melihat sikap Charlie
yang begitu gigih ingin agar aku segera membuka surat ini.
Baru kemudian kulihat alamat pengirimnya – University of
Alaska Southeast. "Cepat juga. Padahal kupikir batas
waktunya sudah lewat."
Charlie terkekeh.
Aku membalik amplop lalu mendongak dan menatap
Charlie dengan garang. "Kok sudah dibuka?"
"Aku penasaran.”
"Aku syok, Sherrif. Itu kejahatan serius."
"Oh, baca sajalah."
Kukeluarkan surat itu dari amplop beserta jadwal kuliah
yang terlipat.
"Selamat.” kara Charlie sebelum aku sempat membaca
isinya. "Surat penerimaanmu yang pertama.”
"Trims, Dad.”


"Kira harus membicarakan masalah uang kuliah. Aku
punya sedikit tabungan...”
"Hei, hei, tidak usah, Aku tidak mau menyentuh uang
pensiunmu, Dad. Aku kan sudah punya dana kuliah.”
Yang masih tersisa dari dana kuliah – dan jumlah awalnya
memang tidak seberapa.
Kening Charlie berkerut. "Beberapa universitas
menetapkan uang masuk yang lumayan mahal, Bells. Aku
ingin membantu. Kau tidak perlu pergi jauh-jauh ke Alaska
hanya karena di sana biayanya lebih murah.”
Bukan karena lebih murah, sama sekali bukan. Tapi
karena jaraknya sangat jauh, dan karena Juneau memiliki
jumlah hari mendung rata-rata 321 hari dalam setahun.
Yang pertama adalah persyaratanku, yang kedua
persyaratan Edward.
"Uangku cukup kok. lagi pula banyak bantuan keuangan
yang tersedia. Jadi mudah saja mendapat pinjaman.”
Mudah-mudahan gertakanku mempan. Soalnya aku belum
benar-benar mencari tahu mengenai hal itu.
"Jadi...” Charlie memulai, tapi kemudian mengerucutkan
bibir dan membuang muka.
“Jadi apa?”
"Tidak apa-apa. Aku hanya...” Keningnya berkerut.
"Aku hanya ingin tahu ... apa rencana Edward untuk tahun
depan?"
"Oh.”
"Well?"
Tiga ketukan cepat di pintu menyelamatkanku. Charlie
memutar bola matanya dan aku melompat berdiri.


"Tunggu sebentar!" seruku sementara Charlie
menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti,
"Pergi sana". Aku tidak menggubrisnya dan berlari
membukakan pintu bagi Edward.
Kurenggut pintu hingga terbuka – dengan sangat
bersemangat – dan kulihat ia berdiri di sana, mukjizat
pribadiku.
Waktu tidak membuatku kebal terhadap kesempurnaan
wajahnya, dan aku yakin tidak akan pernah menganggap
sepele aspek apa pun yang ada dalam dirinya. Mataku
menyusuri garis-garis wajahnya yang putih: rahang
perseginya yang kokoh, lekuk bibir penuhnya yang lembut –
bibir itu sekarang menekuk membentuk senyuman, garis
hidungnya yang lurus, tulang pipinya yang tajam mencuat,
dahinya yang mulus seperti marmer-agak tersembunyi di
balik rambut tembaga yang gelap akibat hujan ....
Aku sengaja menyisakan matanya untuk kulihat terakhir,
tahu saat aku menatapnya nanti, besar kemungkinan
pikiranku akan melantur sejenak. Mata itu lebar, hangat
seperti emas cair, dan dibingkai bulu mata hitam tebal.
Menatap matanya selalu membuatku merasa luar biasa –
seolah-olah tulangku berubah jadi spons. Kepalaku juga
sedikit ringan, tapi bisa jadi itu karena aku lupa menarik
napas. lagi.
Cowok mana pun di dunia ini pasti rela menukar jiwa
mereka untuk mendapatkan wajah setampan itu. Tentu
saja, bisa jadi memang itulah harga yang harus dibayar:
jiwa manusia.
Tidak. Aku tidak memercayai hal itu. Bahkan
memikirkannya saja sudah membuatku merasa bersalah,
dan merasa senang – seperti yang sering kali kurasakan –


karena akulah satu-satunya manusia yang pikirannya tak
bisa dibaca Edward.
Kuraih tangannya, dan mendesah ketika jari-jarinya yang
dingin menggenggam tanganku. Sentuhannya membawa
kelegaan yang sangat aneh – seolah-olah tadi aku merasa
kesakitan dan perasaan sakit itu mendadak lenyap.
"Hai,” Aku tersenyum kecil mendengar sapaanku yang
antiklimaks.
Edward mengangkat tangan kami yang saling bertaut
dan membelai pipiku dengan punggung tangannya.
"Bagaimana soremu?"
"Lamban.”
"Begitu juga aku.”
Edward menarik pergelangan tanganku ke wajahnya,
tangan kami masih bertaut. Matanya terpejam sementara
hidungnya menjalari kulit tanganku, dan ia, tersenyum
lembut tanpa membuka mata. Menikmati hidangan tapi
menolak anggurnya, begitu Edward pernah mengistilahkan.
Aku tahu bau darahku – jauh lebih manis baginya
dibandingkan darah manusia lain, benar-benar seperti
anggur disandingkan dengan air bagi pencandu alkohol –
membuatnya tersiksa dahaga luar biasa. Tapi sepertinya ia
tidak menjauhinya lagi sesering dulu. Samar-samar aku
hanya bisa membayangkan betapa luar biasa usaha Edward
menahan diri di balik tindakan yang sederhana ini.
Lalu aku mendengar langkah-langkah Charlie mendekat,
mengentak-entak seolah ingin menunjukkan perasaan tidak
sukanya pada tamu kami. Mata Edward langsung terbuka
dan ia membiarkan tangan kami jatuh, tapi tetap saling
bertaut.


"Selamat malam, Charlie,” Edward selalu bersikap
sangat sopan, walaupun Charlie tak pantas mendapat
perlakuan sebaik itu.
Charlie menjawab dengan geraman, lalu berdiri di sana
sambil bersedekap. Belakangan ia benar-benar ekstrem
menjalankan peran sebagai orangtua yang mengawasi
gerak-gerik anaknya.
"Aku membawa beberapa formulir pendaftaran lagi,”
kara Edward sambil mengacungkan amplop manila yang
tampak menggembung. Di kelingkingnya melingkar sebaris
prangko.
Aku mengerang. Memangnya masih ada kampus yang
membuka pendaftaran dan ia belum memaksaku mendaftar
ke sana? Dan bagaimana ia bisa menemukan kampuskampus
yang masih membuka pendaftaran? Padahal
sekarang sudah sangat terlambat.
Edward tersenyum seolah-olah bisa membaca pikiranku,
pasti karena ekspresiku menyiratkan keheranan. “Ada
beberapa kampus yang masih membuka pendaftaran.
Beberapa lagi bersedia memberi pengecualian.”
Aku hanya bisa membayangkan motivasi di balik
pengecualian semacam itu. Serta jumlah uang yang terlibat.
Edward tertawa melihat ekspresiku.
"Bagaimana, setuju?” tanyanya, menyeretku ke meja
dapur.
Charlie mendengus dan menguntit di belakang,
walaupun tentu saja ia tak bisa memprotes aktivitas malam
ini. Setiap hari ia merongrongku untuk segera mengambil
keputusan hendak kuliah di mana.


Aku cepat-cepat membereskan meja sementara Edward
menyiapkan setumpuk formulir yang kelihatannya
menyeramkan. Ketika aku memindahkan Wuthering Heights
ke konter dapur, Edward mengangkat sebelah alis. Aku
tahu apa yang ia pikirkan, tapi Charlie sudah menyela
sebelum Edward bisa berkomentar.
"Omong-omong soal pendaftaran kuliah, Edward,” kata
Charlie, nadanya bahkan terdengar lebih masam lagi –
selama ini ia berusaha menghindar bicara langsung kepada
Edward, dan saat harus melakukannya, hal itu semakin
memperburuk suasana hatinya yang memang sudah jelek.
"Bella dan aku baru saja membicarakan masalah tahun
depan. Kau sudah memutuskan mau kuliah di mana?"
Edward menengadah dan tersenyum kepada Charlie,
nadanya bersahabat, "Belum. Aku sudah diterima di
beberapa universitas, tapi aku masih menimbangnimbang...”
"Kau sudah diterima di mana saja?” desak Charlie.
"Syracuse... Harvard... Dartmouth... dan hari ini aku
mendapat kepastian diterima di University of Alaska
Southeast.”
Edward agak memiringkan wajahnya supaya bisa
mengedipkan mata padaku. Aku menahan tawa.
"Harvard? Dartmouth?" gumam Charlie, tak mampu
menyembunyikan kekagumannya. "Well, itu sangat... hebat
sekali. Yeah, tapi University of Alaska... kau tentu tak
mungkin mempertimbangkan untuk kuliah di sana kalau
bisa kuliah di kampus-kampus Ivy League, kan? Maksudku,
ayahmu pasti ingin kau kuliah di sana...”
"Carlisle selalu setuju apa pun pilihanku,” kata Edward
pada Charlie kalem.


"Hmph.”
"Tahu tidak, Edward?" seruku ceria, sok lugu.
"Apa, Bella?”
Aku menuding amplop tebal di konter, "Aku juga baru
mendapat kepastian diterima di University of Alaska.”
"Selamat!" Edward nyengir. "Kebetulan sekali.”
Mata Charlie menyipit sementara ia bergantian
memelototi kami. "Terserahlah,” gerutunya sejurus
kemudian, “Aku mau nonton pertandingan dulu, Bella.
Setengah sepuluh.”
Itu pesan yang selalu ia lontarkan sebelum meninggalkan
aku bersama Edward.
"Eh, Dad? Masih ingat kan pembicaraan kita tadi
mengenai kebebasanku .. .?"
Charlie mendesah. "Benar, Oke, sepuluh tiga puluh. Kau
masih punya jam malam pada malam sekolah.”
"Bella sudah tidak dihukum lagi?” tanya Edward.
Walaupun aku tahu ia tidak benar-benar terkejut, namun
aku tak bisa mendeteksi nada pura-pura dalam suaranya
yang mendadak girang.
"Dengan syarat tertentu,” koreksi Charlie dengan gigi
terkatup rapat. "Apa hubungannya denganmu?”
Aku mengerutkan kening pada ayahku, tapi ia tidak
melihat.
"Senang saja mengetahuinya,” kata Edward. "Alice
sudah tak sabar ingin ditemani shopping, dan aku yakin
Bella pasti sudah kepingin sekali melihat lampu-lampu
kota.” Edward tersenyum padaku.


Tapi Charlie meraung, "Tidak!" dan wajahnya berubah
ungu.
"Dad! Memangnya kenapa?”
Charlie berusaha keras menggerakkan rahangnya yang
terkatup rapat. "Aku tidak mau kau pergi ke Seattle
sekarang-sekarang ini.”
"Hah?”
“Aku kan sudah cerita tentang berita di koran itu – ada
geng yang membunuh banyak orang di Seattle, jadi aku
tidak mau kau pergi ke sana, oke?"
Kuputar bola mataku, "Dad, lebih besar kemungkinan
aku disambar petir daripada jadi korban pembunuhan
massal di Seattle-"
"Tidak, tenanglah, Charlie,” sela Edward, memotong
perkataanku. "Maksudku bukan ke Seattle. Yang kumaksud
sebenarnya Portland. Aku tidak akan mengajak Bella ke
Seattle. Tentu saja tidak.”
Kutatap Edward dengan sikap tidak percaya, tapi ia
mengambil koran Charlie dan langsung membaca berita di
halaman depan dengan tekun.
Ia pasti berusaha mengambil hati ayahku. Tak mungkin
nyawaku terancam segerombolan manusia paling
berbahaya sekalipun saat aku bersama Alice atau Edward.
Pikiran itu benar-benar menggelikan.
Upayanya berhasil, Charlie menatap Edward sedetik,
kemudian mengangkat bahu. "Baiklah.” Ia menghambur ke
ruang tamu, agak terburu-buru sekarang – mungkin karena
tak ingin ketinggalan awal pertandingan.
Aku menunggu sampai TV menyala, supaya Charlie tak
bisa mendengar suaraku.


"Apa...” aku mulai bertanya.
"Tunggu sebentar,” tukas Edward tanpa mengangkat
wajah dari koran. Matanya tetap tertuju ke koran sementara
tangannya menyorongkan formulir pendaftaran pertama ke
seberang meja. "Kurasa kau bisa mendaur ulang esaiesaimu
untuk yang satu ini. Pertanyaan-pertanyaannya
sama.”
Charlie pasti masih mendengar. Aku mendesah dan
mulai mengisi informasi yang itu-itu lagi: nama, alamat,
nomor jaminan sosial... Beberapa menit kemudian aku
mendongak, tapi Edward sekarang malah tercenung
memandang jendela. Ketika menunduk lagi menghadapi
kertas, untuk pertama kali aku melihat nama
universitasnya.
Aku mendengus dan menyingkirkan kertas-kertas itu.
"Bella?"
"Yang benar saja, Edward. Dartmouth?"
Edward memungut formulir yang kusingkirkan itu dan
meletakkannya kembali pelan-pelan di hadapanku. "Kupikir
kau pasti akan menyukai New Hampshire,” katanya. “Ada
kuliah malam yang cukup lengkap untukku, dan di
dekatnya ada hutan yang cukup dekat untuk hiking. Banyak
hewan liarnya.”
Ia menyunggingkan senyum miring yang ia tahu pasti
bakal meluluhkan hatiku.
Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung.
"Kau bisa mengembalikan uangku, kalau itu
membuatmu senang,” janji Edward. "Kalau mau, aku juga
bisa mengenakan bunga.”


"Aku pasti tak bisa masuk tanpa sogokan dalam jumlah
besar. Atau itu bagian dari pinjamanmu? Gedung
perpustakaan baru bernama Cullen? Ugh. Kenapa kira
mesti mendiskusikan hal ini lagi?”
"Bisa tolong isi saja formulirnya, Bella. Tidak ada
salahnya kan mendaftar."
Daguku mengeras. "Tahukah kau? Kupikir sebaiknya
tidak usah saja.”
Tanganku terulur hendak meraih kertas-kertas itu,
berniat meremasnya untuk kemudian kulempar ke
keranjang sampah, tapi kertas-kertas itu sudah lenyap.
Kupandangi meja yang kosong itu sesaat, kemudian
Edward. Kelihatannya ia tadi tidak bergerak sama sekali,
tapi formulirnya sekarang mungkin sudah tersimpan rapi
dalam jaketnya.
"Apa-apaan kau?" runtutku,
"Aku bisa membuat tanda tanganmu lebih baik daripada
kau sendiri. Kau juga sudah membuat esainya.”
"Kau benar-benar keterlaluan,” Aku berbisik, berjagajaga
siapa tahu Charlie tidak benar-benar asyik nonton
pertandingan. "Aku toh tidak perlu mendaftar ke tempat
lain. Aku sudah diterima di Alaska. Uangku nyaris cukup
untuk menutup biaya kuliah semester pertama. Itu kan alibi
yang bagus sekali. Tidak perlu membuang-buang uang, tak
peduli uang siapa itu.”
Ekspresi sedih membuat wajah Edward tegang. "Bella...”
"Sudahlah. Aku setuju bahwa aku perlu melakukan
semua ini demi Charlie, tapi kita sama-sama tahu kondisiku
tidak memungkinkan untuk kuliah musim gugur nanti.
Tidak mungkin bagiku berdekatan dengan manusia.”


Pengetahuanku mengenai tahun-tahun pertama sebagai
vampir baru masih belum jelas. Edward tak pernah
menjelaskan secara mendetail – itu bukan topik favoritnya –
tapi aku tahu itu pasti berat. Pengendalian diri ternyata
hanya bisa didapat dengan latihan . Tak mungkin aku
mengikuti kuliah kecuali kuliah jarak jauh.
"Kupikir waktunya masih belum diputuskan,” Edward
mengingatkan dengan lembut. "Kau bisa menikmati satudua
semester masa kuliah. Ada banyak pengalaman
manusia yang belum pernah kaurasakan.”
"Sesudahnya kan bisa.”
"Sesudahnya berarti bukan lagi pengalaman manusia.
Tidak ada kesempatan kedua, Bella.”
Aku mendesah, "Kau harus bijaksana menentukan
waktunya, Edward. Terlalu berbahaya untuk bermainmain.”
"Belum ada bahaya apa-apa,” ia berkeras.
Kupeloroti dia. Belum ada bahaya? Oh, tentu saja. Yang
ada hanya vampir sadis yang berusaha membalaskan
dendam kematian pasangannya dengan membunuhku,
lebih disukai bila menggunakan metode yang lamban dan
menyiksa. Siapa yang mengkhawatirkan Victoria? Dan, oh
ya, keluarga Volturi – keluarga vampir bangsawan dengan
segerombolan kecil prajurit vampir – yang ngotot
menginginkan jantungku berhenti berdetak, bagaimanapun
caranya, secepatnya, karena manusia tak seharusnya tahu
mereka ada. Yang benar saja. Tidak ada alasan sama sekali
untuk panik?
Meskipun Alice terus memantau keadaan – Edward
mengandalkan visi Alice yang luar biasa akurat rentang


masa depan untuk memberi kami peringatan dini – sungguh
gila untuk mengambil risiko.
Lagi pula aku sudah memenangkan argumen ini.
Tanggal transformasiku untuk sementara ditetapkan tak
lama setelah lulus SMA, yang berarti tinggal beberapa
minggu lagi.
Perutku mendadak mulas saat menyadari betapa sedikit
waktu yang tersisa. Tentu saja perubahan ini perlu – dan ini
kunci menuju hal-hal yang kuinginkan lebih dari segalanya
di dunia ini digabung menjadi satu – tapi aku sangat
prihatin memikirkan Charlie yang duduk di ruangan lain,
menikmati pertandingan di TV; seperti malam-malam lain.
Juga ibuku, Renee, nun jauh di Florida yang cerah, yang
masih memohon-mohon agar aku mau melewatkan musim
panas di pantai bersama dia dan suami barunya. Dan Jacob,
yang, tidak seperti kedua orangtuaku, tahu apa yang
sesungguhnya terjadi bila nanti aku menghilang dengan
alasan pergi kuliah di kota lain yang sangat jauh. Bahkan
seandainya orangtuaku tidak curiga untuk waktu yang
lama, bahkan seandainya aku bisa menunda kepulangan
dengan alasan biaya perjalanan yang mahal atau kesibukan
belajar atau karena sakit. Jacob tahu hal sebenarnya.
Sejenak, kesedihan karena Jacob bakal menganggapku
menjijikkan mengalahkan kesedihanku yang lain.
"Bella,” gumam Edward, wajahnya menekuk saat
membaca kesedihan di wajahku. "Tidak perlu buru-buru.
Aku takkan membiarkan siapa pun menyakitimu. Ambil
waktu sebanyak yang kaubutuhkan.”
"Aku ingin cepat-cepat,” bisikku, tersenyum lemah,
mencoba bergurau. “Aku juga kepingin jadi monster.”
Rahang Edward terkatup rapat; ia berbicara dari sela-sela
giginya. "Kau tidak mengerti yang kaukatakan.” Dengan


kasar ia melempar koran lembap itu ke meja di antara kami.
Jarinya menuding kasar judul berita di halaman depan:
ANGKA KEMATIAN MENINGKAT POLISI
MENGKHAWATIRKAN AKTIVITAS GENG
"Memang apa hubungannya?”
"Monster bukanlah lelucon, Bella.”
Kutatap judul berita itu lagi, kemudian beralih ke
ekspresi wajahnya yang keras. "Jadi ... jadi ini perbuatan
vampir? bisikku.
Edward tersenyum sinis. Suaranya rendah dan dingin.
"Kau akan terkejut, Bella, kalau tahu betapa seringnya
kaumku menjadi penyebab berbagai peristiwa mengerikan
di surat kabar manusiamu. Mudah saja mengenalinya,
kalau kau tahu apa yang dicari. Informasi yang ada di sini
mengindikasikan ada vampir yang baru lahir berkeliaran di
Seattle. Haus darah, liar, tak terkendali. Sama seperti kami
semua dulu.”
Aku menunduk memandangi koran itu lagi, menghindari
matanya.
"Sudah beberapa minggu ini kami terus memonitor
situasi. Semua tanda-tandanya ada – hilang tanpa jejak,
selalu pada malam hari, mayat-mayat yang dibuang begitu
saja, tak adanya bukti lain... Ya, jelas seorang vampir yang
masih sangat baru. Dan sepertinya tidak ada yang
bertanggung jawab terhadap si neo-phyte... Edward
menghela napas dalam-dalam. "Well, itu bukan persoalan
kami. Kami bahkan tidak akan memerhatikan situasi ini
seandainya kejadiannya di tempat lain yang jauh dari sini.
Seperti sudah kukatakan tadi, ini terjadi setiap saat.
Keberadaan monster pasti akan menimbulkan konsekuensi
mengerikan.”


Aku berusaha untuk tidak melihat nama-nama yang
tercantum di koran, tapi nama-nama itu tampak mencolok
dibandingkan tulisan-tulisan lain, seolah-olah dicetak tebal.
Lima orang yang hidupnya berakhir, yang keluargakeluarganya
sedang berduka. Sulit menganggapnya sebagai
pembunuhan biasa, setelah membaca nama-nama para
korban. Maureen Gardiner, Geoffrey Campbell, Grace
Razi, Michelle O'Connell, Ronald Albrook. Orang-orang
yang mempunyai orangtua, anak, teman, hewan peliharaan,
pekerjaan, harapan, cita-cita, kenangan, dan masa depan ....
"Aku tidak akan jadi seperti itu,” bisikku, setengahnya
ditujukan pada diri sendiri. "Kau tidak akan jadi seperti itu.
Kita akan tinggal di Antartika.”
Edward mendengus, memecahkan ketegangan.
"Penguin. Bagus sekali.”
Aku tertawa lemah. dan menyingkirkan koran dari meja
supaya tidak lagi melihat nama-nama para korban, benda
itu membentur lantai linoleum dengan suara berdebum.
Tentu saja Edward mempertimbangkan kemungkinan
berburu. Ia dan keluarganya yang "vegetarian" – semua
berkomitmen melindungi nyawa manusia – lebih menyukai
rasa predator-predator besar untuk memenuhi kebutuhan
mereka. "Alaska, kalau begitu, seperti yang sudah
direncanakan. Hanya saja di tempat lain yang lebih
terpencil lagi dibandingkan Juneau – yang banyak beruang
grizzly-nya.”
"Itu lebih baik lagi.” ujar Edward. "Di sana juga ada
beruang kutub. Ganas sekali. Dan serigala di sana juga
besar-besar."
Mulutku ternganga lebar dan napasku terkesiap dengan
suara keras.


"Ada apa?" tanya Edward. Sebelum aku sempat pulih
dari raut bingung di wajah Edward lenyap dan sekujur
tubuhnya seolah mengeras. "Oh, Lupakan serigala kalau
begitu, bila kau tidak bisa menerimanya.” Nadanya kaku,
formal, bahunya tegang.
"Dia dulu sahabatku, Edward,” gumamku. Sakit rasanya
mengatakan "dulu". "Tentu saja aku tidak terima.”
"Maafkan kesembronoanku,” katanya, masih dengan
sikap sangat formal. "Seharusnya aku tidak menyarankan
itu.”
"Sudahlah, lupakan saja.” Kupandangi kedua tanganku
yang mengepal di meja.
Kami terdiam beberapa saat, kemudian jari Edward yang
dingin menyentuh bagian bawah daguku, menengadahkan
wajahku. Ekspresinya jauh lebih lembut sekarang.
"Maaf. Sungguh.”
“Aku tahu. Aku tahu itu tidak sama, Seharusnya aku
tidak bereaksi seperti itu . Hanya saja... well, aku
memikirkan Jacob sebelum kau datang tadi.” Aku raguragu.
Mata Edward yang cokelat kekuningan berubah agak
gelap setiap kali aku menyebut nama Jacob. Melihat itu
nada suaraku berubah memohon. "Kata Charlie, Jake
sedang mengalami masa-masa sulit. Dia sedih sekarang,
dan ... itu salahku.”
"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Bella.”
Aku menghela napas dalam-dalam. 'Aku perlu
memperbaikinya, Edward. Aku berutang budi padanya. lagi
pula, itu salah satu syarat yang diajukan Charlie.”
Wajah Edward berubah sementara aku bicara, kembali
mengeras, seperti patung.


"Kau tahu kau tak boleh berada di sekitar werewolf tanpa
perlindungan, Bella. Dan, kami akan dianggap .melanggar
kesepakatan bila memasuki tanah mereka. Memangnya kau
mau terjadi perang?”
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, tak ada gunanya membicarakan masalah
ini lebih jauh lagi.” Edward menjatuhkan tangannya dan
berpaling, mencari topik lain untuk dibicarakan. Matanya
terpaku pada sesuatu di belakangku, dan ia tersenyum,
meski matanya tetap waswas.
“Aku senang Charlie memutuskan mengizinkanmu
keluar – sungguh menyedihkan, kau benar-benar harus
pergi ke toko buku. Aku tak percaya kau membaca
Wuthering Heights lagi. Memangnya kau belum hafal luar
kepala sekarang?”
"Tidak semua orang mempunyai ingatan fotografis,”
tukasku pendek.
"Ingatan fotografis atau bukan, aku tidak mengerti
kenapa kau menyukai buku itu. Karakter-karakternya
adalah orang-orang menyebalkan yang saling
menghancurkan hidup yang lain. Entah bagaimana
ceritanya sampai Heathcliff dan Cathy disejajarkan dengan
pasangan-pasangan seperti Romeo dan Juliet atau Elizabeth
Bennet dan Mr. Darcy. Itu bukan kisah cinta, tapi kisah
benci.”
"Ternyata kau benar-benar tak suka novel-novel klasik,”
balasku.
"Mungkin karena aku tidak terkesan dengan yang
antikantik.” Edward tersenyum, puas karena berhasil
mengalihkan pikiranku. "Jujur saja, kenapa kau sampai
membacanya berulang kali?" Kini matanya hidup oleh rasa


tertarik yang nyata, berusaha – lagi-lagi – menguraikan
belitan pikiranku yang kusut. Ia mengulurkan tangan ke
seberang meja untuk merengkuh wajahku. "Apa yang
membuatmu tertarik?"
Keingintahuannya yang tulus membuatku tak berdaya.
"Entahlah,” jawabku, dengan panik berusaha
memfokuskan pikiran sementara tatapannya tanpa sengaja
mengacau-balaukan pikiranku. "Mungkin karena ada unsur
yang tidak bisa dihindari di dalamnya. Betapa tak ada satu
hal pun bisa memisahkan mereka – tidak keegoisan Cathy,
atau kekejaman Heathcliff, atau bahkan kematian, pada
akhirnya...”
Wajah Edward tampak merenung saat
mempertimbangkan kata-kataku. "Aku tetap berpendapat
ceritanya bisa lebih bagus seandainya salah seorang saja di
antara mereka memiliki kelebihan.”
"Menurutku justru itulah intinya,” sergahku tidak setuju.
"Cinta mereka adalah satu,satunya kelebihan yang
mereka miliki.”
"Kuharap kau lebih punya akal sehat – tidak jatuh cinta
pada orang yang begitu ... kejam.”
"Sekarang sudah agak terlambat bagiku untuk khawatir
kepada siapa aku jatuh cinta,” tukasku. "Tapi walau tanpa
peringatan sekalipun, sepertinya aku baik-baik saja.”
Edward tertawa tenang. “Aku senang kau berpendapat
begitu.”
"Well, mudah-mudahan kau cukup pintar untuk tidak
dekat-dekat dengan orang yang begitu egois. Catherine-lah
yang menjadi sumber segala masalah, bukan Heathcliff.”
"Aku akan waspada,” janjinya.


Aku mendesah. Edward benar-benar pandai
mengalihkan pikiran.
Kuletakkan tanganku di atas tangannya yang memegang
wajahku. “Aku harus menemui Jacob.”
Mata Edward terpejam. "Tidak.”
"Tidak berbahaya sama sekali,” kataku, memohonmohon
lagi. "Dulu aku sering menghabiskan waktu
seharian di La Push bersama mereka semua, dan tidak
pernah terjadi apa-apa.” Tapi aku terpeleset; suaraku
bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir, karena saat itu
aku sadar itu bohong. Tidak benar tidak pernah terjadi apaapa.
Sepotong kenangan berkelebat dalam ingatanku –
seekor serigala abu-abu besar merunduk, siap menerkam,
menyeringai memamerkan gigi-giginya yang menyerupai
belati padaku – dan telapak tanganku berkeringat saat
terkenang lagi kepanikanku waktu itu.
Edward mendengar detak jantungku yang mendadak
cepat dan mengangguk, seolah-olah aku mengakui
kebohonganku dengan suara lantang. "Werewolf tidak stabil.
Kadang-kadang orang-orang di dekat mereka terluka.
Bahkan terkadang ada yang sampai meninggal.”
Aku ingin membantah, tapi bayangan lain membuatku
urung menyanggah. Dalam benakku aku melihat wajah
Emily Young yang tadinya cantik, tapi sekarang hancur
akibat tiga bekas luka berwarna gelap yang melintang dari
sudut mata kanan hingga ke sisi kiri mulur, membuat
wajahnya seperti merengut miring selama-lamanya.
Edward menunggu, ekspresinya muram namun penuh
kemenangan, sampai aku bisa menemukan suaraku lagi.
"Kau tidak kenal mereka,” bisikku.


"Aku kenal mereka lebih baik daripada yang kaukira,
Bella. Aku ada di sini saat peristiwa itu terakhir kali
terjadi.”
"Terakhir kali?"
"Kami mulai bersinggungan dengan para werewolf kirakira
tujuh puluh tahun yang lalu... Waktu itu kami baru
mulai menetap di Hoquiam. Itu sebelum Alice dan Jasper
bergabung. Jumlah kami lebih banyak daripada mereka,
tapi itu tidak akan menghentikan pecahnya pertempuran
seandainya bukan karena Carlisle. Dia berhasil meyakinkan
Ephraim Black bahwa hidup berdampingan itu mungkin,
dan akhirnya kami melakukan gencatan senjata.”
Nama kakek buyut Jacob membuatku kaget.
"Kami menyangka keturunan werewolf berhenti di
Ephraim,” gumam Edward; kedengarannya dia seperti
berbicara pada diri sendiri sekarang. "Bahwa penyimpangan
genetik yang mengakibatkan transmutasi itu sudah
hilang...” Edward berhenti bicara dan memandangiku
dengan tatapan menuduh. "Kesialanmu tampaknya
semakin hari semakin menjadi-jadi. Sadarkah kau bahwa
kecenderunganmu menarik segala sesuatu yang mematikan
ternyata cukup kuat untuk memulihkan segerombolan
anjing mutan dari ancaman kepunahan. Kalau saja kita bisa
membotolkan kesialanmu, kita akan memiliki senjata
pemusnah massal di tangan kita.”
Kuabaikan ejekan itu, perhatianku tergugah oleh asumsi
yang dilontarkan Edward – apakah dia serius? "Tapi bukan
aku yang memunculkan mereka. Masa kau tidak tahu?"
"Tahu apa?”


"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kesialanku. Werewolf muncul lagi karena vampir juga
muncul kembali.”
Edward menatapku, tubuhnya tak bergerak karena kaget.
"Kata Jacob, keberadaan keluargamu di sini
menggerakkan semuanya. Kukira kau sudah tahu...”
Matanya menyipit. "Jadi, begitukah menurut mereka?"
"Edward, lihat saja fakta-faktanya. Tujuh puluh tahun
lalu, kalian datang ke sini, dan para werewolf muncul.
Sekarang kalian kembali, dan para werewolf itu muncul lagi.
Apakah menurutmu itu hanya kebetulan?”
Edward mengerjapkan mata dan tatapannya melunak.
"Carlisle pasti tertarik pada teori itu.”
"Teori,” dengusku.
Edward terdiam sesaat, memandang ke luar jendela, ke
hujan yang menderas: dalam bayanganku ia sedang
memikirkan fakta bahwa kehadiran keluarganya mengubah
penduduk lokal menjadi anjing-anjing raksasa.
"Menarik, tapi tidak terlalu relevan,” gumamnya setelah
beberapa saat, "Situasinya tetap sama.”
Aku bisa menerjemahkan maksudnya dengan cukup
mudah: tetap tidak boleh berteman dengan werewolf.
Aku tahu aku harus bersabar menghadapi Edward.
Bukan karena ia tidak bisa diajak bicara dengan pikiran
jernih, tapi karena ia tidak mengerti. Ia tidak tahu betapa
besar utang budiku pada Jacob Black – lebih dari hidupku,
dan mungkin kewarasanku juga.
Aku tidak suka membicarakan masa-masa sulit itu
dengan siapa pun, terutama Edward. Kepergiannya waktu


itu dimaksudkan untuk menyelamatkanku, berusaha
menyelamatkan jiwaku. Aku tidak menganggapnya
bertanggung jawab atas semua hal tolol yang kulakukan
selama ia tidak ada, atau kepedihan yang kuderita.
Tapi Edward merasa dirinya bertanggung jawab.
Jadi aku harus bisa menjelaskan maksudku dengan
sangat hati-hati.
Aku berdiri dan berjalan mengitari meja. Edward
membentangkan kedua lengannya menyambutku dan aku
duduk di pangkuannya, meringkuk dalam pelukannya yang
sedingin batu. Kupandangi tangannya sementara aku
bicara.
"Kumohon, dengarkan aku sebentar. Ini jauh lebih
penting daripada sekadar keinginan bertemu teman lama.
Jacob sedang menderita," Suaraku bergetar mengucapkan
kata itu. "Aku tidak bisa tidak berusaha menolongnya – aku
tidak bisa meninggalkannya begitu saja sekarang, saat dia
membutuhkan aku. Hanya karena dia tidak selalu menjadi
manusia. Well, dia mendampingiku saat aku sendirian...
sedang dalam kondisi yang tidak layak disebut sebagai
manusia. Kau tidak tahu bagaimana keadaannya waktu itu
... Aku ragu. Lengan Edward yang memelukku mengejang
kaku, tinjunya mengepal, otot-ototnya menyembul.
"Seandainya Jacob tidak membantuku, entah apa yang akan
kautemukan waktu kau kembali. Aku berutang banyak
padanya, Edward.”
Aku mendongak, menatap wajahnya waswas. Kedua
mata Edward terpejam, dagunya tegang.
“Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri
karena meninggalkanmu,” bisiknya. "Tidak seandainya
aku hidup sampai seratus ribu tahun sekalipun.”


Kuletakkan tanganku di wajahnya yang dingin dan
menunggu sampai Edward mendesah dan membuka mata.
"Kau hanya ingin melakukan yang benar. Dan itu pasti
berhasil bila ditujukan pada orang lain yang tidak sesinting
aku. lagi pula, kau ada di sini sekarang. Itu yang
terpenting.”
"Seandainya aku tak pernah pergi, kau tidak akan merasa
perlu mempertaruhkan hidupmu untuk menghibur anjing.”
Aku tersentak. Aku sudah terbiasa dengan Jacob dan
semua caci makinya yang merendahkan – pengisap darah,
lintah, parasit... Entah mengapa kedengarannya lebih kasar
dalam suara Edward yang selembut beledu.
"Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan
benar,” kata Edward, nadanya muram, "Ini akan terdengar
keji, kurasa. Tapi dulu aku pernah nyaris kehilanganmu.
Aku tahu bagaimana rasanya mengira itu telah terjadi...
Aku tidak akan menolerir hal berbahaya apa pun lagi.”
"Kau harus memercayai aku dalam hal ini. Aku tidak
akan kenapa-kenapa.”
Wajah Edward kembali sedih. "Please, Bella,” bisiknya.
Kutatap mata emasnya yang mendadak membara itu.
"Please, apa?"
"Please, demi aku. Please, berusahalah agar kau tetap
aman. Aku akan melakukan apa saja yang kubisa, tapi aku
akan sangat senang kalau mendapat sedikit bantuan
darimu.”
"Akan kuusahakan,” gumamku.
"Tak tahukah kau betapa pentingnya kau bagiku? Kau
tak punya bayangan sama sekali berapa aku sangat


mencintaimu?" Edward menarikku lebih erat ke dadanya
yang keras, menyurukkan kepalaku di bawah dagunya.
Kutempelkan bibirku ke lehernya yang sedingin salju.
“Aku tahu betapa aku sangat mencintaimu,” jawabku.
"Kau membandingkan sebatang pohon kecil dengan
seluruh isi hutan.”
Kuputar bola mataku, tapi Edward tak bisa melihat,
"Mustahil.”
Edward mengecup ubun-ubunku dan mendesah.
"Tidak ada werewolf.”
"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus menemui
Jacob.”
"Kalau begitu aku harus menghentikanmu.”
Nadanya begitu yakin bahwa itu takkan jadi masalah.
Aku yakin ia benar,
"Kita lihat saja nanti,” aku tetap menantang. "Dia tetap
temanku.”
Aku bisa merasakan surat Jacob di sakuku, seakan-akan
benda itu mendadak beratnya jadi dua puluh kilo. Katakatanya
kembali terngiang dalam benakku, dan sepertinya
ia sependapat dengan Edward – ini sesuatu yang tidak akan
pernah terjadi di alam nyata.
Itu tidak mengubah keadaan. Maaf.
2. Menghi nda r
AKU merasa sangat ringan saat berjalan dari kelas
Bahasa Spanyol menuju kafetaria, dan itu bukan hanya
karena aku menggandeng tangan orang paling sempurna di


seantero planet ini, meskipun jelas itu sebagian
penyebabnya.
Mungkin karena tahu aku sudah selesai menjalani
hukuman dan sekarang aku kembali bebas.
Atau mungkin sama sekali tak ada hubungannya
denganku. Mungkin karena atmosfer kebebasan terasa
begitu kuat di seantero sekolah. Tahun ajaran sebentar lagi
berakhir, dan terutama bagi murid-murid kelas tiga,
kegairahan sangar kuat terasa.
Kebebasan sudah begitu dekat hingga rasanya bisa
disentuh, bisa dirasakan. Tanda-tandanya bertebaran di
mana-mana. Poster-poster berjejalan di dinding kafetaria,
dan tong-tong sampah terlihat seperti mengenakan rok
warna-warni berkat tempelan brosur yang menutupi
permukaannya: pemberitahuan untuk membeli buku
tahunan, cincin angkatan, serta pengumuman: batas waktu
pemesanan toga, topi, dan selempang; serta berbagai iklan
yang dicetak di kertas berwarna neon meriah – murid-murid
kelas dua berkampanye untuk jabatan ketua angkatan; iklan
prom tahun ini yang dibuat menyerupai rangkaian mawar.
Pesta dansa tahunan itu akan diselenggarakan akhir pekan
mendatang, tapi aku sudah membuat Edward berjanji untuk
tidak mengharapkanku menghadirinya. Toh aku sudah
pernah merasakan pengalaman manusia yang satu itu.
Tidak, pasti bukan kebebasan pribadi yang membuatku
merasa ringan hari ini. Akhir tahun ajaran tidak memberiku
kegembiraan seperti yang tampaknya dirasakan muridmurid
lain. Sebenarnya, aku justru gugup hingga nyaris
mual setiap kali memikirkannya. Aku berusaha tidak
memikirkannya.
Tapi memang sulit menghindari topik yang hadir di
mana-mana seperti kelulusan.


"Sudah mengirim pemberitahuan, belum?” tanya Angela
begitu Edward dan aku duduk di meja kami. Rambut
cokelat terangnya yang biasanya selalu tergerai halus diikat
ke belakang membentuk ekor kuda serampangan, dan ada,
sedikit sorot panik terpancar di matanya.
Alice dan Ben juga sudah duduk di sana, mengapit
Angela. Ben asyik membaca komik, kacamatanya melorot
di hidungnya yang tirus. Alice mengamati dengan saksama
busanaku yang terdiri atas paduan membosankan jins dan
T-shirt, caranya memandang membuatku jengah. Mungkin
ia berniat memermak penampilanku lagi. Aku mendesah.
Sikap cuekku terhadap penampilan bagaikan duri dalam
daging bagi Alice. Seandainya kuizinkan, ia pasti dengan
senang hati akan mendandaniku setiap hari – bahkan
mungkin beberapa kali sehari – seakan-akan aku boneka
kertas tiga dimensi yang ukurannya sebesar manusia,
"Belum,” kataku, menjawab pertanyaan Angela. "Tak
ada gunanya juga. Renee sudah tahu kapan aku lulus. Siapa
lagi yang perlu kuberitahu?" .
"Kau sendiri bagaimana, Alice?"
Alice tersenyum. "Sudah beres semuanya.”
"Beruntung benar kau,” Angela mendesah. "Ibuku
punya banyak sekali sepupu dan dia berharap aku mengirim
pemberitahuan ke mereka semua, dengan tulisan tangan,
lagi. Bisa-bisa tanganku kapalan. Aku tak bisa menundanundanya
lagi. Ngeri rasanya membayangkan diriku
melakukannya.”
"Aku bisa membantumu,” aku menawarkan diri. "Kalau
kau tidak keberatan dengan tulisan tanganku yang jelek.”


Charlie pasti senang. Dari sudut mata kulihat Edward
tersenyum. Ia pasti juga senang – aku memenuhi syarat
yang diajukan Charlie tanpa melibatkan werewolf.
Angela terlihat lega. "Baik sekali kau. Aku akan datang
ke rumahmu kapan saja kau mau.”
"Sebenarnya, aku lebih suka akulah yang pergi ke
rumahmu, kalau kau tidak keberatan – aku sudah muak
dengan rumahku. Charlie mencabut hukumanku semalam.”
Aku tersenyum lebar saat menyampaikan kabar baik itu.
"Benarkah?” tanya Angela, kilat kegembiraan terpancar
dari mata cokelatnya yang selalu tenang. "Katamu waktu
itu, kau bakal dihukum seumur hidup.”
"Aku juga sama kagetnya denganmu. Tadinya aku yakin
paling tidak aku harus selesai SMA dulu baru Charlie
membebaskanmu.”
"Well, baguslah kalau begitu, Bella! Kira harus pergi
untuk merayakannya.”
"Kau tidak tahu betapa indah kedengarannya usulanmu
itu.”
"Kita mau melakukan apa?" tanya Alice sambil
merenung, wajahnya berseri-seri memikirkan berbagai
kemungkinan. Ide-ide Alice biasanya agak terlalu
berlebihan bagiku, dan aku bisa melihat hal itu di matanya
sekarang – kecenderungan melakukan sesuatu secara
berlebihan.
“Apa pun yang kaupikirkan, Alice, rasa-rasanya aku
tidak sebebas itu."
"Bebas ya bebas, kan?” desak Alice.
"Aku yakin masih ada batasan yang harus kutaati –
dalam batas-batas wilayah Amerika Serikat, misalnya.”


Angela dan Ben tertawa, tapi Alice meringis, tampaknya
benar-benar kecewa.
"Jadi kita mau ke mana nanti malam?" tanyanya gigih.
"Tidak ke mana-mana. Begini, bagaimana kalau kita
tunggu dulu beberapa hari, untuk memastikan ayahku tidak
bercanda. lagi pula, ini kan malam sekolah.”
"Kita rayakan akhir minggu ini kalau begitu.” Mustahil
bisa mengekang antusiasme Alice.
"Tentu,” sahutku, berharap membuatnya puas. Aku
tahu aku takkan melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan;
lebih aman pelan-pelan saja menghadapi Charlie.
Memberinya kesempatan melihat bahwa aku bisa dipercaya
dan matang dulu sebelum minta izin melakukan apa-apa.
Angela dan Alice mulai asyik mengobrolkan berbagai
pilihan; Ben ikut nimbrung, menyingkirkan komiknya.
Perhatianku teralih. Kaget juga aku menyadari topik
mengenai kebebasanku mendadak tak terasa memuaskan
lagi seperti beberapa saat yang lalu. Sementara mereka
masih asyik membicarakan hal-hal yang bisa dilakukan di
Port Angeles atau mungkin Hoquiam, aku mulai merasa
tidak puas.
Tidak butuh waktu lama untuk menentukan dari mana
kegelisahanku ini berasal.
Sejak mengucapkan selamat berpisah dengan Jacob
Black di hutan dekat rumahku, aku dihantui bayangan
menyedihkan yang terus-menerus mengusik pikiranku.
Bayangan itu muncul dalam interval teratur, seperti alarm
menjengkelkan yang diatur untuk berbunyi setiap setengah
jam sekali, memenuhi kepalaku dengan bayangan wajah
Jacob yang mengernyit pedih. Itu kenangan terakhirku
tentang dia.


Saat visi yang mengganggu itu muncul lagi, aku tahu
benar kenapa aku merasa tidak puas dengan kebebasanku.
Karena kebebasan itu belum sempurna.
Tentu, aku bebas ke mana pun aku mau – kecuali ke La
Push; bebas melakukan apa pun yang kuinginkan – kecuali
bertemu Jacob. Aku cemberut memandangi meja.
Seharusnya ada jalan tengah yang memuaskan semua
pihak.
"Alice? Alice!"
Suara Angela menyentakkanku dari lamunan. Ia
melambai-lambaikan tangan di depan wajah Alice yang
menerawang kosong. Aku mengenali ekspresi Alice itu –
ekspresi yang otomatis mengirimkan sengatan panik ke
sekujur tubuhku. Tatapannya yang kosong menandakan ia
melihat sesuatu yang sangat berbeda dari pemandangan
normal berupa aula tempat makan siang seperti yang ada di
sekitar kami ini, tapi sesuatu itu sama nyatanya dengan
segala sesuatu di sekeliling kami. Akan ada sesuatu, sesuatu
akan terjadi sebentar lagi. Kurasakan darah menyusut dari
wajahku.
Lalu Edward tertawa, nadanya sangat natural dan rileks.
Angela dan Ben berpaling padanya, tapi mataku tetap
tertuju kepada Alice. Tiba-tiba Alice terlonjak, seperti ada
yang menendang kakinya di bawah meja.
"Memangnya sekarang sudah waktunya tidur siang,
Alice?" goda Edward.
Alice kembali menjadi dirinya. "Maaf kurasa aku
melamun tadi.”
"Lebih enak melamun daripada menghadapi dua jam
pelajaran lagi,” sergah Ben.


Alice kembali mengobrol dengan semangat lebih berapiapi
dibandingkan sebelumnya – agak terlalu berlebihan.
Sekali aku sempat melihatnya bersitatap dengan Edward,
hanya sedetik, kemudian ia berpaling lagi kepada Angela
sebelum ada yang sempat memerhatikan. Edward lebih
banyak diam, tangannya memainkan seberkas rambutku.
Dengan gelisah aku menunggu kesempatan untuk bisa
bertanya kepada Edward tentang penglihatan yang didapat
Alice tadi, tapi siang berlalu dengan cepat tanpa satu menit
pun kesempatan untuk berduaan.
Bagiku itu aneh, hampir seperti disengaja. Sehabis
makan siang Edward sengaja berjalan lambat-lambat
mengiringi langkah Ben, mengobrol tentang tugas yang aku
tahu sudah selesai ia kerjakan. Ialu selalu ada orang lain di
antara pergantian kelas, padahal biasanya kami punya
waktu berduaan selama beberapa menit. Ketika bel terakhir
berbunyi, Edward tahu-tahu mengajak Mike Newton
mengobrol, berjalan bersamanya menuju lapangan parkir.
Aku membuntuti di belakang, membiarkan Edward
menarikku.
Aku mendengarkan, bingung, sementara Mike menjawab
pertanyaan-pertanyaan Edward yang diajukan dengan nada
bersahabat. Rupanya mobil Mike sedang bermasalah.
“...padahal aku baru saja mengganti akinya,” Mike
berkata. Matanya bolak-balik memandang Edward waswas.
Tercengang, sama seperti aku.
"Mungkin kabel-kabelnya?” duga Edward.
"Mungkin. Aku tidak tahu apa-apa soal mesin mobil,”
Mike mengakui. "Aku harus memperbaikinya, tapi aku tak
sanggup membawanya ke bengkel Dowling's.”


Aku membuka mulut untuk menyarankan supaya
mobilnya dibawa ke mekanikku, tapi kemudian
mengurungkannya. Mekanikku sedang sibuk belakangan ini
– sibuk berkeliaran sebagai serigala raksasa.
"Aku lumayan mengerti mesin mobil – aku bisa
memeriksanya, kalau kau mau,” Edward menawarkan diri.
"Biar kuantar Alice dan Bella pulang dulu.”
Mike dan aku sama-sama memandang Edward dengan
mulut ternganga keheranan,
"Eh... trims,” gumam Mike, begitu pulih dari kagetnya.
"Tapi aku harus bekerja. Mungkin lain kali.”
"Tentu.”
"Sampai nanti.” Mike naik ke mobilnya, menggelenggeleng
dengan sikap tak percaya.
Volvo milik Edward, dengan Alice sudah menunggu di
dalam, diparkir hanya dua mobil dari situ.
“Apa-apaan itu tadi?" bisikku sementara Edward
memegangi pintu mobil untukku.
"Hanya ingin membantu,” jawab Edward.
Kemudian Alice yang sudah menunggu di jok belakang
mengoceh dengan kecepatan tinggi.
"Kau kan tidak terlalu paham soal mesin mobil, Edward.
Mungkin sebaiknya kausuruh saja Rosalie memeriksanya
malam ini, supaya kau tidak kehilangan muka kalau nanti
Mike memutuskan membiarkanmu membantunya. Pasti
menyenangkan melihat wajah Mike kalau Rosalie muncul
untuk membantunya. Tapi karena Rosalie saat ini
seharusnya berada di luar kota untuk kuliah, kurasa itu
bukan ide bagus. Sayang sekali. Tapi menurutku, untuk
menangani mobil Mike, kau pasti bisa. Kau hanya tidak


mampu menangani mesin mobil sport Italia yang canggihcanggih
itu. Omong-omong soal Italia dan mobil sport yang
kucuri di sana, kau masih berutang satu Porsche kuning
padaku. Aku tak yakin, apa aku sanggup menunggu sampai
Natal.”
Sebentar saja aku sudah berhenti mendengarkan,
membiarkan suara Alice yang mencerocos jadi seperti
gumaman di latar belakang sementara aku mencoba
bersabar.
Tampaknya Edward berusaha menghindari pertanyaanpertanyaanku.
Baiklah. Toh sebentar lagi ia harus berduaan
denganku. Tinggal tunggu waktu.
Sepertinya Edward juga menyadarinya. Ia menurunkan
Alice di ujung jalan masuk rumah keluarga Cullen, seperti
biasa, walaupun kalau melihat sikapnya sejak tadi aku
separuh berharap ia akan mengemudikan mobilnya sampai
ke depan pintu dan mengantar Alice masuk sekalian.
Begitu turun, Alice langsung melayangkan pandangan
tajam padanya. Edward tampak tenang-tenang saja.
"Sampai nanti,” katanya. Kemudian, nyaris tak kentara,
ia mengangguk.
Alice berbalik dan lenyap di balik pepohonan.
Edward diam saja saat memutar mobil dan kembali ke
Forks. Aku menunggu, dalam hati penasaran apakah ia
akan mengungkitnya sendiri. Ternyata tidak, dan itu
membuatku tegang. Apa yang sebenarnya dilihat Alice saat
makan siang tadi? Sesuatu yang Edward tak ingin
kuketahui, dan aku berusaha keras memikirkan alasan
kenapa ia merahasiakan sesuatu dariku. Mungkin lebih baik
aku menyiapkan diri sebelum bertanya. Aku rak ingin nanti


ketakutan setengah mati dan membuat Edward mengira aku
tak mampu mengatasinya, apa pun itu.
Jadilah kami sama-sama berdiam diri hingga sampai di
rumah Charlie.
"Malam ini tidak banyak PR,” komentar Edward.
"Mmmm,” aku mengiyakan.
"Menurutmu, aku sudah diizinkan masuk lagi?”
"Charlie tidak mengamuk waktu kau menjemputku tadi
pagi.”
Tapi aku yakin Charlie pasti bakal langsung cemberut
kalau sesampainya di rumah nanti ia mendapati Edward di
sini. Mungkin sebaiknya aku membuatkan hidangan makan
malam yang ekstra istimewa.
Di dalam aku langsung naik ke lantai atas, dan Edward
mengikuti. Ia duduk-duduk di tempat tidurku dan
memandang ke luar jendela, sepertinya tidak menyadari
kegelisahanku.
Aku menyimpan tas dan menyalakan komputer. Ada email
dari ibuku yang harus kubalas, dan ia bakal panik
kalau aku terlalu lama tidak membalas. Aku mengetukngetukkan
jemariku ke meja sambil menunggu komputer
tuaku mendengung bangun; jemariku berlari lincah di meja,
cepat dan gelisah.
Kemudian jari-jari Edward merengkuh jari-jariku,
mendiamkannya.
"Kita agak tidak sabaran ya, hari ini?" gumamnya.
Aku mendongak, berniat melontarkan komentar
sarkastis, tapi wajah Edward ternyata lebih dekat daripada
yang kuharapkan. Mata emasnya membara, hanya
beberapa sentimeter jauhnya, dan embusan napasnya sejuk


menerpa bibirku yang terbuka. Aku bisa merasakan
aromanya di lidahku.
Aku langsung lupa komentar pedas yang akan
kulontarkan tadi. Aku bahkan lupa namaku sendiri.
Edward tidak memberiku kesempatan untuk pulih dari
kaget.
Kalau kemauanku dituruti, aku akan menghabiskan
sebagian besar waktuku berciuman dengan Edward. Tak
ada pengalaman lain dalam hidupku yang setara dengan
indahnya merasakan bibir Edward yang dingin, sekeras
marmer, tapi selalu sangat lembut, bergerak bersamaku.
Kemauanku jarang dituruti.
Maka aku agak terkejut saat jari-jarinya menyusup ke
rambutku, merengkuh wajahku kuat-kuat, Kedua lenganku
mengunci di belakang lehernya, dan aku berharap kalau
saja aku lebih kuat – lebih kuat untuk memenjarakannya di
sini. Satu tangan meluncur menuruni punggungku,
mendekapku lebih erat lagi ke dadanya yang sekeras batu.
Meski terhalang sweter, kulit Edward masih cukup dingin
untuk membuat tubuhku gemetar-getaran kegembiraan,
kebahagiaan, tapi akibatnya pelukan Edward mulai
mengendur.
Aku tahu aku hanya punya waktu kira-kira tiga detik
sebelum Edward mendesah dan dengan cekatan
menjauhkan tubuhku dari tubuhnya, mengatakan kami
sudah cukup mempertaruhkan nyawaku sore ini. Sebisa
mungkin memanfaatkan detik-detik terakhirku berciuman
dengannya, aku menempel semakin erat dengannya,
menyatukan lekuk tubuhku ke tubuhnya. Ujung lidahku
menyusuri lekuk bibir bawahnya; bibirnya sangat halus,
seperti habis digosok, dan rasanya ...


Edward menjauhkan wajahku dari wajahnya, dengan
mudah melepaskan cengkeramanku – mungkin ia bahkan
tak sadar aku sudah mengerahkan segenap kekuatanku.
Edward terkekeh sekali, suara tawanya rendah dan
parau.
Matanya berkilat-kilat senang karena kedispilinan yang
diterapkannya dengan begitu kaku.
“Ah, Bella,” ia mendesah,
“Aku bisa saja meminta maaf tapi aku tidak menyesal.”
"Dan aku seharusnya kecewa karena kau tidak menyesal,
tapi aku tidak merasa begitu. Mungkin sebaiknya aku
duduk saja di tempat tidur.”
Aku mengembuskan napas, kepalaku sedikit pening.
"Kalau menurutmu itu perlu...”
Aku menggeleng beberapa kali, berusaha menjernihkan
pikiran, dan mengalihkan perhatian kembali ke komputer.
Komputerku sudah panas dan mendengung sekarang. Well,
mungkin lebih tepat disebut mengerang, bukan
mendengung.
"Sampaikan salamku kepada Renee.”
"Tentu.”
Mataku membaca cepat tulisan pada e-mail Renee,
sesekali menggeleng saat membaca hal-hal konyol yang ia
lakukan. Aku merasa terhibur sekaligus ngeri saat pertama
kali membacanya. Sungguh khas ibuku, lupa bahwa ia
mengidap fobia ketinggian dan baru ingat setelah tubuhnya
dipasangi parasut serta terikat pada instruktur terjun
payung. Aku merasa agak frustrasi dengan Phil, suami
ibuku selama hampir dua tahun ini, karena mengizinkannya


melakukan hal itu. Aku lebih bisa menjaga ibuku ketimbang
dia. Aku mengenal ibuku luar dalam.
Kau toh harus melepaskan mereka pada akhirnya, aku
mengingatkan diri sendiri. Kau harus membiarkan mereka
menjalani kehidupan sendiri....
Aku menghabiskan hampir seumur hidupku menjaga
Renee, dengan sabar membimbingnya menjauhi rencanarencana
tergilanya, dan dengan tabah menerima rencanarencana
lain yang tak bisa kucegah. Sejak dulu aku selalu
sangat sabar menghadapi ibuku, geli melihat tingkahnya,
bahkan sedikit meremehkan. Aku melihat kesalahankesalahannya
yang begitu banyak dan diam-diam
menertawakannya. Dasar Renee si otak udang.
Aku sangat berbeda dengan ibuku. Aku orang yang
memikirkan segala sesuatu dengan cermat dan hati-hati.
Sosok yang bertanggung jawab, dewasa. Begitulah aku
memandang diriku sendiri. Begitulah dulu aku mengenal
diriku.
Dengan darah masih berdesir keras di kepalaku setelah
berciuman dengan Edward, terlintas dalam benakku
kesalahan ibuku yang paling mengubah jalan hidupnya.
Tolol dan romantis, ia langsung menikah begitu lulus SMA
dengan laki-laki yang tidak begitu dikenalnya, lalu
melahirkan aku setahun kemudian. Ia selalu berusaha
meyakinkanku bahwa ia tak pernah menyesali
keputusannya, bahwa aku anugerah terindah dalam
hidupnya. Meski begitu ia tak henti-hentinya mencekokiku
dengan nasihat bahwa orang pintar tidak menganggap
pernikahan sebagai hal yang sepele. Orang-orang yang
matang akan kuliah dan meniti karier dulu sebelum terlibat
terlalu jauh dalam sebuah hubungan. Ibuku tahu aku takkan
pernah sesembrono, seceroboh, dan sekonyol dia dulu ...


Kugertakkan gigiku dan berusaha berkonsentrasi saat
membalas e-mail-nya.
Lalu aku sampai pada kalimat penghabisan di e-mail
Renee dan teringat lagi kenapa aku menunda-nunda
membalas email-nya.
Sudah lama kau tidak pernah cerita tentang Jacob, tulis Renee.
Apa saja kegiatannya belakangan ini?
Pasti disuruh Charlie, aku yakin.
Aku mendesah dan mengetik dengan cepat, menyisipkan
jawaban di antara dua paragraf yang tidak begitu sensitif.
Jacob baik-baik saja. Sepertinya. Aku jarang bertemu
dengannya: belakangan dia lebih sering main dengan temantemannya
sendiri di La Push.
Tersenyum-senyum kecut sendiri, aku menambahkan
salam dari Edward, lalu mengklik tombol send.
Aku tidak menyadari kehadiran Edward yang berdiri
diam di belakangku sampai aku mematikan komputer dan
mendorong kursiku menjauhi meja. Aku baru mau
menegurnya karena diam-diam membaca suratku waktu
aku menyadari ternyata ia tidak sedang memerhatikanku. Ia
sedang mengamati kotak hitam dengan kabel melingkarlingkar
mencuat dari kotak utama yang kentara sekali
tampak rusak. Sedetik kemudian baru aku mengenali benda
itu sebagai stereo mobil yang dihadiahkan Emmett, Rosalie,
dan Jasper pada ulang tahun terakhirku dulu. Aku sudah
lupa sama sekali hadiah ulang tahun yang tersembunyi di
balik tumpukan debu yang semakin menggunung di dasar
lemari itu.
"Kauapakan benda ini?" tanya Edward ngeri.
"Habis tidak mau dilepas dari dasbor.”


"Jadi kau merasa perlu menyiksanya?”
"Aku kan tidak pandai menggunakan peralatan. Aku
tidak sengaja melukainya.”
Edward menggeleng, berlagak sedih seolah-olah
menyaksikan tragedi. "Kau membunuhnya.”
Aku mengangkat bahu. "Oh, well.”
"Mereka pasti sakit hati kalau melihat ini,” kata
Edward. "Kurasa ada baiknya selama ini kau dihukum
tidak boleh keluar rumah. Aku harus memasang stereo lain
sebelum mereka menyadarinya.”
"Trims, tapi aku tidak butuh stereo canggih.”
"Aku menggantinya bukan demi kau.”
Aku mendesah.
"Ternyata kau tidak banyak memanfaatkan hadiahhadiah
ulang tahunmu tahun lalu,” kata Edward kesal.
Tiba-tiba ia mengipasi dirinya dengan kertas persegi kaku.
Aku tidak menyahut, takut suaraku bakal gemetar. Ulang
tahun kedelapan belas yang menimbulkan malapetaka –
dengan segala konsekuensinya – bukanlah peristiwa yang
ingin kuingat-ingat, dan aku kaget Edward
menyinggungnya. Padahal ia bahkan lebih sensitif
mengenainya dibanding aku.
"Sadarkah kau, sebentar lagi masa berlakunya akan
habis?" tanyanya, menyodorkan kertas itu kepadaku.
Ternyata itu hadiah lain – voucher tiket pesawat yang
dihadiahkan Esme dan Carlisle untukku agar aku bisa
mengunjungi Renee di Florida.
Aku menghela napas dalam-dalam dan menjawab datar,
"Tidak. Sebenarnya aku malah lupa sama sekali.”


Ekspresi Edward tampak ceria dan positif tak ada
secercah pun jejak emosi dalam suaranya saat ia
melanjutkan kata-katanya. "Well, kita masih punya sedikit
waktu. Hukumanmu sudah dicabut... dan kita tidak punya
rencana apa-apa akhir minggu ini, karena kau menolak
pergi ke prom bersamaku.” Edward tersenyum. "Kenapa
tidak kira rayakan saja kebebasanmu dengan cara ini?"
Aku terkesiap. "Dengan pergi ke Florida?"
"Katamu tadi, asal masih dalam batas-batas negara
Amerika Serikat, kau dibolehkan.”
Kupelototi dia, curiga, berusaha memahami dari mana
ide ini berasal.
"Well?" desak Edward. "Kita akan pergi menemui Renee
atau tidak?”
"Charlie pasti tidak bakal mengizinkan.”
"Charlie tidak bisa melarangmu mengunjungi ibumu.
Ibumu kan masih memiliki hak asuh utama.”
"Tidak ada yang memiliki hak asuh atasku. Aku sudah
dewasa.”
Edward menyunggingkan senyum ceria. "Tepat sekali.”
Aku memikirkannya sesaat sebelum memutuskan
perjalanan itu tidak sebanding dengan keributan yang akan
ditimbulkan. Charlie pasti bakal sangat marah – bukan
karena aku akan mengunjungi Renee, tapi karena aku pergi
bersama Edward. Bisa-bisa Charlie akan mendiamkan aku
berbulan-bulan, dan mungkin aku bakal dihukum lagi. Jauh
lebih bijaksana untuk tidak mengungkitnya sama sekali.
Mungkin beberapa minggu lagi, sebagai hadiah kelulusan
atau semacamnya.


Tapi bayangan bertemu ibuku sekarang, bukan beberapa
minggu dari sekarang, sungguh menggiurkan. Sudah lama
sekali aku tidak bertemu Renee. Dan lebih lama lagi aku
tidak bertemu dengannya dalam suasana menyenangkan.
Terakhir kali aku bertemu dia di Phoenix, aku terkapar di
ranjang rumah sakit. Terakhir kali ia datang ke sini, bisa
dibilang aku seperti mayat hidup. Benar-benar bukan
kenangan menyenangkan.
Dan mungkin, kalau Renee melihat betapa bahagianya
aku bersama Edward, ia akan menyuruh Charlie rileks
sedikit.
Edward mengamati wajahku sementara aku menimbangnimbang.
Aku mendesah. "Jangan akhir minggu ini.”
"Memangnya kenapa?"
"Aku tidak mau bertengkar dengan Charlie. Padahal dia
baru saja memaafkan aku.”
Alis Edward bertaut, "Menurutku akhir minggu ini justru
pas sekali.”
Aku menggeleng. "Lain kali saja.”
"Bukan kau satu-satunya yang terperangkap di rumah
ini, tahu,” Edward mengerutkan keningnya padaku.
Kecurigaanku kembali muncul. Tidak biasanya Edward
bersikap seperti ini. Selama ini ia sangat tidak egois; aku
tahu itu membuatku manja.
"Kau bisa pergi ke mana pun kau mau.” Tandasku.
"Dunia luar tidak menarik bagiku kalau tanpa kau.”
Aku memutar bola mata mendengar pernyataannya yang
hiperbolis.


“Aku serius,” sergah Edward.
"Pelan-pelan saja dulu, oke? Misalnya, kita mulai dengan
nonton film dulu di Port Angeles...”
Edward mengerang. "Sudahlah. Nanti saja kita bicarakan
lagi.”
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.”
Edward mengangkat bahu.
"Oke, kalau begitu, topik baru,” tukasku. Aku sudah
hampir melupakan kekhawatiranku siang tadi – itukah
sebabnya Edward ngotot ingin kami pergi? "Apa yang
dilihat Alice saat makan siang tadi?"
Ekspresi Edward tetap tenang; mata topaz-nya hanya
sedikit mengeras. "Beberapa kali dia melihat Jasper di
tempat aneh, di daerah barat daya sana, kalau tidak salah
menurut Alice, dekat tempat mantan... keluarganya. Tapi
Jasper sendiri tidak berniat kembali ke sana." Edward
mendesah. "Itu membuat Alice khawatir
"Oh.” Ternyata sama sekali tidak seperti dugaanku. Tapi
tentu saja masuk akal bila Alice mengawasi masa depan
Jasper. Jasper belahan jiwanya, pasangan sejatinya,
walaupun mereka tidak seflamboyan Rosalie dan Emmett
dalam berhubungan. "Kenapa kau rak menceritakannya
padaku sebelumnya?"
“Aku tidak sadar kau ternyata memerhatikan,” dalih
Edward. "Bagaimanapun, mungkin itu tidak penting.”
Menyedihkan, bagaimana imajinasiku begitu tak
terkendali. Siang yang normal-normal saja kubuat
sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah Edward
mencoba menyembunyikan sesuatu dariku. Aku butuh
terapi.


Kami turun ke bawah untuk mengerjakan PR, berjagajaga
siapa tahu Charlie pulang lebih cepat. Dalam beberapa
menit Edward berhasil menyelesaikan PR-nya; aku susah
payah berkutat dengan Kalkulus-ku sampai tiba waktunya
memasak makan malam untuk Charlie. Edward membantu,
sesekali mengernyit melihat bahan-bahan mentah –
makanan manusia sedikit menjijikkan baginya. Aku
membuat stroganoff dengan resep Grandma Swan, karena
aku ingin cari muka. Meski bukan termasuk makanan
kesukaanku, tapi itu akan membuat Charlie senang.
Suasana hati Charlie kelihatannya sedang bagus ketika ia
sampai di rumah. Sikapnya bahkan tidak kasar kepada
Edward. Seperti biasa, Edward tidak ikut makan dengan
kami. Suara siaran berita malam terdengar dari ruang
depan, tapi aku ragu Edward benar-benar menonton.
Setelah makan sampai tambah tiga kali, Charlie
mengangkat kedua kaki dan menumpangkannya ke kursi
kosong, lalu melipat tangan dengan sikap puas di perutnya
yang membuncit.
"Enak sekali, Bells.”
"Aku senang Dad menyukainya. Bagaimana pekerjaan
Dad?" Tadi ia begitu asyik makan sehingga tidak sempat
ngobrol denganku.
“Agak sepi. Well, sepi sekali, malah. Aku lebih sering
menghabiskan waktu bermain kartu bersama Mark,”
Charlie mengaku sambil nyengir. "Aku menang, sembilan
belas lawan tujuh. Kemudian aku mengobrol di telepon
sebentar dengan Billy.”
Aku berusaha menunjukkan ekspresi yang sama.
"Bagaimana keadaannya?”
"Baik, baik. Persendiannya agak kaku.”


"Oh. Sayang sekali.”
"Yeah. Dia mengundang kita ke rumahnya akhir pekan
nanti. Katanya dia juga ingin mengundang keluarga
Clearwater dan Uley. Yah, kumpul-kumpul sambil nonton
pertandingan babak playoff...”
"Hah,” adalah respons geniusku. Habis, mau bilang apa
lagi? Aku tahu aku tidak bakal diizinkan menghadiri pesta
yang juga dihadiri werewolf, walaupun ada orangtua yang
mengawasi. Aku jadi penasaran apakah Edward keberatan
Charlie pergi ke La Push. Atau apakah ia akan merasa
bahwa, berhubung Charlie lebih banyak nongkrong dengan
Billy, yang manusia biasa, maka ayahku tidak bakal
terancam bahaya?
Aku bangkit dan menumpuk piring-piring kotor tanpa
memandang Charlie. Kuletakkan semua piring itu ke bak
cuci, lalu mulai menyalakan air. Edward muncul tanpa
suara dan menyambar lap piring.
Charlie mendesah dan menyerah untuk sementara ini,
walaupun aku yakin ia akan mengungkit lagi topik itu saat
kami hanya berdua. Ia bangkit dengan susah payah lalu
beranjak menuju televisi, seperti kebiasaannya setiap
malam.
"Charlie,” panggil Edward dengan nada mengajak
mengobrol.
Charlie berhenti di tengah-tengah dapurnya yang kecil.
"Yeah?”
“Apakah Bella pernah bercerita orangtuaku memberinya
tiket pesawat pada hari ulang tahunnya yang terakhir, agar
dia bisa mengunjungi Renee?"
Piring yang sedang kugosok langsung lepas dari
pegangan.


Benda itu mental ke konter dan jatuh ke lantai dengan
suara berdentang. Piring itu tidak pecah, tapi air bersabun
memercik ke seluruh ruangan, menciprati kami bertiga.
Charlie bahkan seolah-olah tidak menyadarinya.
"Bella?" tanyanya tercengang.
Mataku tetap tertuju ke piring saat aku memungutnya.
"Yeah, benar.”
Charlie meneguk ludah dengan suara nyaring, kemudian
matanya menyipit saat memandang Edward kembali.
"Tidak, dia belum pernah cerita.”
"Hmm,” gumam Edward.
“Ada alasan kenapa kau mengungkitnya?" tanya Charlie,
suaranya lantang.
Edward mengangkat bahu. "Tiket-tiket itu sudah hampir
kedaluwarsa. Kurasa Esme akan sakit hati kalau Bella tidak
memanfaatkan hadiahnya. Walaupun dia tidak akan
mengatakan apa-apa.”
Kutatap Edward dengan raut tak percaya.
Charlie berpikir sebentar, "Mungkin ada bagusnya juga
kau mengunjungi ibumu, Bella. Renee pasti senang sekali.
Tapi heran juga kau tidak pernah menceritakannya
padaku.”
"Aku lupa,” aku mengakui.
Kening Charlie berkerut. "Kau lupa ada orang
memberimu tiket pesawat?”
"Mmm,” gumamku samar-samar, lalu berbalik
menghadapi bak cuci lagi.


"Tadi kaubilang tiket-tiket itu hampir kedaluwarsa,
Edward,” sambung Charlie. "Memangnya orangtuamu
memberi Bella berapa tiket?"
"Hanya satu untuknya... dan satu untukku.”
Sekali ini piring yang kupegang terlepas dan mendarat di
bak cuci, jadi tidak terlalu berisik. Dengan mudah aku bisa
mendengar dengus tajam keluar dari mulut ayahku. Darah
menyembur deras ke wajahku, dipicu perasaan kesal dan
kecewa. Kenapa Edward nekat melakukannya? Dengan
garang kupandangi busa sabun dalam bak cuci, panik.
"Tidak boleh!" raung Charlie marah, meneriakkan katakata
itu.
"Kenapa tidak boleh?" tanya Edward, suaranya sarat
keterkejutan yang lugu. "Kata Anda tadi, ada baiknya Bella
mengunjungi ibunya.”
Charlie tak menggubris kata-kata Edward. "Kau tidak
boleh pergi ke mana pun dengan dia, young lady!" pekiknya.
Aku berbalik secepat kilat dan Charlie menuding-nuding
wajahku dengan jarinya.
Otomatis amarahku langsung naik ke ubun-ubun, itu
reaksi naluriah mendengar nada suara Charlie.
"Aku bukan anak kecil, Dad. Dan aku sudah tidak
dihukum lagi, ingat?"
"Oh ya, kau masih dihukum. Mulai sekarang.”
“Karena apa?!”
"Karena kubilang begitu.”
"Apa perlu kuingatkan bahwa secara hukum aku sudah
dewasa Charlie?" .
"Ini rumahku – kau harus ikut peraturanku!"


Tatapan garangku berubah dingin. "Kalau memang itu
yang Dad mau. Dad ingin aku angkat kaki malam ini juga?
Atau aku mendapat kesempatan beberapa hari untuk
berkemas-kemas?"
Wajah Charlie merah padam. Aku langsung merasa
tidak enak karena memainkan kartu as "pindah" itu.
Aku menghela napas dalam-dalam dan berusaha
terdengar lebih lunak. "Aku menjalankan hukumanku tanpa
mengeluh kalau aku memang melakukan kesalahan, Dad,
tapi aku tidak mau menolerir prasangka-prasangka Dad.”
Charlie menggerutu tidak jelas.
"Nah, aku tahu Dad tahu aku berhak mengunjungi Mom
pada akhir pekan. Dad pasti tidak keberatan dengan
rencana itu kalau aku pergi bersama Alice atau Angela.”
"Perempuan,” geramnya, sambil mengangguk.
"Apakah Dad keberatan kalau aku mengajak Jacob?"
Aku sengaja menyebut nama itu karena tahu ayahku
menyukai Jacob, tapi dengan segera aku menyesalinya;
rahang Edward terkatup rapat dengan suara nyaring.
Ayahku berusaha keras mengendalikan emosinya
sebelum menjawab. "Ya;' sahutnya, nadanya tidak
meyakinkan. "Aku pasti keberatan.”
"Kau tidak pintar berbohong, Dad.”
"Bella...”
"Aku bukan mau ke Vegas untuk menjadi artis panggung
atau semacamnya. Aku mau mengunjungi Mom,” aku
mengingatkannya. "Mom juga punya otoritas sebagai
orangtua, sama seperti Dad.”
Charlie melayangkan pandangan merendahkan.


"Jadi maksud Dad, Mom tidak mampu menjagaku,
begitu?"
Charlie tersentak mendengar ancaman implisit dalam
pertanyaanku.
"Dad berdoa saja aku tidak mengadukannya pada
Mom,” sergahku.
"Awas kalau kau mengadu padanya,” Charlie
memperingatkan, "Aku tidak menyukai rencana ini, Bella.”
"Tak ada alasan bagi Dad untuk marah.”
Charlie memutar bola matanya, tapi kentara sekali badai
sudah berlalu.
Aku berbalik untuk mencabut sumbat bak cuci piring.
"Jadi, PR-ku sudah selesai, makan malam Dad sudah
selesai, piring-piring juga sudah selesai dicuci, dan aku
sudah tidak dihukum lagi. Aku mau keluar. Aku akan
pulang sebelum setengah sebelas.”
"Mau ke mana kau?" Wajah Charlie, yang hampir
kembali normal, berubah merah lagi.
"Tidak tahu,” aku mengakui. "Tapi tidak jauh-jauh dari
sekitar sini. Oke?"
Charlie menggerutu, kedengarannya tidak setuju, lalu
menghambur keluar ruangan. Seperti biasa, begitu
memenangkan perdebatan, aku langsung merasa bersalah.
"Kita mau pergi?" tanya Edward, suaranya pelan tapi
antusias.
Aku berpaling dan memelototinya. "Ya. Rasanya aku
ingin bicara denganmu sendirian."
Edward tidak terlihat khawatir seperti yang kukira akan
ia rasakan.


Kutunggu sampai kami aman berada dalam mobilnya.
"Apa-apaan itu tadi?" tunturku,
“Aku tahu kau ingin bertemu ibumu, Bella – selama ini
kau mengigau terus menyebut-nyebut namanya.
Mengkhawatirkannya, sebenarnya.”
"Ah, masa?"
Edward mengangguk. "Tapi jelas kau terlalu pengecut
untuk menghadapi Charlie, jadi aku terpaksa menengahi
demi kau.”
"Menengahi? Kau mengumpankan aku ke hiu!"
Edward memutar bola matanya. "Menurutku, tidak ada
yang perlu dikhawatirkan.”
“Aku kan sudah bilang tidak mau bertengkar dengan
Charlie.”
"Tidak ada yang bilang kau harus.”
Aku melotot memandanginya. “Aku tak bisa
mengendalikan emosi kalau Charlie mulai mengatur-atur
seperti itu – naluri remajaku secara alami langsung
menguasaiku.”
Edward terkekeh. "Well, itu bukan salahku.”
Aku menatapnya, berspekulasi. Edward kelihatannya
tidak menyadarinya. Wajahnya tampak tenang saat
memandang ke luar jendela. Ada yang aneh, tapi aku tak
bisa menerka apa gerangan. Atau mungkin itu hanya
khayalanku yang kelewat liar seperti sore tadi.
“Apakah keinginan pergi ke Florida yang mendadak ini
ada hubungannya dengan pesta yang akan diselenggarakan
di rumah Billy?"


Dagu Edward mengeras. "Sama sekali tidak. Tidak
masalah apakah kau ada di sini atau di bagian dunia lain,
kau tetap tidak akan pergi.”
Sama seperti Charlie memperlakukanku tadi –
diperlakukan seperti anak nakal. Kugertakkan rahangku
kuat-kuat supaya tidak berteriak. Aku tak mau bertengkar
dengan Edward juga.
Edward mendesah, dan ketika berbicara, suaranya
kembali hangat dan sehalus beledu. "Jadi apa yang ingin
kaulakukan malam ini?" tanyanya.
"Bisakah kita ke rumahmu? Aku sudah lama sekali tidak
bertemu Esme.”
Edward tersenyum. "Dia pasti senang. Apalagi kalau
mendengar apa yang akan kira lakukan akhir minggu ini.”
Aku mengerang kalah.
Kami tidak pulang terlalu malam, seperti kataku tadi.
Aku tak heran melihat lampu-lampu masih menyala waktu
kami berhenti di depan rumah – aku sudah mengira Charlie
bakal menungguku pulang untuk memarahiku lagi.
"Sebaiknya kau tidak usah masuk.” karaku. "Itu hanya
akan membuat keadaan bertambah parah.”
"Pikirannya relatif tenang," goda Edward. Ekspresinya
membuatku bertanya-tanya apakah ada lelucon di baliknya
yang terlewat olehku. Sudut-sudut mulutnya bergetar,
menahan senyum.
"Sampai ketemu nanti,” gumamku muram.
Edward tertawa dan mengecup ubun-ubunku. “Aku
kembali lagi nanti setelah Charlie mendengkur.”


Televisi dinyalakan dengan suara keras waktu aku masuk
ke rumah. Aku sempat menimbang-nimbang untuk
menyelinap melewati Charlie.
"Bisa ke sini sebentar, Bella" panggil Charlie,
membuyarkan rencanaku.
Aku menyeret kakiku saat berjalan lima langkah menuju
ke sana.
"Ada apa, Dad?"
"Malammu menyenangkan?" tanyanya. Kelihatannya
suasana hati Charlie sedang bagus. Aku mencari makna di
balik kata-katanya sebelum menjawab.
"Ya,” jawabku ragu-ragu. "Apa yang kaulakukan tadi?"
Aku mengangkat bahu. "Nongkrong dengan Alice dan
Jasper. Edward mengalahkan Alice main catur, kemudian
aku main dengan Jasper. Dia membantaiku habis-habisan.”
Aku tersenyum. Edward dan Alice main catur adalah
salah satu hal terlucu yang pernah kulihat. Mereka duduk
diam, nyaris tak bergerak, menekuni papan catur,
sementara Alice melihat langkah-langkah yang akan
diambil Edward, lalu Edward membalas dengan memilih
langkah-langkah yang akan dimainkan Alice langsung dari
pikirannya. Mereka memainkan permainan itu lebih banyak
dengan pikiran; kalau tidak salah, mereka masing-masing
baru menjalankan dua pion waktu mendadak Alice
menyentil rajanya sampai jatuh dan menyerah. Permainan
itu hanya berlangsung tiga menit.
Charlie menekan tombol mute – itu bukan hal yang
lazim ia lakukan.
"Begini, ada yang perlu kusampaikan.” Charlie
mengerutkan kening, tampak sangat jengah.


Aku duduk diam, menunggu. Charlie menatap mataku
sejenak sebelum mengalihkan matanya ke lantai. Ia tidak
mengatakan apa-apa lagi.
“Apa itu, Dad?"
Charlie mendesah. "Aku kurang pandai dalam urusan
seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana memulainya...”
Aku menunggu lagi.
"Oke, Bella. Masalahnya begini,” Charlie bangkit dari
sofa dan mulai mondar-mandir sepanjang ruangan,
kepalanya terus tertunduk. "Kau dan Edward sepertinya
sangat serius, dan ada beberapa hal yang perlu
kauwaspadai. Aku tahu kau sudah dewasa sekarang, tapi
kau masih muda, Bella, dan ada banyak hal penting yang
harus kauketahui bila kau... well, bila kau terlibat secara
fisik dengan...”
"Oh, please, please jangan!" pintaku, melompat berdiri.
"Please, jangan bilang Dad mau mengajakku bicara tentang
seks.”
Charlie memelototi lantai. "Aku ayahmu. Aku punya
tanggung jawab. Ingat, aku sama malunya denganmu.”
"Kurasa secara manusia itu tidak mungkin. lagi pula,
Mom sudah mendahului Dad bicara soal ini sepuluh tahun
lalu. jadi Dad sudah tidak punya kewajiban lagi.”
"Sepuluh tahun lalu kau tidak punya pacar,” gerutu
Charlie.
Kentara sekali ia berjuang melawan keinginannya untuk
menyudahi topik ini. Kami sama-sama berdiri, menunduk
memandangi lantai, dan saling memunggungi.
"Kurasa esensinya belum banyak berubah,” gumamku,
wajahku pasti semerah wajahnya. Benar-benar di luar


perkiraan; bahkan lebih parahnya lagi, Edward tahu ini
bakal terjadi. Pantas ia terlihat begitu geli di mobil tadi.
"Katakan saja padaku kalian akan bersikap penuh
tanggung jawab,” pinta Charlie, jelas-jelas berharap sebuah
lubang bakal menganga di lantai supaya ia bisa melompat
ke dalamnya.
"Jangan khawatir soal itu, Dad, hubungan kami tidak
seperti itu.”
"Bukan berarti aku tidak memercayaimu, Bella. Aku
tahu kau tidak ingin bercerita apa-apa padaku soal ini, dan
kau tahu aku tidak benar-benar ingin mendengarnya. Tapi
akan kucoba untuk berpikiran terbuka. Aku tahu zaman
telah berubah.”
Aku tertawa canggung. "Mungkin zaman memang sudah
berubah, tapi Edward orangnya sangat kuno. Jadi Dad
tidak perlu khawatir.”
Charlie mendesah. "Hah, yang benar saja.” gerutunya.
"Ugh!" erangku. "Kalau saja Dad tidak memaksaku
mengakuinya terang-terangan. Sungguh. Tapi... aku masih
perawan, dan tidak punya keinginan mengubah status itu
dalam waktu dekat.”
Kami sama-sama meringis, tapi kemudian wajah Charlie
kembali tenang. Kelihatannya ia percaya padaku.
"Boleh aku tidur sekarang. Please.”
"Sebentar lagi,” kata Charlie.
"Aduh, please, Dad? Kumohon.”
"Bagian yang memalukan sudah lewat, aku janji,”
Charlie meyakinkanku.


Aku menatap Charlie, dan bersyukur melihatnya tampak
lebih rileks, wajahnya sudah kembali ke warna aslinya.
Ayahku menghenyakkan tubuh ke sofa, mengembuskan
napas lega karena tak perlu lagi membicarakan soal seks.
“Apa lagi sekarang?"
"Aku hanya ingin tahu perkembangan soal
keseimbangan itu.”
"Oh. Bagus, kurasa. Tadi aku janjian dengan Angela.
Aku akan membantunya menulis surat pemberitahuan
kelulusan. Hanya kami cewek-cewek.”
"Bagus sekali. Iantas bagaimana dengan Jake?"
Aku mendesah. "Soal yang satu itu, aku belum
menemukan pemecahannya, Dad.”
"Teruslah berusaha, Bella. Aku tahu kau akan
melakukan hal yang benar. Kau anak baik.”
Baik. Jadi kalau aku tidak menemukan solusi untuk
membereskan masalahku dengan Jacob, berarti aku bukan
anak yang baik? Sungguh tidak bisa diterima.
"Tentu, tentu.” aku menyetujui. Respons otomatis itu
nyaris membuatku tersenyum – itu kebiasaan yang
ditularkan Jacob padaku. Aku bahkan mengucapkannya
dengan nada meremehkan seperti yang digunakan Jacob
pada ayahnya sendiri.
Charlie nyengir dan menghidupkan lagi suara TV. Ia
duduk merosot di bantal-bantal kursi, puas dengan hasil
kerjanya malam ini. Kentara sekali ia akan asyik menonton
pertandingan selama beberapa waktu.
"'Malam, Bells.”
"Sampai besok pagi!" Aku cepat-cepat kabur menaiki
tangga.


Edward sudah lama pergi dan tidak akan kembali
sebelum Charlie tertidur – mungkin sekarang ini ia sedang
berburu atau semacamnya untuk menghabiskan waktu –
jadi aku tidak tergesa-gesa berganti baju untuk tidur. Aku
sedang tidak ingin sendirian, tapi aku juga malas turun
untuk mengobrol dengan ayahku, karena jangan-jangan ada
topik tentang pendidikan seks yang belum sempat
diungkitnya tadi; aku bergidik.
Jadi, gara-gara Charlie, aku gelisah seperti cacing
kepanasan. PR-ku sudah selesai dan aku sedang tidak ingin
membaca atau sekadar mendengarkan musik. Aku
menimbang-nimbang untuk menelepon Renee untuk
mengabarkan kedatanganku, tapi kemudian aku sadar di
Florida tiga jam lebih cepat daripada di sini, jadi ia pasti
sudah tidur.
Mungkin aku bisa menelepon Angela.
Tapi tiba-tiba aku tahu, sebenarnya bukan Angela yang
ingin kuajak ngobrol. Bukan dia yang perlu kuajak ngobrol.
Aku memandangi jendela kamar yang hitam kosong
sambil menggigit bibir. Entah berapa lama aku berdiri di
sana, menimbang-nimbang pro dan kontra pergi ke sana –
melakukan hal yang benar menurut Jacob, bertemu teman
terdekatku lagi, menjadi orang baik, versus membuat
Edward marah padaku. Sepuluh menit mungkin. Pokoknya
cukup lama untuk memutuskan bahwa hal-hal yang pro
memiliki dasar yang kuat, sementara hal yang kontra tidak.
Edward hanya memikirkan keselamatanku, dan aku tahu
sebenarnya tak ada masalah dalam hal itu.
Telepon sama sekali tidak membantu; Jacob menolak
menerima telepon dariku sejak Edward kembali. lagi pula,
aku perlu bertemu dengannya – melihatnya tersenyum lagi
seperti dulu. Aku perlu menggantikan kenangan buruk


terakhir berupa wajahnya yang berkerut sedih, kalau aku
ingin pikiranku tenang kembali.
Mungkin aku punya waktu satu jam. Aku bisa bergegas
pergi ke La Push dan kembali sebelum Edward menyadari
aku pergi ke sana. Sebenarnya sekarang sudah lewat jam
malamku, tapi mungkin Charlie tidak keberatan, karena toh
ini tidak melibatkan Edward? Hanya ada saru cara untuk
mengetahuinya.
Kusambar jaketku dan kujejalkan kedua tanganku ke
lengannya sambil berlari menuruni tangga.
Charlie mendongak dari keasyikannya nonton
pertandingan, serta-merta langsung curiga.
"Dad tidak keberatan kan, kalau aku pergi menemui Jake
malam ini?” tanyaku, napasku terengah-engah. "Tidak lama
kok.”
Begitu aku menyebut nama Jake, ekspresi Charlie
langsung berubah rileks, senyum kemenangan tersungging
di wajahnya. Kelihatannya ia sama sekali tidak terkejut
khotbahnya memberi hasil begitu cepat. "Tentu boleh, Nak.
Bukan masalah. Pulanglah jam berapa pun kau suka.”
"Trims, Dad,” seruku sambil menghambur keluar pintu.
Seperti buronan, aku bolak-balik menoleh ke belakang
saat berlari-lari kecil menuju truk, tapi malam sangat gelap,
jadi percuma saja berbuat begitu. Aku bahkan harus
meraba-raba di sepanjang sisi truk untuk menemukan
handel pintu.
Mataku baru mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan
saat aku menjejalkan kunciku ke lubang kunci. Kuputar
keras-keras ke kiri, tapi bukannya mendengar bunyi mesin
meraung memekakkan telinga, mesin mobil hanya berbunyi
klik. Kucoba sekali lagi, hasilnya sama saja.


Kemudian, gerakan kecil di sudut mata membuatku
melompat kaget.
"Astaga!" aku terkesiap sewaktu menyadari ternyata aku
tidak sendirian di dalam truk.
Edward duduk diam tak bergerak, sosoknya berupa titik
terang samar di tengah kegelapan. Hanya tangannya yang
bergerak saat ia memutar-mutar sebuah benda hitam
misterius. Dipandanginya benda itu sambil bicara.
"Alice menelepon,” gumamnya.
Alice! Sial. Aku lupa memperhitungkannya dalam
rencanaku. Edward pasti menyuruhnya mengawasiku.
"Dia cemas saat masa depanmu tiba-tiba lenyap lima
menit yang lalu.”
Mataku, yang sudah membeliak lebar karena kaget,
membelalak semakin lebar.
"Karena dia tidak bisa melihat serigala-serigala itu, kau
tahu,” Edward menjelaskan dengan gumaman pelan yang
sama. "Apa kau sudah lupa itu? Saat kau memutuskan
meleburkan takdirmu dengan mereka, kau juga lenyap. Kau
tidak mungkin tahu itu aku tersadar. Tapi bisakah kau
memahami, mengapa itu membuatku agak... cemas? Alice
melihatmu menghilang, dan dia bahkan tidak bisa melihat
apakah kau sudah pulang atau belum. Masa depanmu
lenyap, sama seperti mereka.
"Kami tidak tahu persis kenapa seperti itu keadaannya.
Apakah itu sistem pertahanan diri alamiah yang mereka
bawa sejak lahir?" Edward seolah bicara kepada dirinya
sendiri sekarang, sambil terus memandangi bagian mesin
mobilku yang diputar-putarnya di tangan. "Sepertinya tak
sepenuhnya begitu, karena aku tetap bisa membaca pikiran
mereka. Setidaknya pikiran keluarga Black. Carlisle berteori


itu karena kehidupan mereka sangat diatur transformasi
mereka. Lebih merupakan reaksi tidak sengaja daripada
sebuah keputusan. Sangat tidak bisa ditebak, dan itu
mengubah segalanya mengenai mereka. Detik itu juga, saat
mereka berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, mereka
bahkan tidak benar-benar ada. Masa depan tidak bisa
memegang mereka...”
Aku mendengarkan pemikiran Edward itu sambil diam
membisu.
"Aku akan membetulkan lagi mobilmu sebelum
berangkat sekolah, untuk berjaga-jaga siapa tahu kau mau
menyetir sendiri.” Edward meyakinkanku sejurus
kemudian.
Dengan bibir terkatup rapat kucabut kembali kunciku
dan dengan kaku turun dari mobil.
"Tutup jendelamu kalau kau tidak ingin aku datang
malam ini. Aku bisa mengerti,” bisik Edward, tepat
sebelum aku membanting pintu.
Aku menghambur masuk sambil mengentak-entakkan
kaki, lalu membanting pintu rumah sekalian.
"Ada apa?" tanya Charlie dari sofa.
"Trukku ngadat,” geramku.
"Mau kucek?"
"Tidak. Akan kucoba lagi besok pagi.”
"Mau pakai mobilku?”
Padahal aku tidak boleh menyetir mobil polisi. Charlie
pastilah sangat bernafsu ingin agar aku ke La Push. Hampir
sama bernafsunya seperti aku.
"Tidak aku capek,”gerutuku. ”malam”


Aku menaiki tangga dengan langkah-langkah kesal,
langsung menghampiri jendela kamarku. Kudorong daun
jendela yang bingkainya dari logam – jendela itu menutup
dengan suara keras hingga kaca-kacanya bergetar.
Lama sekali aku hanya diam memandangi kaca hitam
yang bergetar itu, hingga hatiku tenang lagi. Ialu aku
mendesah, dan membuka kembali jendela itu selebarlebarnya.
3. MOTIF
MATAHARI tenggelam begitu dalam di balik awanawan,
jadi rak bisa diketahui apakah matahari sudah
terbenam atau belum. Setelah penerbangan yang panjang –
mengejar matahari ke arah barat hingga seolah matahari tak
bergerak di langit itu membuat orang seperti kehilangan
orientasi waktu, waktu terasa begitu tak beraturan. Sungguh
mengagetkan saat hutan berganti jadi bangunan-bangunan
pertama, menandakan kami sudah hampir sampai di
rumah.
"Sejak tadi kau diam saja.” komentar Edward. "Apakah
terbang membuatmu mual?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Kau sedih karena harus pulang?"
"Lebih lega daripada sedih, kurasa.”
Edward mengangkat sebelah alisnya. Aku tahu tak ada
gunanya dan – walaupun aku benci mengakuinya – tidak
perlu memintanya tetap memerhatikan jalan di depan.
"Renee jauh lebih... perhatian daripada Charlie dalam
beberapa hal. Itu membuatku gelisah.”


Edward tertawa. "Ibumu memiliki pikiran yang sangat
menarik. Hampir seperti kanak-kanak, tapi sangat
berwawasan. Dia memandang berbagai hal secara berbeda
dibandingkan orang-orang lain.”
Berwawasan. Itu deskripsi yang bagus untuk
menggambarkan ibuku – kalau ia sedang memerhatikan.
Sering kali Renee bingung menghadapi hidupnya sendiri
hingga tidak memerhatikan hal lain. Tapi akhir minggu ini
ia banyak memerhatikan aku.
Phil sibuk – tim bisbol SMA yang dilatihnya lolos ke
babak playoff – dan sendirian bersama Edward dan aku
malah semakin mempertajam fokus Renee. Begitu selesai
berpelukan dan menjerit-jerit gembira, Renee mulai
memerhatikan. Dan ketika memerhatikan, mata birunya
yang lebar itu mula-mula memancarkan sorot bingung,
kemudian waswas.
Paginya kami berjalan-jalan menyusuri tepi pantai.
Renee ingin memamerkan semua keindahan rumah
barunya, masih berharap, kurasa, bahwa matahari akan
menarikku keluar dari Forks. Ia juga ingin bicara berdua
saja denganku, dan itu bisa diatur dengan mudah. Edward
berlagak harus menyelesaikan tugas sekolah sebagai alasan
untuk tidak keluar rumah seharian.
Di kepalaku, kuputar kembali percakapan itu ...
Renee dan aku berjalan santai menyusuri trotoar,
berusaha tetap berada di bawah naungan bayang-bayang
pohon palem. Walaupun masih pagi, panas sudah
menyengat. Udara sangat berat dan lembab sehingga untuk
menarik napas dan mengembuskannya lagi, paru-paruku
harus berjuang keras.
"Bella?" panggil ibuku, memandang melewati pasir
pantai, ke ombak yang mengempas pelan.


"Ada apa, Mom?"
Renee mendesah, tak berani menatap mataku. “Aku
khawatir...”
"Ada apa?" tanyaku, langsung cemas. "Ada yang bisa
kubantu?"
"Ini bukan mengenai aku,” Renee menggeleng. "Aku
khawatir memikirkanmu ... dan Edward.”
Renee akhirnya menatapku saat mengucapkan nama
Edward, wajahnya seperti meminta maaf.
"Oh,” gumamku, menatap sepasang pelari yang
melewati kami, tubuh mereka basah kuyup akibat keringat.
"Ternyata hubungan kalian lebih serius daripada yang
selama ini kukira,” sambungnya.
Aku mengerutkan kening, buru-buru memutar kembali
kegiatan kami dua hari belakangan. Edward dan aku
hampir-hampir tidak saling menyentuh-di depannya, paling
tidak. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Renee juga
akan menguliahiku tentang tanggung jawab. Aku tidak
keberatan seperti waktu aku dikuliahi Charlie. Dengan
ibuku, rasanya tidak memalukan. Bagaimanapun, aku juga
menguliahinya tentang hal yang sama berulang kali selama
sepuluh tahun terakhir.
"Ada yang... aneh mengenai kebersamaan kalian,”
gumamnya, keningnya berkerut di atas matanya yang
memancarkan sorot khawatir. "Caranya mengawasimu –
sangat protektif. Seolah-olah dia rela menghadang peluru
untuk menyelamatkanmu atau semacamnya.”
Aku tertawa, walaupun tetap belum mampu membalas
tatapannya. "Memangnya itu jelek?"


"Tidak,” Renee mengerutkan kening sambil susah payah
mencari kata-kata yang tepat. "Hanya berbeda. Dia sangat
intens terhadapmu... dan sangat hati-hati. Aku merasa tidak
benar-benar memahami hubungan kalian. Seolah-olah ada
rahasia yang tidak kuketahui...”
"Ah, Mom hanya membayangkan yang bukan-bukan,”
sergahku cepat-cepat, berusaha keras agar suaraku tetap
ringan. Perutku langsung mulas. Aku sudah lupa betapa
banyak yang bisa dilihat ibuku. Ada sesuatu dalam
pandangannya yang sederhana terhadap dunia yang
menohok tepat di sasaran. Ini tidak pernah menjadi
persoalan sebelumnya. Hingga kini tak pernah ada rahasia
yang tidak bisa kuceritakan padanya.
"Bukan hanya dia,” Renee mengatupkan bibir dengan
sikap defensif. "Kalau saja kau bisa melihat tindaktandukmu
saat ada dia.”
"Apa maksud Mom?"
"Caramu bergerak – kau mengitarinya bahkan tanpa
perlu berpikir lagi. Bila dia bergerak, meski sedikit saja, kau
langsung menyesuaikan posisi pada saat bersamaan. Seperti
magnet... atau gravitasi. Kau seperti ... satelit, atau
sebangsanya. Aku belum pernah melihat sesuatu seperti
itu.”
Renee mengerucutkan bibir dan memandang ke bawah.
"Aku tahu.” godaku, memaksakan senyuman. "Mom
pasti habis membaca cerita-cerita misteri lagi, kan? Atau
kali ini fiksi ilmiah?”
Wajah Renee semburat merah jambu. "Itu tidak ada
hubungannya dengan ini.”
"Menemukan cerita yang bagus?”


"Well, ada satu – tapi itu tidak penting. Kita sedang
membicarakan kau sekarang."
"Seharusnya Mom tetap membaca kisah-kisah cinta saja.
Yang lain-lain hanya membuat Mom ketakutan.”
Sudut-sudut bibir Renee terangkat. "Aku konyol, ya?”
Selama setengah detik aku tak mampu menjawab.
Pendapat Renee sangat gampang digoyahkan. Terkadang
itu ada bagusnya, karena tidak semua idenya praktis. Tapi
hatiku jadi sedih melihat betapa cepatnya ia menyerah pada
tanggapanku yang mengecilkan kekhawatirannya, terutama
karena kali ini ibuku seratus persen benar.
Renee mendongak, dan aku menjaga ekspresiku.
"Bukan konyol – hanya bersikap layaknya ibu.”
Renee tertawa, kemudian melambaikan tangan ke pasir
pantai yang putih serta laut biru yang menghampar.
"Dan semua ini tidak cukup untuk membuatmu pindah
lagi ke rumah ibumu yang konyol?"
Aku mengusap keningku dengan lagak dramatis,
kemudian berpura-pura menjambak rambutku sendiri.
"Kau akan terbiasa dengan udara lembab ini,” janjinya.
"Kau juga akan terbiasa dengan hujan,” balasku.
Renee pura-pura menyikutku, kemudian meraih
tanganku sementara kami berjalan kembali ke mobilnya.
Selain kekhawatirannya terhadapku, Renee kelihatannya
cukup bahagia. Damai. Ia masih menatap Phil dengan
pandangan sendu, dan itu menenangkan. Jelas hidupnya
lengkap dan memuaskan. Jelas ia tidak terlalu kehilangan
aku, bahkan sekarang...


Jari-jari Edward yang sedingin es mengusap pipiku. Aku
mendongak, mengerjap-ngerjapkan mata, kembali ke masa
kini. Edward membungkuk dan mengecup keningku.
"Kita sudah sampai, Sleeping Beauty. Waktunya
bangun.” Kami berhenti di depan rumah Charlie. Iampu
teras menyala dan mobil patrolinya diparkir di jalan masuk.
Saat aku mengamati rumah itu, kulihat tirai tersibak di
jendela ruang tamu, memancarkan cahaya lampu berwarna
kuning ke halaman yang gelap.
Aku mendesah. Tentu saja Charlie menunggu, siap
menerkam.
Edward pasti memikirkan hal yang sama, karena
ekspresinya tegang dan sorot matanya dingin saat ia
menghampiri untuk membukakan pintu bagiku.
"Seberapa parah?” tanyaku.
"Charlie tidak akan menyulitkan,” janji Edward,
suaranya datar tanpa secercah pun nada humor. "Dia rindu
padamu.”
Mataku menyipit ragu. Kalau benar begitu, kenapa
Edward tegang seperti siap berperang?
Tasku kecil, tapi Edward memaksa membawakannya
sampai ke rumah. Charlie memegangi pintu agar tetap
terbuka untuk kami.
"Selamat datang di rumah, Nak!" Charlie berseru seolah
bersungguh-sungguh. "Bagaimana keadaan di
Jacksonville?"
"Lembab. Dan banyak serangganya.”
"Jadi Renee tidak berhasil merayumu untuk masuk ke
University of Florida?"


"Dia sudah mencoba. Tapi aku lebih suka minum air
daripada menghirupnya.”
Mata Charlie berkelebat tidak suka ke arah Edward.
"Kau senang di sana?"
"Ya.” jawab Edward kalem. "Sambutan Renee sangat
ramah.”
"Itu ... ehm, bagus. Aku senang kau senang di sana,”
Charlie berpaling dari Edward dan tahu-tahu menarik
tubuhku, memelukku.
"Mengesankan,” bisikku di telinganya.
Charlie tertawa menggelegar. "Aku benar-benar kangen
padamu, Bells. Makanan di rumah ini payah kalau kau
tidak ada.”
"Aku akan langsung memasak,” kataku setelah Charlie
melepaskan pelukannya.
"Maukah kau menelepon Jacob dulu? Dia menerorku
setiap lima menit sejak jam enam tadi pagi. Aku sudah
berjanji akan menyuruhmu meneleponnya bahkan sebelum
kau membongkar koper.”
Aku tidak perlu melihat ke arah Edward untuk
merasakan tubuhnya mengejang diam, dingin di sebelahku.
Jadi ini sebabnya ia begitu tegang.
"Jacob ingin bicara denganku?"
"Bisa dibilang sangat bernafsu. Dia tidak mau memberi
tahu ada apa – tapi katanya penting.”
Derik itu juga telepon berbunyi, melengking dan
menuntut,
"Itu pasti dia lagi, taruhannya gajiku bulan depan,”
gerutu Charlie.


"Biar aku saja,” Aku bergegas ke dapur,
Edward mengikutiku sementara Charlie menghilang
memasuki ruang duduk.
Kusambar gagang telepon saat tengah berdering, lalu
membalikkan badan sehingga menghadap dinding. "Halo?"
"Kau sudah pulang,” kata Jacob.
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang
kesedihan ke hatiku. Ribuan kenangan berputar di
kepalaku, saling membelit – pantai berbatu dengan
pepohonan driftwood di sana-sini, garasi beratap plastik,
minuman soda hangat dalam kantong kertas, ruangan kecil
dengan sofa loveseat usang yang kelewat kecil. Tawa yang
terpancar dari mata hitamnya yang dalam, panas membara
yang terpancar dari tangannya yang besar saat melingkari
tubuhku, secercah warna putih dari sederet giginya yang
tampak kontras dengan kulitnya yang gelap, wajahnya yang
merekah oleh senyum lebar yang seolah-olah selalu menjadi
kunci menuju pintu rahasia yang hanya bisa dimasuki
jiwa,jiwa sejenis.
Rasanya nyaris seperti kerinduan pada kampung
halaman, kerinduan terhadap tempat dan orang yang telah
melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku.
Aku berdeham-deham, menyingkirkan gumpalan di
tenggorokanku. "Ya,” sahutku.
"Kenapa kau tidak meneleponku?" tuntut Jacob.
Nadanya yang marah langsung memicu emosiku.
"Karena aku baru saja sampai di rumah kira-kira empat
detik dan teleponmu menginterupsi Charlie yang sedang
memberi tahu bahwa kau tadi menelepon.”
"Oh. Maaf.”


"Baiklah. Sekarang, kenapa kau mengganggu Charlie
terus?"
"Aku perlu bicara denganmu.”
"Yeah, kalau itu aku sudah bisa menduganya sendiri.
Teruskan.”
Jacob terdiam sebentar. "Besok kau sekolah?"
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Jacob
menanyakan itu. "Tentu saja. Kenapa tidak?"
"Entahlah. Hanya ingin tahu.”
Lagi,lagi Jacob terdiam.
"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan, Jake?”
Jacob ragu,ragu. "Sebenarnya tidak ada, kurasa. Aku...
hanya ingin mendengar suaramu"
"Yeah, aku tahu. Aku sangat senang kau meneleponku,
Jake. Aku...” Tapi aku tak tahu harus bilang apa lagi. Aku
ingin memberitahunya aku akan pergi ke La Push sekarang
juga. Tapi aku tak bisa mengatakannya.
"Sudah dulu, ya,” kata Jacob tiba-tiba.
“Apa?”
"Nanti kutelepon kau lagi, oke?"
"Tapi, Jake...”
Jake sudah keburu menutup telepon. Aku mendengar
nada sambung dengan sikap tidak percaya.
"Singkat sekali,” gumamku.
"Semua beres?" tanya Edward. Suaranya rendah dan
hati-hati.


Pelan-pelan aku berbalik menghadapnya. Ekspresinya
datar sempurna – mustahil dibaca.
"Entahlah. Aku jadi penasaran ada apa sebenarnya.”
Tidak masuk akal Jacob mengganggu ketenangan Charlie
seharian hanya untuk bertanya apakah besok aku sekolah.
Dan kalau ia memang ingin mendengar suaraku, kenapa
secepat itu ia menyudahi pembicaraan?
"Kau sama tidak tahunya dengan aku,” kata Edward,
secercah senyum bermain di sudut mulutnya.
"Mmm,” gumamku. Itu benar, Aku mengenal Jake luar
dalam. Seharusnya tak sesulit itu menebak motifnya.
Dengan pikiranku jauh mengembara – kira-kira 25 kilo,
meter jauhnya, menyusuri jalan menuju La Push – aku
mulai mengorek-ngorek isi kulkas, mengumpulkan berbagai
bahan untuk memasakkan makan malam bagi Charlie.
Edward bersandar di konter, dan samar-samar aku
menyadari tatapannya yang tertuju ke wajahku, tapi
kelewat sibuk untuk mencemaskan apa yang dilihatnya di
sana.
Masalah sekolah seakan seperti kata kunci bagiku. Itu
satu-satunya pertanyaan yang ditanyakan Jake. Dan ia pasti
mengharapkan jawaban tertentu, sebab kalau tidak, tak
mungkin ia begitu gigih meneror Charlie.
Kenapa penting baginya apakah aku bolos atau tidak?
Aku berusaha berpikir logis. Jadi, seandainya aku tidak
berangkat ke sekolah besok, kira-kira apa sih masalahnya,
dilihat dari sudut pandang Jacob? Charlie sempat keberatan
aku bolos sehari padahal ujian akhir sudah dekat, tapi aku
berhasil meyakinkannya bahwa satu hari Jumat saja tidak
akan membuatku ketinggalan pelajaran. Kalau Jake pasti
tidak mempedulikan hal itu.


Otakku menolak memberikan jawaban masuk akal.
Mungkin ada informasi penting yang terlewatkan olehku.
Hal penting apa yang berubah dalam tiga hari hingga Jacob
merasa perlu mengakhiri penolakan panjangnya menjawab
teleponku dan menghubungiku? Perbedaan apa yang bisa
terjadi dalam tiga hari?
Aku membeku di tengah,tengah dapur. Bungkusan
hamburger beku di tanganku terlepas dari sela-sela jariku
yang kebas. Butuh sedetik yang panjang baru aku tersadar
benda itu tidak berbunyi saat membentur lantai.
Ternyata Edward menangkap dan melemparnya ke
konter.
Kedua lengannya sudah melingkariku, bibirnya di
telingaku.
"Ada apa?”
Aku menggeleng, linglung.
Tiga hari dapat mengubah segalanya.
Bukankah aku juga baru saja berpikir betapa mustahilnya
kuliah nanti? Bagaimana aku takkan bisa berada di dekat
manusia setelah perubahan selama tiga hari yang
menyakitkan itu, yang akan membebaskanku dari
ketidakabadian, sehingga aku bisa hidup selama-lamanya
bersama Edward. Perubahan yang akan membuatku
selamanya terpenjara oleh dahagaku sendiri ....
Apakah Charlie memberitahu Billy bahwa aku pergi
selama tiga hari? Apakah Billy langsung menyimpulkan
sendiri? Apakah sesungguhnya yang ingin ditanyakan Jacob
adalah apakah aku masih manusia? Memastikan
kesepakatan werewolf tidak dilanggar – bahwa tidak ada
anggota keluarga Cullen yang berani menggigit manusia ...
menggigit, bukan membunuh ...?


Tapi kalau benar begitu, masa ia mengira aku bakal
pulang dan menemui Charlie?
Edward mengguncang tubuhku. "Bella? tanyanya, benarbenar
cemas sekarang.
"Kurasa... kurasa dia bermaksud mengecek,” gumamku.
"Mengecek untuk memastikan. Bahwa aku masih jadi
manusia, maksudku.”
Edward mengejang, dan desisan rendah menggema di
telingaku.
"Kita harus pergi,” bisikku. "Sebelumnya. Supaya tidak
melanggar kesepakatan. Kita tidak akan pernah bisa
kembali ke sini.”
Lengan Edward merangkulku erat. "Aku tahu.”
"Ehem.” Charlie berdeham-deham dengan suara keras
di belakang kami.
Aku melompat, kemudian melepaskan diri dari pelukan
Edward, wajahku memanas. Edward menyandarkan
tubuhnya lagi di konter, Sorot matanya kaku. Aku juga bisa
melihat kekhawatiran, dan amarah, di sana.
"Kalau kau tidak mau memasak makan malam, aku bisa
memesan pizza,” sindir Charlie.
"Tidak, tidak apa,apa. Aku sudah mulai kok.”
"Oke,” sahut Charlie. Ia menumpukan tubuhnya di
ambang pintu, melipat kedua lengannya.
Aku mendesah dan mulai bekerja, berusaha
mengabaikan penontonku.
"Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, apakah kau
akan memercayaiku?" tanya Edward, ada kegelisahan
dalam suaranya yang halus.


Kami sudah hampir sampai di sekolah. Sedetik yang lalu
Edward masih bersikap rileks dan bercanda denganku, tapi
sekarang mendadak kedua tangannya mencengkeram
kemudi erat-erat, buku-buku jarinya berusaha keras
menahan agar tangannya tidak menghancurkan kemudi itu
hingga berkeping-keping.
Kuratap ekspresinya yang gelisah – matanya
menerawang jauh, seperti mendengarkan suara-suara di
kejauhan.
Detak jantungku langsung berpacu, merespons tekanan
yang ia rasakan, tapi kujawab pertanyaannya dengan hatihati.
"Tergantung.”
Kami memasuki lapangan parkir sekolah.
"Aku takut kau akan berkata begitu.”
"Kau ingin aku melakukan apa, Edward?"
“Aku ingin kau tetap di mobil.” Edward memarkir
mobilnya di tempat biasa dan mematikan mesin sambil
berbicara. "Aku ingin kau menunggu di sini sampai aku
datang menjemputmu.”
"Tapi... kenapa?"
Saat itu barulah aku melihatnya. Walaupun ia tidak
bersandar di sepeda motor hitamnya, yang diparkir
sembarangan di trotoar, tidak mungkin tidak melihatnya,
karena pemuda itu menjulang tinggi di antara murid-murid
lain.
"Oh.”
Wajah Jacob berupa topeng tenang yang kukenal dengan
baik. Ekspresi itu biasa ia tunjukkan bila ia bertekad
menahan emosi, mengendalikan diri. Ia jadi mirip Sam,
yang paling tua di antara para serigala, pemimpin kawanan


Quileure. Tapi Jacob tak pernah bisa memancarkan
ketenangan diri seperti yang selalu terpancar dari diri Sam.
Aku sudah lupa betapa mengusiknya wajah ini.
Walaupun aku sudah mengenal Sam dengan baik sebelum
keluarga Cullen kembali – menyukainya juga, bahkan – tapi
aku tak pernah benar-benar bisa mengenyahkan perasaan
sebalku bila Jacob meniru ekspresi Sam. Itu wajah orang
asing. Ia bukan Jacob-ku bila memasang ekspresi seperti itu.
"Kesimpulanmu tadi malam keliru,” gumam Edward.
"Dia bertanya tentang sekolah karena tahu di mana ada
kau, di situ ada aku. Dia mencari tempat yang aman untuk
bicara denganku. Tempat yang banyak saksi matanya.”
Jadi aku salah menginterpretasikan motif Jacob
semalam.
Kurang informasi, itulah masalahnya. Informasi seperti
misalnya kenapa Jacob merasa perlu berbicara dengan
Edward.
“Aku tidak mau menunggu di mobil,” tolakku.
Edward mengerang pelan. "Jelas tidak. Well, ayo segera
kita selesaikan.”
Wajah Jacob mengeras saat kami menghampirinya
sambil bergandengan tangan.
Aku juga memerhatikan wajah-wajah lain – wajah
teman-teman sekelasku. Kulihat mata mereka membelalak
saat melihat sosok Jacob yang tinggi menjulang, hampir
dua meter, dan berotot, tidak seperti lazimnya pemuda
berumur enam belas setengah tahun. Kulihat mata mereka
meneliti T~shirt hitam ketat yang dikenakannya –
berlengan pendek, padahal udara hari ini sangat dingin –
jins bututnya yang bernoda oli, serta sepeda motor hitam
mengilat yang disandarinya. Mata mereka tak berani lama-


lama menatap wajahnya – ada sesuatu dalam ekspresinya
yang membuat mereka cepat-cepat membuang muka. Dan
aku juga memerhatikan bagaimana orang-orang sengaja
berjalan memutar untuk menghindarinya, tidak berani
mendekat.
Dengan perasaan takjub, sadarlah aku bahwa Jacob
terlihat berbahaya bagi mereka. Sungguh aneh.
Edward berhenti beberapa meter dari Jacob, dan aku
tahu itu karena ia tidak suka aku berdiri terlalu dekat
dengan werewolf. Ia menarik tangannya agak ke belakang,
separuh menghalangiku dengan tubuhnya.
"Sebenarnya kau bisa menelepon kami saja,” kata
Edward dengan suara sekeras baja.
"Maaf," sahut Jacob, wajahnya terpilin membentuk
seringaian sinis. "Di speed dial teleponku tidak tersimpan
nomor telepon lintah.”
"Kau bisa menghubungiku di rumah Bella.”
Dagu Jacob mengeras, alisnya bertaut. Ia tidak
menyahut. "Ini bukan tempat yang tepat, Jacob. Bisakah
kira mendiskusikannya nanti?"
"Tentu, tentu, Aku akan mampir ke ruang bawah
tanahmu sepulang sekolah," Jacob mendengus. "Kalau
sekarang memangnya kenapa?”
Edward memandang berkeliling dengan sikap terangterangan,
matanya tertuju kepada para saksi mata yang
nyaris bisa mendengar pembicaraan kami. Beberapa orang
rampak ragu-ragu di trotoar, mata mereka bersinar-sinar
penuh harap. Seperti berharap akan ada perkelahian yang
dapat memecahkan kelesuan yang selalu dirasakan setiap
Senin pagi. Kulihat Tyler Crowley menyenggol Austin
Marks, dan mereka menyempatkan diri berhenti sebentar.


"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini,”
Edward mengingatkan Jacob dengan suara sangat pelan
hingga bahkan aku pun nyaris tidak mendengarnya. "Pesan
sudah diterima. Anggap saja kami sudah diperingarkan.”
Edward melirikku sekilas dengan sorot waswas.
"Diperingarkan?" tanyaku bingung. "Kau ini bicara apa?"
"Jadi kau tidak memberi tahu dia?" tanya Jacob,
matanya membelalak tak percaya. "Kenapa, kau takut dia
akan memihak kami?"
"Kumohon, hentikan, Jacob,” pinta Edward dengan
suara datar.
"Kenapa?" tantang Jacob.
Aku mengerutkan kening bingung. "Apa yang tidak
kuketahui? Edward?"
Edward hanya menatap Jacob garang, seolah-olah tidak
mendengar pertanyaanku.
"Jake?"
Jacob mengangkat alisnya padaku. "Jadi dia tidak cerita
padamu bahwa kakak... lelakinya melanggar batas hari
Sabtu malam?" tanya Jacob, nadanya sangat sinis. Ialu
matanya berkelebat kembali kepada Edward. "Jadi bisa
dibenarkan kalau Paul...”
"Itu wilayah tak bertuan!" desis Edward.
"Bukan!"
Kentara sekali Jacob sangat marah. Kedua tangannya
gemetar. Ia menggeleng dan menghirup napas dalam-dalam
dua kali, mengisi paru-parunya dengan udara.
"Emmett dan Paul?” bisikku. Paul saudara sekawanan
Jacob yang paling buas. Dialah yang kehilangan kendali di


hutan dulu – kenangan tentang serigala berbulu abu-abu
yang menggeram-geram mendadak terbayang sangat jelas di
kepalaku.
"Apa yang terjadi? Mereka berkelahi?" Suaraku
melengking tinggi saking paniknya. "Kenapa? Apakah Paul
terluka?"
"Tidak ada yang berkelahi,” Edward menjelaskan
dengan suara pelan, hanya kepadaku. "Tidak ada yang
terluka. Tidak perlu khawatir.”
Jacob memandangi kami dengan sorot tak percaya. "Jadi
kau sama sekali tidak cerita padanya? Itukah sebabnya kau
mengajaknya pergi? Supaya dia tidak tahu bahwa...”
"Pergilah sekarang,” Edward memotong perkataan
Jacob, dan wajahnya seketika berubah menakutkan – sangat
menakutkan. Sedetik itu ia terlihat seperti... seperti vampir.
Dipelototinya Jacob dengan kebencian meluap-luap yang
sangat kentara.
Jacob mengangkat alis, tapi tetap bergeming. "Kenapa
kau tidak cerita padanya?"
Beberapa saat mereka berhadapan tanpa bicara. Semakin
banyak murid berkerumun di belakang Tyler dan Austin.
Kulihat Mike berdiri di sebelah Ben – Mike memegang
bahu Ben, seperti menahannya agar terap berdiri di tempat.
Dalam keheningan tiba-tiba saja semuanya jadi jelas
bagiku.
Sesuatu yang Edward tidak ingin aku tahu.
Sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan Jacob
dariku.


Sesuatu yang membuat kedua pihak, baik keluarga
Cullen maupun para serigala, berada di hutan, bergerak
dalam jarak cukup dekat hingga saling membahayakan.
Sesuatu yang menyebabkan Edward ngotot agar aku
terbang melintasi negeri ke tempat yang jauh.
Sesuatu yang dilihat Alice dalam penglihatannya minggu
lalu – dan Edward bohong padaku mengenainya.
Sesuatu yang sebenarnya sudah kutunggu-tunggu.
Sesuatu yang aku tahu bakal terjadi lagi, meski aku
berharap takkan pernah terjadi. Itu tidak akan pernah
berakhir, bukan?
Aku mendengar suara napasku terkesiap beberapa kali,
tapi tak sanggup menghentikannya. Sekolah tampak seperti
bergetar, seolah-olah ada gempa bumi, tapi aku tahu
tubuhku yang bergetarlah yang menyebabkan ilusi itu.
"Dia kembali mencariku,” kataku tercekat.
Victoria takkan pernah menyerah sampai aku mati. Ia
akan terus mengulangi pola yang sama – menggertak lalu
kabur, menggertak lalu kabur – sampai menemukan celah di
antara para pembelaku.
Mungkin keberuntungan akan menyertaiku. Mungkin
keluarga Volturi akan datang lebih dulu – setidaknya
mereka akan membunuhku lebih cepat.
Edward memegangiku erat-erat di sampingnya,
memiringkan rubuhnya sedemikian rupa sehingga ia berdiri
diam di antara aku dan Jacob, dan membelai-belai wajahku
dengan gerakan cemas, "Tidak apa-apa.” bisiknya, "Tidak
apa-apa. Aku tidak akan pernah membiarkannya
mendekatimu, tidak apa-apa.”


Lalu ia memandang Jacob garang. "Apakah itu sudah
menjawab pertanyaanmu, anjing?”
"Menurutmu Bella tidak berhak tahu?" tantang Jacob.
"Ini hidupnya.”
Edward menjaga suaranya tetap pelan; bahkan Tyler,
yang beringsut-ingsut semakin dekat, takkan bisa
mendengar. "Kenapa dia harus takut kalau dia tidak pernah
berada dalam bahaya?"
"Lebih baik takut daripada dibohongi.”
Aku berusaha menguasai diri, tapi air mataku
menggenang.
Aku bisa melihatnya di balik kelopak mataku – aku bisa
melihat wajah Victoria, bibirnya yang menyeringai
memamerkan gigi-giginya, mata merahnya yang berkilatkilat
akibat obsesinya untuk membalas dendam; ia
menganggap Edward bertanggung jawab atas kematian
kekasihnya, James. Ia tidak akan berhenti sampai berhasil
merenggut kekasih Edward juga.
Edward menghapus air mata yang mengalir di pipiku
dengan ujung-ujung jarinya.
"Menurutmu lebih baik menyakiti hatinya daripada
melindunginya?” bisik Edward.
"Dia lebih kuat daripada perkiraanmu,” tukas Jacob.
"Dan dia sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk.”
Mendadak ekspresi Jacob berubah, dan ia menatap
Edward dengan ekspresi spekulatif yang ganjil. Matanya
menyipit seperti berusaha memecahkan soal matematika
yang rumit di luar kepala.
Aku merasa Edward meringis. Aku mendongak, dan
wajahnya berkerut-kerut seperti menahan sakit. Dalam


sedetik yang terasa mengerikan, aku teringat pengalaman
kami di Italia, di ruangan dalam menara mengerikan yang
menjadi rumah keluarga Volturi, ketika Jane menyiksa
Edward dengan bakatnya yang kejam, membakar Edward
hanya dengan pikirannya saja....
Ingatan itu menyentakkanku dari kondisi nyaris histeris
dan mengembalikan semuanya dalam perspektif yang
benar. Karena aku lebih suka Victoria membunuhku
ratusan kali daripada melihat Edward menderita seperti itu
lagi.
"Lucu juga,” komentar Jacob, tertawa waktu melihat
wajah Edward.
Edward meringis, tapi kemudian, dengan sedikit susah
payah, berhasil membuat ekspresinya datar kembali. Ia
tidak benar-benar mampu menyembunyikan sorot
menderita di matanya.
Aku melirik, mataku membelalak lebar, dari wajah
Edward yang meringis ke wajah Jacob yang menyeringai
mengejek.
"Kauapakan dia?" tuntutku.
"Tidak apa-apa, Bella,” kata Edward pelan. "Ingatan
Jacob sangat kuat, itu saja.”
Jacob menyeringai, dan Edward meringis lagi.
"Hentikan! Apa pun yang sedang kaulakukan.”
"Tentu, kalau memang itu maumu,” Jacob mengangkat
bahu. "Bukan salahku jika dia tidak menyukai hal-hal yang
kuingat.”
Kupelototi dia, dan Jacob balas tersenyum dengan sikap
malu – seperti anak yang tertangkap basah melakukan


sesuatu yang ia tahu seharusnya tidak ia lakukan, oleh
seseorang yang ia tahu tidak bakal menghukumnya.
"Kepala Sekolah sedang ke sini untuk membubarkan
kerumunan.” Edward berbisik padaku. "Cepat masuk ke
kelas Bahasa Inggris, Bella, agar kau tidak terlibat.”
"Overprotektif ya, dia?" sergah Jacob, menujukannya
padaku. "Padahal sedikit masalah akan membuat hidup jadi
lebih menyenangkan. Biar kutebak, kau tidak diizinkan
bersenang-senang, kan?”
Edward memelototi Jacob, bibirnya menyeringai,
memamerkan sedikit gigi-giginya.
"Tutup mulutmu, Jake,” sergahku.
Jacob terbahak. "Sepertinya jawabannya tidak. Hei, kalau
kau kepingin bersenang-senang lagi, kau bisa datang ke
tempatku. Sepeda motormu masih tersimpan di garasiku.”
Kabar itu segera saja mengalihkan perhatianku.
"Seharusnya kau menjualnya. Kau sudah berjanji kepada
Charlie akan melakukannya.” Kalau bukan karena aku
yang memohon-mohon kepada Charlie demi Jake –
bagaimanapun juga, Jake sudah menghabiskan waktu dan
tenaga berminggu-minggu untuk memperbaiki kedua motor
itu, jadi ia pantas mendapat imbalan untuk segala jerih
payahnya itu – Charlie pasti sudah membuang motorku ke
tempat penimbunan barang bekas. Dan mungkin membakar
habis tempat itu sekalian.
"Yeah, yang benar saja. Aku tak mungkin mau
melakukannya saja. Motor itu milikmu, bukan milikku.
Pokoknya, aku akan mempertahankannya sampai kau ingin
mengambilnya kembali.”
Secercah senyum seperti yang kuingat mendadak
bermain di sudut-sudut bibirnya.


“Jake..."
Jacob mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya
bersungguh-sungguh sekarang, kesinisannya lenyap.
"Kurasa mungkin sebelum ini aku keliru, kau tahu, mengira
kita tidak bisa berteman. Mungkin kita bisa melakukannya,
di wilayahku. Datanglah menemuiku.”
Aku sangat bisa merasakan keberadaan Edward, kedua
lengannya merangkulku dengan sikap protektif bergeming
seperti batu. Kulirik wajahnya sekilas – ekspresinya tenang,
sabar.
"Aku, eh, entahlah, Jake.”
Jacob benar-benar mengenyahkan ekspresi antagonis dari
wajahnya. Seakan-akan ia lupa ada Edward di sana, atau
setidaknya, ia bertekad bersikap begitu. "Aku
merindukanmu setiap hari, Bella. Aneh rasanya tidak ada
kau.”
"Aku tahu dan aku minta maaf Jake, tapi...”
Jacob menggeleng, dan mendesah. "Aku tahu. Sudahlah,
lupakan saja, ya? Kurasa aku pasti bisa melaluinya. Siapa
sih yang butuh teman?" Ia meringis, berusaha menutupi
kepedihan hatinya dengan lagak tak peduli.
Penderitaan Jacob selalu berhasil membangkitkan sisi
protektifku. Itu sangat tidak rasional – Jacob nyaris tidak
memburuhkan perlindungan. fisik dalam bentuk apa pun
dariku. Tapi kedua lenganku, yang dipegangi kuat-kuat oleh
Edward, begitu ingin meraihnya. Merengkuh tubuhnya
yang besar dan hangat itu dengan janji tak terucap bahwa
aku menerima dan mau menenangkannya.
Lengan Edward yang melindungiku telah berubah
menjadi kekang.


"Oke, masuk kelas,” suara bernada tegas terdengar di
belakang kami. "Masuk, Mr. Crowley.”
"Pergilah ke sekolah, Jake,” bisikku, langsung cemas
begitu mengenali suara Kepala Sekolah. Jacob bersekolah di
sekolah Quileute, tapi ia tetap bisa kena masalah karena
masuk tanpa izin atau hal lain semacamnya.
Edward melepaskanku, menggandeng tanganku dan
menarik tubuhku ke belakang tubuhnya lagi.
Mr. Greene bergerak menembus kerumunan penonton,
alisnya berkerut seperti awan badai mengerikan di atas
matanya yang kecil.
“Aku tidak main-main,” ancamnya. "Semua yang masih
ada di sini waktu aku berbalik lagi akan dihukum.”
Kerumunan langsung bubar sebelum Kepala Sekolah
menyelesaikan kalimatnya.
“Ah, Mr. Cullen. Ada apa ini?"
"Tidak ada apa-apa, Mr. Greene. Kami baru mau masuk
kelas.”
"Bagus sekali. Sepertinya aku tidak mengenali
temanmu,” Mr. Greene melayangkan pandangan galaknya
kepada Jacob. "Kau murid baru di sini?"
Mata Mr. Greene meneliti Jacob dengan saksama, dan
kentara sekali ia menyimpulkan hal yang sama seperti
orang-orang lain; berbahaya. Berandalan.
"Bukan," jawab Jacob, senyum mengejek tersungging di
bibirnya yang lebar.
"Kalau begitu, kusarankan kau segera angkat kaki dari
lingkungan sekolah, anak muda, sebelum aku memanggil
polisi"


Cengiran kecil Jacob berubah menjadi seringaian lebar,
dan aku tahu ia membayangkan Charlie datang untuk
menangkapnya. Seringaian itu terlalu pahit, kelewat penuh
ejekan untuk memuaskanku. Itu bukan senyuman yang
kutunggu-tunggu untuk kulihat selama ini.
Jacob menjawab, "Baik, Sir,” lalu memberi hormat
dengan sikap militer sebelum naik ke sepeda motor dan
menyalakannya langsung di aras trotoar, Mesinnya
menyala dengan suara meraung, kemudian ban-bannya
menjerit saat ia berputar arah dengan kasar. Hanya dalam
beberapa detik Jacob sudah lenyap dari pandangan.
Mr. Greene menggertakkan gigi melihat aksi itu.
"Mr. Cullen, kuminta kau mengatakan kepada temanmu
untuk tidak masuk lagi ke sini tanpa izin.”
"Dia bukan teman saya, Mr. Greene, tapi peringatan
Anda akan saya sampaikan."
Mr. Greene mengerucutkan bibir. Nilai-nilai Edward
yang sempurna serta catatan kelakuannya yang tak bercela
jelas jadi faktor penentu dalam penilaian Mr. Greene
mengenai insiden tadi. "Baiklah. Kalau kau khawatir akan
terjadi masalah, aku dengan senang hati akan...”
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Mr. Greene. Tidak
akan ada masalah apa-apa.”
"Mudah-mudahan saja benar begitu. Well, baiklah kalau
begitu. Masuklah ke kelas. Kau juga, Miss Swan.”
Edward mengangguk, lalu cepat-cepat menyeretku
menuju kelas Bahasa Inggris.
"Kau merasa cukup sehat untuk masuk kelas?" bisiknya
waktu kami berjalan melewati Kepala Sekolah.


"Ya,” aku balas berbisik, tidak yakin apakah ini bohong
atau bukan.
Apakah aku merasa sehat atau tidak, bukanlah hal
penting sekarang. Aku harus segera bicara dengan Edward,
dan kelas Bahasa Inggris bukanlah tempat yang ideal untuk
melakukan pembicaraan seperti itu.
Tapi dengan Mr. Greene membuntuti di belakang kami,
aku tak punya pilihan lain.
Kami agak terlambat sampai di kelas dan langsung cepatcepat
duduk. Mr. Berty sedang mendeklamasikan puisi
karya Frost. Ia mengabaikan kami, tak ingin kehadiran
kami mengusiknya.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan
mulai menulis, tulisan tanganku nyaris tak bisa dibaca
karena tanganku gemetaran.
“apa yang terjadi? ceritakan semuanya padaku tidak perlu
melindungi segala macam, please...”
Kusodorkan kertas itu kepada Edward. Edward
mendesah, lalu mulai menulis. Waktu yang dibutuhkannya
jauh lebih singkat, padahal ia menulis seluruh paragraf
dengan tulisannya yang bagaikan kaligrafi, lalu
mengembalikan kertas itu padaku,
“Alice melihat Victoria kembali. Aku membawamu ke luar
kota sekedar berjaga-jaga – ia tidak mungkin bisa memperoleh
kesempatan mendekatimu. Emmet dan Jasper nyaris berhasil
membekuknya, tapi kelihatannya Victoria memiliki insting untuk
menghindar. Ia berhasil lolos tepat di perbatasan wilayah Quiloute
seolah-olah ia memiliki peta. Apalagi kemampuan Alice
dinihilkan oleh campur tangan para Quiloute itu. Supaya adil,
para Quiloute sebenarnya juga bisa membekuk Victoria, kalau saja
kami tidak menghalangi. Si serigala abu-abu besar mengira


Emmet melanggar batas dan sikapnya langsung defensif. Tentu
saja Rosalie segera bereaksi, dan semua langsung berhenti
mengejar untuk melindungi teman-teman mereka. Carlisle dan
Jasper berhasil menenangkan keadaan sebelum situasi menjadi
tidak terkendali. Tapi saat itu Victoria sudah berhasil meloloskan
diri. Itu cerita lengkapnya.”
Aku mengerutkan kening memandangi huruf-huruf yang
terpampang di kertas. Mereka semua terlibat – Emmett,
Jasper, Alice, Rosalie, dan Carlisle. Mungkin bahkan Esme,
walaupun Edward tidak menyebut-nyebut namanya. Juga
Paul serta seluruh kawanan werewolf Quileute. Kejadian itu
bisa dengan mudah berubah menjadi perkelahian, calon
keluargaku versus teman-teman lamaku. Siapa pun bisa
terluka. Aku membayangkan serigala-serigala itu yang
paling berisiko mendapat celaka, tapi membayangkan Alice
yang kecil mungil di samping salah satu werewolf itu,
bertarung ...
Aku bergidik.
Hati-hati, kuhapus seluruh paragraf itu dengan
penghapusku, kemudian menulis di atasnya:
“Charlie bagaimana? bisa saja victoria mengincarnya juga.”
Belum lagi aku selesai menulis, Edward sudah
menggeleng-gelengkan kepala, jelas meremehkan
kekhawatiranku terhadap keselamatan Charlie. Ia
mengulurkan tangan, tapi tak kugubris dan mulai menulis
lagi.
“Kau kan tidak tahu dia tidak berpikir begitu, karena kau
tidak ada di sini. Pergi ke Florida bukan pilihan bijaksana.”
Edward merebut kertas itu dari bawah tanganku.


“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Dengan
kesialanmu, bahkan kotak hitam pesawatpun tidak akan
selamat.”
Bukan itu maksudku; malah tak terpikir sama sekali
olehku untuk pergi tanpa Edward. Maksudku, seharusnya
kami terap di sini, bersama-sama, Tapi aku terpancing
jawabannya, dan agak tersinggung. Masa aku tidak bisa
terbang melintasi negeri tanpa menyebabkan pesawatnya
jatuh? Lucu sekali.
“Misalnya kesialanku benar-benar menyebabkan pesawat yang
kita tumpangi jatuh. Apa persisnya yang akan kau lakukan dalam
situasi itu?”
“Mengapa pesawatnya jatuh?”
Edward berusaha menyembunyikan senyumnya
sekarang.
“Pilot-pilotnya teler berat karena mabuk.”
“Gampang. Aku tinggal menerbangkan pesawatnya.”
Tentu saja. Kukerucutkan bibirku dan mencoba lagi.
“Kedua mesinnya meledak dan pesawat yang kita tumpangi
berputar-putar di udara menukik ke bumi.”
“Akan ku tunggu sampai kita sudah cukup dekat dengan
tanah, memegangimu erat-erat, menendang pintu pesawat hingga
terbuka, lalu melompat keluar. Ialu aku akan lari membawamu
kembali ke lokasi jatuhnya pesawat, dan kita berjalan tersaruksaruk
di sekitarnya, seperti dua korban selamat beruntung dalam
sejarah.”
Kutatap dia, tak mampu berkata apa-apa.
"Apa?" bisiknya.


Aku menggeleng takjub. "Tidak apa-apa.” jawabku,
mulurku bergerak-gerak tanpa suara,
Kuhapus percakapan yang meresahkan itu dan menulis
sebaris kalimat lagi.
“kau harus memberitahu aku lain kali.”
Aku tahu pasti akan ada lain kali. Polanya akan terus
berlanjut sampai salah satu pihak kalah.
Edward menatap mataku beberapa saat. Aku penasaran,
terlihat seperti apakah wajahku – rasanya dingin, berarti
darah belum beredar lagi ke pipiku. Bulu mataku masih
basah.
Edward mendesah,. kemudian mengangguk satu kali.
“Trim's.”
Kertas itu lenyap dari bawah tanganku. Aku mendongak,
mengerjap-ngerjap kaget, dan tepat saat itu Mr. Berry
berjalan di lorong kelas.
"Ada yang ingin kaubagi dengan kami, Mr. Cullen?"
Edward mendongak dengan sikap tak berdosa dan
mengulurkan kertas yang tergeletak di atas mapnya.
"Catatan saya?" tanyanya, terdengar bingung.
Mr. Berry mengamati catatan itu – tak diragukan lagi
isinya catatan pelajaran barusan – kemudian berjalan pergi
dengan kening berkerut,
Belakangan, di kelas Kalkulus – satu-satunya kelas yang
kuikuti tanpa Edward – aku mendengar gosip itu.
“Aku bertaruh untuk kemenangan si Indian bongsor,”
seseorang berkata.


Aku mengintip dan melihat Tyler, Mike, Austin, dan
Ben duduk berempat sambil mendekatkan kepala masingmasing,
asyik mengobrol.
"Yeah,” bisik Mike. "Kau lihat nggak tadi, badan bocah
bernama Jacob itu besar sekali? Menurutku, dia pasti
sanggup menghabisi Cullen.” Kedengarannya Mike senang
membayangkan hal itu.
"Sepertinya tidak,” Ben tidak sependapat. “Ada sesuatu
dalam diri Edward. Dia selalu sangat... percaya diri. Aku
punya firasat dia mampu membela dirinya sendiri.”
"Aku setuju dengan Ben,” Tyler sependapat, "Lagi pula.
kalau anak itu berani membuat masalah dengan Edward,
kau kan tahu kakak-kakak Edward yang badannya besarbesar
itu pasti akan ikut campur.”
"Kau belum pernah ke La Push lagi ya, belakangan ini?"
sergah Mike. "Lauren dan aku pergi ke pantai beberapa
minggu lalu, dan percaya deh, teman-teman Jacob sama
besarnya dengan dia.”
"Hah,” tukas Tyler. "Sayang tadi tidak sampai terjadi
perkelahian, Kurasa kita takkan pernah tahu bagaimana
hasilnya kalau itu benar-benar terjadi.”
"Kelihatannya sih urusannya belum selesai,” kata
Austin.
"Mungkin kita bakal melihatnya.”
Mike nyengir. "Ada yang mau taruhan?'
"Sepuluh dolar buat Jacob,” Austin langsung
menyambar.
"Sepuluh dolar buat Cullen,” Tyler ikut-ikutan.
"Sepuluh dolar buat Edward,” Ben sependapat.


"Jacob,” kata Mike.
"Hei, kalian tahu nggak apa masalahnya?" Austin
bertanya-tanya. "Mungkin itu bisa memengaruhi
taruhannya.”
“Aku bisa menebak,” kata Mike, kemudian
melayangkan pandangan ke arahku, diikuti Ben dan Tyler
pada saat bersamaan.
Dari ekspresi mereka, kentara sekali tak seorang pun
menyadari aku bisa mendengar percakapan mereka.
Keempatnya cepat-cepat membuang muka, berlagak
membolak-balik kertas di meja masing-masing,
"Aku tetap menjagokan Jacob,” bisik Mike dengan suara
pelan.
4. ALA M
MINGGU ini benar-benar kacau,
Aku tahu pada intinya tak ada yang berubah. Oke, jadi
Victoria belum menyerah, bukankah aku memang tak
pernah bermimpi ia sudah menyerah? Kemunculannya
kembali mengonfirmasikan apa yang telah kuketahui, Tak
ada alasan untuk panik lagi.
Teorinya. Lebih mudah mengatakan tidak usah panik
daripada melakukannya.
Kelulusan tinggal beberapa minggu lagi, tapi aku jadi
penasaran, apakah hanya duduk berpangku tangan, lemah
dan menggiurkan, menunggu bencana datang, bukan
tindakan yang tolol? Rasanya terlalu berbahaya menjadi
manusia seperti mencari gara-gara saja. Seseorang seperti


aku tak seharusnya menjadi manusia. Seseorang yang sial
seperti aku seharusnya tidak benar-benar tak berdaya.
Tapi tak ada yang mau mendengarkan aku.
Kata Carlisle waktu itu, "Kami bertujuh, Bella. Dan
dengan Alice di pihak kami, kurasa Victoria tidak mungkin
datang tanpa kami bisa menduganya. Penting, menurutku,
bahwa demi Charlie, kita tetap berpegang pada rencana
semula"
Esme berkata, "Kami takkan pernah membiarkan apa
pun menimpamu, Sayang. Kau tahu itu. Kumohon, tidak
usah cemas.” Kemudian ia mengecup keningku.
Emmett berkata, “Aku benar-benar senang Edward tidak
membunuhmu waktu itu. Semua jadi lebih menyenangkan
dengan adanya kau.”
Rosalie memelototinya.
Alice memutar bola mata dan berkata, "Aku tersinggung.
Masa hanya gara-gara itu kau lantas khawatir?"
"Kalau itu memang bukan masalah besar, kenapa
Edward sampai merasa perlu menyeretku ke Florida?"
tuntutku,
"Kau belum sadar juga ya, Bella, Edward memang
cenderung bereaksi berlebihan.”
Tanpa banyak bicara Jasper menghapus semua
kepanikan dan ketegangan pada diriku dengan bakatnya
mengendalikan atmosfer emosional. Akibatnya aku merasa
yakin, dan membiarkan mereka membujukku melupakan
permohonan putus asaku.
Tentu saja ketenangan itu langsung lenyap begitu
Edward dan aku pergi dari sana.


Jadi konsensusnya adalah, aku harus melupakan fakta
ada vampir sinting membuntutiku, menginginkan aku mati.
Pendek kata, tetap melakukan kegiatan rutinku seperti
biasa.
Aku benar-benar berusaha. Dan anehnya, ada hal-hal
lain yang nyaris sama stresnya untuk dipikirkan selain
statusku dalam daftar spesies yang nyaris punah ...
Karena respons Edward-lah yang paling membuat
frustrasi,
"Itu antara kau dan Carlisle,” katanya. "Tentu saja, kau
tahu aku ingin menjadikannya antara kau dan aku, kapan
pun kau mau, Tapi kau tahu syaratnya.” Dan ia tersenyum
manis bak malaikat.
Ugh. Aku sangat tahu syaratnya. Edward berjanji akan
mengubahku sendiri kapan pun aku mau asalkan... aku
menikah dengannya lebih dulu.
Terkadang aku bertanya-tanya apakah Edward hanya
berpura-pura tidak bisa membaca pikiranku. Soalnya,
bagaimana mungkin ia malah menyodorkan satu-satunya
syarat yang berat bagiku? Satu-satunya syarat yang bakal
menghambatku.
Pendek kata, ini minggu yang sangat buruk. Dan hari ini
adalah yang terburuk,
Hariku memang selalu buruk kalau Edward tak ada.
Karena Alice tidak memprediksikan ada hal-hal aneh akhir
minggu ini, jadi aku mendesak Edward untuk
memanfaatkan kesempatan dengan pergi berburu bersama
saudara-saudaranya. Aku tahu ia sudah bosan dengan
mangsa yang mudah diburu di dekat-dekat sini.
"Pergilah bersenang-senang,” kataku padanya waktu itu.


"Bungkuskan beberapa singa gunung untukku.”
Aku takkan pernah mengaku padanya betapa sulitnya
bagiku kalau ia tidak ada – bagaimana itu selalu
memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat aku
ditinggalkannya dulu. Seandainya Edward tahu, itu akan
membuatnya merasa tidak enak dan takut meninggalkanku,
bahkan untuk alasan-alasan terpenting sekalipun. Begitulah
awalnya dulu, waktu ia baru kembali dari Italia. Mata
emasnya berubah warna menjadi hitam dan ia sangar
tersiksa oleh dahaga, lebih dari biasanya. Maka aku
berlagak tabah dan memaksanya ikut setiap kali Emmert
dan Jasper ingin pergi.
Bagaimanapun, agaknya Edward tahu perasaanku yang
sebenarnya. Sedikit, Pagi ini aku menemukan kertas berisi
pesan ditinggalkan di bantalku:
“aku akan segera kembali, bahkan sebelum kau sempat
merindukanku. Jaga hatiku baik-baik – Aku menitipkannya
padamu.”
Jadi sekarang hari Sabtu yang kosong-melompong
membentang di depanku, tanpa kegiatan lain selain shift
pagi di Newton's Olympic Outflirters untuk mengalihkan
perhatian. Dan, tentu saja, janji yang sangat menghibur dari
Alice.
"Aku akan berburu tak jauh dari sini. Hanya lima belas
menit jauhnya kalau kau membutuhkanku. Aku akan terap
berjaga-jaga kalau ada masalah.”
Terjemahan: jangan coba-coba melakukan yang anehaneh
hanya karena Edward tidak ada.
Alice jelas mampu membuat trukku mogok, sama seperti
Edward.


Aku berusaha mengambil hikmahnya. Sehabis kerja
nanti, aku sudah janjian dengan Angela untuk
membantunya menulis surat-surat pemberitahuan, jadi itu
bisa mengalihkan perhatianku. Dan suasana hati Charlie
sedang sangat bagus karena Edward tidak ada, jadi
sebaiknya benar-benar kumanfaatkan saja, selagi bisa. Alice
bisa menginap di rumahku kalau keadaanku cukup
menyedihkan hingga merasa perlu memintanya. Besok
Edward sudah pulang. Aku pasti bisa melewati hari ini.
Tak ingin datang kepagian di tempat kerja, kulahap
sarapanku pelan-pelan, sebutir sereal Cheerio sekali suap.
Ialu selesai mencuci piring aku menyusun magnet-magnet
di kulkas menjadi satu garis lurus. Mungkin aku mengidap
kelainan jiwa obsesif-kompulsif
Dua magnet terakhir – magnet-magnet hitam bundar
yang merupakan magnet favoritku karena mampu menahan
sepuluh lembar kertas ke kulkas dengan mudah – menolak
bekerja sama. Medan magnetnya bertolak belakang; setiap
kali aku mencoba menyejajarkan magnet terakhir, yang lain
melejit keluar barisan.
Entah untuk alasan apa – keranjingan, mungkin – hal ini
benar-benar membuatku kesal. Kenapa magnet-magnet ini
tidak mau menurut? Sudah tahu tidak bisa, tapi aku tetap
keras kepala, aku bolak-balik menyatukan mereka seolaholah
berharap keduanya tiba-tiba menyerah. Aku bisa saja
menyingkirkan salah satunya, tapi rasanya itu sama saja
dengan kalah. Akhirnya, kesal pada diriku sendiri
ketimbang pada magnet-magnet itu, kulepas keduanya dari
kulkas dan kudekatkan satu sama lain dengan dua tangan.
Agak susah melakukannya – magnet-magnet itu cukup kuat
untuk melawan – tapi kupaksa keduanya berdampingan.


"Betul, kan,” seruku dengan suara keras – berbicara
dengan benda mati bukan pertanda baik-"Tidak terlalu
buruk, kan?”
Sejenak aku berdiri seperti idiot, enggan mengakui
bahwa aku takkan bisa mengubah prinsip-prinsip ilmiah.
Kemudian, sambil mendesah kukembalikan magnet-magnet
itu lagi ke kulkas, saling berjauhan.
"Tak perlu ngotot begitu,” gerutuku.
Hari masih terlalu pagi, tapi kuputuskan untuk segera
angkat kaki dari rumah sebelum benda-benda mati itu mulai
berbicara juga.
Sesampainya di Newton's, Mike sedang sibuk mengepel
kering lorong di antara rak-rak sementara ibunya menyusun
konter display baru. Aku mendapati mereka sedang
bersitegang, tak menyadari kehadiranku.
"Tapi Tyler hanya bisa pergi hari itu,” protes Mike.
"Kata Mom, setelah kelulusan...”
"Pokoknya kau harus menunggu,” bentak Mrs. Newton.
"Kau dan Tyler bisa mencari kegiatan lain untuk dilakukan.
Kau tidak boleh pergi ke Seattle sampai polisi berhasil
menghentikan entah apa yang sedang terjadi di sana. Aku
tahu Beth Crowley juga sudah mengatakan hal yang sama
kepada Tyler, jadi jangan berlagak seolah-olah aku ini jahat
– oh, selamat pagi, Bella,” ucapnya begitu melihatku,
nadanya langsung berubah ramah. "Pagi sekali kau datang.”
Karen Newton adalah orang terakhir yang bakal
kumintai tolong di toko perlengkapan olah raga outdoor.
Rambut pirangnya yang di-highlight sempurna selalu disisir
rapi ke belakang dan disanggul dengan elegan di tengkuk,
kuku-kuku tangannya mengilap oleh sentuhan profesional,
begitu juga kuku kakinya – yang tampak jelas di balik


sepatu tali berhak tinggi yang sama sekali tidak mirip
deretan panjang sepatu bot hiking yang dijual di Newton's.
"Jalanan tidak macet,” gurauku sambil menyambar
rompi jingga neon jelek dari bawah konter, Aku kaget
karena ternyata Mrs. Newton juga mencemaskan soal
Seattle, sama seperti Charlie. Kupikir Charlie saja yang
terlalu panik.
"Well, eh...” Mrs. Newton ragu-ragu sejenak,
memainkan tumpukan brosur yang sedang ditatanya dekat
mesin hitung dengan sikap rikuh.
Aku berhenti dengan satu lengan masuk ke rompi. Aku
mengenali ekspresi itu.
Setelah aku memberi tahu keluarga Newton bahwa aku
tidak bisa bekerja lagi di sini musim panas nanti – dengan
kata lain meninggalkan mereka saat musim tersibuk –
mereka mulai melatih Katie Marshall untuk
menggantikanku. Sebenarnya mereka tidak mampu
menggaji kami berdua sekaligus, jadi kalau kelihatannya
hari ini toko sepi...
"Aku baru mau menelepon,” sambung Mrs. Newton.
"Sepertinya pengunjung hari ini tidak akan banyak. Mike
dan aku mungkin bisa menanganinya sendiri. Maaf kalau
kau sudah capek-capek datang ke sini...”
Normalnya, aku pasti girang sekali dengan perubahan
mendadak seperti ini. Tapi hari ini... tidak terlalu.
"Oke,” desahku. Bahuku terkulai. Apa yang akan
kulakukan sekarang?
"Itu tidak adil, Mom,” sergah Mike. "Kalau Bella
memang mau kerja...”


"Tidak, tidak apa-apa, Mrs. Newton. Sungguh, Mike.
Aku memang harus belajar untuk ujian akhir dan
sebagainya...” Aku tidak mau menjadi sumber pertengkaran
keluarga, padahal mereka sendiri sudah bersitegang.
"Trims, Bella. Mike, lorong empat belum kau pel. Ehm,
Bella, kau keberatan membuang brosur-brosur ini ke tempat
sampah sekalian keluar? Kubilang pada gadis yang
menitipkannya di sini aku akan menaruhnya di konter, tapi
ternyata tidak ada tempat.”
"Tentu, bukan masalah.” Kusimpan rompiku, lalu
kukepit brosur-brosur itu dan berjalan menerobos hujan
berkabut.
Tempat sampah terletak di samping rumah keluarga
Newton, tepat di sebelah tempat para karyawan memarkir
mobil. Aku berjalan tersaruk-saruk, menendangi kerikil
dengan marah. Aku baru mau melemparkan tumpukan
kertas kuning terang itu ke tong sampah waktu mendadak
mataku tertumbuk tulisan tebal yang tercetak di atasnya.
Tepatnya, ada satu kata yang menarik perhatianku.
Kucengkeram kertas-kertas itu dengan kedua tangan
sambil memelototi gambar yang tercetak di bawah sebaris
tulisan, Kerongkonganku tercekat.
SELAMATKAN SERIGALA OLIMPIADE
Di bawah kata-kata itu tampak gambar serigala yang
sangat mendetail di depan pohon cemara, kepalanya
menengadah, seperti sedang melolong ke arah bulan.
Gambar itu sangat memilukan; postur si serigala yang
sendu membuatnya tampak mengibakan. Sepertinya dia
melolong penuh duka.
Kemudian aku berlari ke trukku, brosur-brosur itu masih
dalam genggaman.


Lima belas menit – hanya itu waktu yang kumiliki. Tapi
seharusnya itu cukup. Hanya butuh lima belas menit untuk
sampai ke La Push, dan aku pasti bisa menyeberangi
perbatasan dalam tempo beberapa menit saja sebelum
sampai ke kota.
Mesin trukku meraung hidup tanpa kesulitan,
Alice tak mungkin bisa melihatku melakukan ini, karena
aku tidak merencanakannya. Keputusan spontan, itu
kuncinya! Dan kalau bisa bergerak cukup cepat, aku pasti
bisa melakukannya.
Saking buru-burunya, kulempar begitu saja brosur-brosur
lembab itu hingga berceceran di jok truk – ratusan tulisan
dicetak tebal, ratusan gambar serigala hitam melolong di
atas kertas berwarna kuning.
Kupacu trukku menyusuri jalan raya yang basah,
menyalakan kipas hujan dalam kecepatan tinggi dan
mengabaikan erangan mesin yang sudah tua. Aku hanya
bisa memacu trukku hingga kecepatan 88 kilometer per jam,
dan berdoa semoga itu cukup.
Aku sama sekali tak tahu di mana letak perbatasan, tapi
aku mulai merasa lebih aman setelah melewati rumahrumah
pertama di luar La Push. Ini pasti sudah di luar batas
Alice diizinkan untuk mengikuti.
Akan kutelepon Alice sesampainya di rumah Angela sore
nanti, aku beralasan, supaya ia tahu aku baik-baik saja. Tak
ada alasan baginya untuk panik. Ia tidak perlu marah
padaku – biar Edward saja yang melampiaskan kejengkelan
mereka berdua padaku kalau ia kembali nanti.
Trukku sudah megap-megap kehabisan tenaga ketika aku
menghentikannya di depan rumah bercat merah kusam
yang sudah sangat kukenal. Kerongkonganku kembali


tercekat saat memandangi rumah kecil yang dulu pernah
menjadi tempat perlindunganku. Sudah lama sekali aku tak
pernah lagi datang ke sini.
Belum sempat mematikan mesin, Jacob sudah berdiri di
pintu, wajahnya kosong karena syok.
Dalam keheningan yang mendadak saat raungan mesin
truk mati, aku mendengarnya terkesiap.
"Bella?"
"Hai, Jake!"
"Bella!" Jacob balas berteriak, dan senyum yang
kutunggu-tunggu itu merekah, membelah wajahnya
bagaikan matahari yang menyembul di balik awan. Giginya
berkilau cemerlang di kulitnya yang merah kecokelatan.
"Aku tak percaya!"
Jacob berlari dan separuh menyentakku dari pintu yang
terbuka, lalu kami melompar-lompar seperti anak kecil.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
“Aku menyelinap!"
"Hueebat!"
"Hai, Bella!" Billy menggelindingkan kursi rodanya ke
ambang pintu begitu mendengar ribut-ribut.
"Hai, Bill!"
Saat itulah aku tersedak – Jacob memelukku erat-erat
sampai aku tak bisa bernapas dan mengayunkan tubuhku
berputar-putar.
"Wow, senang melihatmu datang ke sini!"
"Tidak bisa ... napas,” aku terkesiap.
Jacob tertawa dan menurunkanku.


"Selamat datang kembali, Bella,” katanya, nyengir. Dan
dari caranya mengucapkan kalimat itu, kedengarannya
seperti selamat datang kembali ke rumah.
Kami mulai berjalan, terlalu gembira untuk duduk diam
di rumah. Jacob praktis menandak-nandak, dan aku harus
beberapa kali mengingatkannya bahwa kakiku panjangnya
bukan tiga meter.
Sambil berjalan, aku merasakan diriku berubah menjadi
versi lain diriku, diriku dulu saat bersama Jacob. Lebih
muda, agak kurang bertanggung jawab. Seseorang yang,
sesekali, melakukan hal-hal sangat tolol tanpa alasan jelas.
Kegembiraan kami bertahan sampai beberapa topik
obrolan pertama: bagaimana kabar kami, apa yang sedang
kami kerjakan, berapa lama waktu yang kupunya, dan apa
yang membawaku ke sini. Waktu dengan ragu-ragu
kuceritakan padanya tentang brosur serigala, tawa Jacob
membahana, bergema di antara pepohonan.
Tapi kemudian, saat kami melenggang melewati toko
dan menerobos semak lebat yang mengelilingi First Beach,
kami sampai di bagian yang sulit. Sebentar saja kami sudah
membicarakan alasan di balik perpisahan panjang kami,
dan kupandangi wajah temanku mengeras menjadi topeng
getir yang sudah sering kulihat.
"Jadi, bagaimana cerita sebenarnya?" tanya Jacob,
menendang sepotong driftwood yang menghalangi jalannya
kuat-kuat. Kayu itu melayang di pasir kemudian jatuh
berdebam menimpa bebatuan. "Maksudku, sejak terakhir
kali kira... well, sebelum itu, kau tahu sendirilah...” Jacob
berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia menarik napas
dalam-dalam dan mencoba lagi. "Yang kumaksud adalah...
apakah semua langsung kembali seperti sebelum dia pergi?
Kau memaafkannya untuk semua itu?"


Aku menghela napas panjang. "Tidak ada yang perlu
dimaafkan.”
Aku ingin melewati bagian ini, pengkhianatan, tuduhan,
tapi aku tahu kami harus membicarakan semua sampai
tuntas sebelum bisa beralih ke hal-hal lain.
Wajah Jacob mengernyit, seperti baru menjilat lemon.
"Kalau saja Sam memotretmu waktu dia menemukanmu
malam itu, September tahun lalu. Itu bisa jadi bukti kuat.”
"Tidak ada yang sedang dihakimi.”
"Mungkin seharusnya ada.”
"Bahkan kau pun tak mungkin menyalahkan dia karena
pergi meninggalkanku, seandainya kau tahu alasannya"
Jacob menatapku garang beberapa detik. "Oke,”
tantangnya masam. "Buat aku kagum.”
Kegarangannya membuatku letih – mengiris-iris lukaku
yang masih berdarah; hatiku sakit karena Jacob marah
padaku. Itu membuatku teringat pada sore kelabu, lama
berselang, ketika – atas perintah Sam – ia mengatakan kami
tak boleh berteman. Aku sampai harus menenangkan diri
dulu sebentar.
"Edward meninggalkan aku musim gugur lalu karena
menurutnya, aku tidak seharusnya bergaul dengan vampir.
Menurut dia, akan lebih baik bagiku kalau dia pergi.”
Jacob terperangah. Mulutnya membuka dan menutup,
tak tahu harus mengatakan apa. Apa pun yang ingin ia
katakan, jelas tidak tepat lagi untuk diucapkan. Aku senang
ia tidak tahu katalisator di balik keputusan Edward. Entah
apa pendapat Jacob seandainya ia tahu Jasper mencoba
membunuhku.


"Tapi dia kembali juga, kan?” gerutu Jacob. "Sayang dia
tidak bisa teguh memegang keputusan.”
"Kau tentunya masih ingat, akulah yang pergi dan
menemuinya.”
Jacob memandangiku sesaat, kemudian menyerah.
Wajahnya berubah rileks, dan suaranya lebih tenang saat
berbicara.
"Benar sekali. Dan aku tidak pernah tahu bagaimana
kelanjutannya. Apa yang terjadi?"
Aku ragu-ragu, menggigit bibir.
"Apakah itu rahasia?” Suara Jacob bernada mengejek.
"Kau tidak boleh menceritakannya padaku?"
"Tidak,” bentakku. "Tapi ceritanya panjang sekali.”
Jacob tersenyum, arogan, lalu berpaling untuk berjalan
menyusuri pantai, berharap aku mengikutinya.
Tidak enak bermain dengan Jacob kalau ia bertingkah
seperti ini. Otomatis aku mengikutinya, tak yakin apakah
sebaiknya aku berbalik saja dan pulang. Tapi aku harus
menghadapi Alice nanti, kalau aku pulang... kurasa aku
tidak terburu-buru.
Jacob berjalan ke pohon driftwood besar yang familier –
pohon lengkap dengan akar-akarnya, batangnya putih
terkikis cuaca dan tertanam dalam-dalam di pasir pantai; itu
pohon kami, bisa dibilang begitu.
Jacob duduk di bangku alam itu, dan menepuk-nepuk
sebelahnya.
"Aku tidak keberatan mendengar cerita yang panjang.
Ada action-nya tidak?"


Aku memutar bola mataku sambil menghenyakkan diri
di sampingnya. "Ya, ada,” jawabku.
"Tidak seram kalau tidak ada action-nya.”
"Seram!" dengusku. "Bisa mendengarkan tidak, atau kau
akan selalu menyelaku dengan komentar-komentar kurang
ajar tentang teman-temanku?"
Jacob pura-pura mengunci mulur dan melempar kunci
yang tak kasatmata ke balik bahunya. Aku mencoba tidak
tersenyum, tapi gagal.
"Aku harus mulai dengan hal yang sudah kauketahui,”
aku memutuskan, berusaha menyusun kisah-kisah dalam
benakku sebelum memulai.
Jacob mengangkat tangan. "Silakan.”
"Bagus,” ujarnya. "Aku tidak begitu memahami apa
yang sebenarnya terjadi waktu itu.”
"Yeah, well, ceritanya semakin rumit, jadi dengarkan
baik-baik. Kau tahu kan, Alice bisa melihat dengan
pikirannya?”
Aku menganggap kesinisan yang ditunjukkan Jacob
adalah pertanda ia tahu – para serigala tidak senang legenda
tentang vampir yang memiliki bakat-bakat supranatural itu
ternyata benar – lalu memulai dengan cerita pengejaranku
menuju Italia untuk menyelamatkan Edward.
Aku berusaha membuat ceritaku seringkas mungkin –
tidak memasukkan hal-hal yang tidak esensial. Aku
berusaha membaca reaksi Jacob, tapi wajahnya tampak
membingungkan saat aku menjelaskan bagaimana Alice
melihat Edward berniat bunuh diri begitu mendengar kabar
aku sudah mati. Kadang-kadang Jacob seperti berpikir


keras, aku jadi tidak yakin apakah ia mendengarkan. Ia
hanya menyela satu kali.
"Jadi si pengisap darah tukang ramal itu tidak bisa
melihat kami?" Jacob menirukan, wajahnya tampak garang
sekaligus senang. "Sungguh? Itu luar biasa!"
Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat, dan kami duduk
sambil berdiam diri, wajahnya penuh harap saat
menungguku melanjurkan cerita. Kutatap Jacob garang
sampai ia menyadari kesalahannya.
"Uuups!" serunya. "Maaf.”
Ia mengunci bibirnya lagi. Respons Jacob lebih mudah
dibaca waktu aku sampai ke bagian tentang Volturi.
Rahangnya terkatup rapat, bulu kuduk di kedua lengannya
meremang, dan cuping hidungnya kembang-kempis. Aku
tidak menceritakannya secara spesifik, hanya bercerita
bahwa Edward berhasil melakukan negosiasi untuk
menyelamatkan kami, tanpa mengungkapkan janji yang
harus kami buat, atau kemungkinan mereka akan datang ke
sini. Jacob tak perlu ikut merasakan mimpi burukku.
"Sekarang kau sudah tahu cerita lengkapnya.” aku
menyudahi ceritaku. "Jadi sekarang giliranmu bercerita.
Apa yang terjadi saat aku pergi mengunjungi ibuku akhir
minggu kemarin?" Aku tahu Jacob akan menceritakan
secara lebih mendetail dibandingkan Edward. Ia tidak takut
membuatku takut.
Jacob mencondongkan tubuh ke depan, sikapnya
langsung bersemangat. "Embry dan Quil sedang berpatroli
pada hari Sabtu malam, hanya patroli rutin, waktu tiba-tiba
– duaaar!" Jacob melontarkan kedua lengannya, menirukan
ledakan. "Itu dia – ada jejak baru, umurnya belum sampai
lima belas menit, Sam ingin kami menunggu, tapi waktu itu
aku tidak tahu kau pergi, dan aku tidak tahu apakah para


pengisap darah itu menjagamu atau tidak. Maka kami
langsung mengejarnya dengan kecepatan penuh.. tapi
vampir itu menyeberangi perbatasan sebelum kami sempat
menangkapnya. Kami menyebar di sepanjang perbatasan,
berharap dia akan menyeberang kembali. Benar-benar
membuat frustrasi, sungguh.” Jacob menggerak-gerakkan
kepala dan rambutnya – yang sekarang sudah tumbuh, tidak
cepak lagi seperti waktu ia pertama kali bergabung dengan
kawanan itu – hingga jatuh menutupi matanya. "Kami
berjalan terlalu jauh ke selatan. Keluarga Cullen
mengejarnya kembali ke wilayah kami, hanya beberapa mil
di sebelah utara wilayah kami. Seharusnya kami bisa
menangkapnya, seandainya kami tahu di mana harus
menunggu.”
Jacob menggeleng, mengernyitkan wajah. "Saat itulah
situasi berubah panas. Sam dan yang lain-lain menemukan
vampir wanita itu sebelum kami, tapi dia menari-nari tepat
di sepanjang garis perbatasan, dan seluruh anggota keluarga
vampir berada di sisi satunya. Vampir yang besar, tak tahu
siapa namanya-"
"Emmett.”
"Yeah, dia. Dia menerjang si vampir wanita, tapi si
rambut merah itu gesit sekali! Dia terbang tepat di belakang
si vampir berambut merah dan nyaris bertabrakan dengan
Paul. Jadi, Paul... well, kau tahu sendiri bagaimana Paul.”
''Yeah.”
"Kehilangan fokus. Aku juga tak bisa menyalahkan Paul
– si pengisap darah besar itu jatuh tepat di atasnya.
Iangsung saja Paul menerkamnya – hei, jangan pandangi
aku seperti itu. Si vampir itu kan berada di tanah kami.”
Aku berusaha memasang ekspresi setenang mungkin
supaya Jacob mau melanjutkan ceritanya. Kuku-kukuku


terbenam dalam-dalam di telapak tanganku karena tegang
mendengar cerita itu, walaupun aku tahu peristiwa ini
berakhir baik.
"Pokoknya, terkaman Paul meleset, dan si vampir besar
kembali ke wilayahnya. Tapi saat itu, eh, si, well, eh, si
pirang...” ekspresi Jacob tampak lucu sekali, jijik bercampur
kagum yang tidak mau diakuinya, berusaha menemukan
kata yang tepat untuk menggambarkan saudara perempuan
Edward.
"Rosalie.”
"Terserahlah. Cewek itu marah sekali, jadi Sam dan aku
langsung mengapit Paul untuk membelanya. Kemudian
pemimpin mereka dan vampir cowok pirang lain...”
"Carlisle dan Jasper.”
Jacob melayangkan pandangan jengkel ke arahku. "Kau
tahu aku tak peduli nama-nama mereka. Tapi okelah, si
Carlisle ini bicara dengan Sam, berusaha menenangkan
keadaan. Kemudian aneh sekali, karena semua berubah
tenang dengan sangat cepat. Gara-gara vampir satu itu,
yang kauceritakan pada kami, memengaruhi pikiran kami.
Tapi walaupun kami tahu apa yang dia lakukan, kami tidak
bisa tidak tenang."
"Yeah, aku tahu bagaimana rasanya.”
"Sangat menjengkelkan, begitulah rasanya. Hanya saja
kau tidak bisa jengkel sampai sesudahnya.” Jacob
menggeleng-geleng marah. "Sam dan si pemimpin vampir
sepakat Victoria adalah prioritas, maka kami mulai
mengejarnya lagi. Carlisle mengizinkan kami masuk ke
wilayahnya, supaya bisa mengikuti jejak dengan tepat, tapi
kemudian Victoria pergi ke tebing-tebing di sebelah utara
Makah, tepat di garis pantai sejauh beberapa kilometer.


Victoria kabur lewat air lagi. Si vampir besar dan si vampir
penenang ingin agar mereka diizinkan melintasi perbatasan
untuk mengejarnya, tapi tentu saja kami menolak.”
"Bagus. Maksudku, sikapmu itu memang bodoh, tapi
aku senang. Emmett takkan cukup berhati-hati. Bisa-bisa
dia cedera.”
Jacob mendengus. "Jadi apakah vampirmu mengatakan
kami menyerang tanpa alasan jelas dan keluarganya benarbenar
tidak bersalah...”
"Tidak.” selaku. "Ceritanya persis sama, hanya saja
tidak terlalu mendetail.”
"Hah,” sergah Jacob kesal, lalu membungkuk untuk
memungut sebutir batu dari jutaan kerikil di kaki kami.
Dengan mudah ia melempar batu itu hingga seratus meter
ke arah teluk. "Well, dia akan kembali, kurasa. Kami pasti
bisa menangkapnya lain kali.”
Aku bergidik; tentu saja Victoria akan kembali. Apakah
saat itu Edward akan benar-benar memberitahuku?
Entahlah. Aku harus terus mengawasi Alice, mencari tandatanda
berulangnya pola itu ....
Jacob sepertinya tidak memerhatikan reaksiku. Matanya
menerawang ke ombak dengan ekspresi berpikir di
wajahnya, bibirnya yang lebar mengerucut.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyaku setelah berdiam diri
cukup lama.
''Aku memikirkan apa yang kaukatakan padaku. Tentang
si peramal yang melihatmu terjun dari tebing dan mengira
kau bunuh diri, lalu bagaimana semua jadi tidak
terkendali.... Sadarkah kau seandainya kau menungguku
seperti seharusnya, si pengi – Alice tidak akan bisa
melihatmu terjun? Takkan ada yang berubah. Saat ini


mungkin kita akan berada di garasiku, seperti hari-hari
Sabtu biasanya. Tidak akan ada vampir di Forks, dan kau
serta aku...” suara Jacob menghilang, tenggelam dalam
pikirannya.
Sungguh membingungkan mendengar Jacob berkata
begitu, seolah-olah bagus kalau tidak ada vampir di Forks.
Jantungku berdebar tak beraturan membayangkan
kehampaan yang digambarkannya.
"Bagaimanapun juga, Edward akan tetap kembali.”
"Kau yakin?" tanya Jacob, nadanya kembali garang
begitu mendengarku mengucapkan nama Edward.
"Berpisah... ternyata tidak baik akibatnya bagi kami
berdua.”
Jacob membuka mulut hendak mengatakan sesuatu,
sesuatu bernada marah kalau dilihat dari ekspresinya, tapi
mengurungkannya, menghela napas dalam-dalam, lalu
mulai lagi.
"Kau tahu Sam marah padamu?”
"Padaku?" Aku terperangah selama sedetik. "Oh. Begitu.
Dia mengira mereka tidak akan datang lagi kalau aku tidak
ada di sini.”
"Tidak. Bukan karena itu.”
"Lalu apa alasannya?"
Jacob membungkuk untuk mengambil sebutir batu lagi.
Ia membolak-balik benda itu di sela jari-jarinya; matanya
terpaku memandangi baru hitam itu sambil bicara dengan
suara rendah.
"Waktu Sam melihat... keadaanmu pada awalnya, ketika
Billy memberitahu mereka betapa khawatirnya Charlie saat


kau tidak kunjung membaik, dan kemudian waktu kau
terjun dari tebing...”
Aku mengernyitkan wajah. Tidak ada yang
membiarkanku melupakan kejadian itu.
Mata Jacob berkelebat ke arahku. "Dia mengira kaulah
satu-satunya orang di dunia ini yang memiliki alasan
sebesar dirinya untuk membenci keluarga Cullen. Jadi Sam
merasa agak... dikhianati karena kau membiarkan mereka
kembali ke kehidupanmu seakan-akan mereka tak pernah
melukai hatimu.”
Sedikit pun aku tak percaya hanya Sam yang merasa
seperti itu. Dan nada suaraku yang masam ditujukan pada
mereka berdua.
"Bilang pada Sam, dia boleh ..
"Lihat itu,” potong Jacob, menuding seekor elang yang
menukik tajam menuju laut dari ketinggian luar biasa,
Elang itu naik lagi pada menit terakhir, hanya cakarnya
yang memecah permukaan ombak, hanya sederik. Ialu
elang itu membubung tinggi lagi ke udara, sayapnya
mengepak-ngepak, berjuang naik dengan ikan besar dalam
cengkeraman cakarnya.
"Kau melihatnya di mana-mana,” kata Jacob, suaranya
tiba-tiba terdengar jauh. 'Alam berjalan apa adanya –
pemburu dan mangsa, putaran hidup dan mati yang tak
pernah berakhir.”
Aku tidak mengerti maksud Jacob menguliahiku tentang
alam; kupikir ia hanya ingin mengganti topik. Tapi
kemudian ia menunduk dan menatapku dengan sorot geli di
matanya.


"Meskipun begitu, kau tidak pernah melihat si ikan
berusaha mencium si elang. Itu tidak pernah terjadi,” Jacob
nyengir mengejek.
Aku balas nyengir dengan kaku, meskipun kesinisan itu
masih melekat di mulutku. "Mungkin ikannya sudah
berusaha.” kataku. "Sulit menerka apa yang dipikirkan si
ikan. Elang itu burung yang tampan sekali, kau tahu.”
"Jadi, itukah intinya?" Suara Jacob mendadak terdengar
lebih tajam. "Ketampanan?"
"Jangan tolol, Jacob.”
"Masalah uang, kalau begitu,” desaknya.
"Bagus sekali.” gerutuku, berdiri. "Aku tersanjung
karena serendah itu anggapanmu tentangku,” Aku berbalik
dan berjalan menjauh.
"Aduh, jangan marah,” Jacob berada tepat di
belakangku; disambarnya pergelangan tanganku dan
dibalikkannya rubuhku. "Aku serius! Aku sedang berusaha
memahami motivasimu, tapi tidak bisa.”
Alisnya bertaut marah, dan matanya hitam dalam
naungan bayangan.
"Aku mencintainya. Bukan karena dia tampan atau
kaya!"
Kusemburkan kata itu pada Jacob. "Aku lebih suka kalau
dia tidak tampan dan tidak kaya. Itu akan sedikit
menghilangkan jurang perbedaan di antara kami-karena dia
tetaplah orang paling penuh cinta, paling tidak egois, paling
brilian, dan paling baik yang pernah kukenal. Tentu saja
aku cinta padanya. Apa sulitnya memahami itu?”
"Itu mustahil dipahami.”


"Tolong kauberitahu aku, kalau begitu, Jacob.” Aku
sengaja membuat suaraku terdengar sinis. "Apa alasan
terpenting bagi seseorang untuk mencintai orang lain?
Karena sepertinya aku salah melakukannya.”
"Menurutku, yang paling tepat adalah mulai mencarinya
di antara spesiesmu sendiri. Biasanya itu berhasil.”
"Well, gawat kalau begitu!" bentakku. "Kalau begitu
berarti aku harus puas dengan Mike Newton.”
Jacob tersentak dan menggigit bibir. Kentara sekali katakataku
tadi melukai hatinya, tapi aku terlalu marah untuk
merasa tidak enak. Ia melepaskan pergelangan tanganku
dan bersedekap, membalikkan badan dan memandang
garang ke arah laut.
“Aku manusia.” gumamnya, suaranya nyaris tak
terdengar.
"Kau bukan manusia seratus persen seperti Mike,”
sambungku sengit. "Kau masih menganggap itu
pertimbangan terpenting?”
"Ini lain.” Jacob terap memandangi ombak yang kelabu,
“Aku tidak memilih menjadi seperti ini.”
Aku tertawa dengan sikap tak percaya. "Jadi kaukira
Edward memilih menjadi seperti sekarang? Dia tidak tahu
.apa yang terjadi pada dirinya, sama seperti kau. Dia tidak
pernah minta menjadi seperti ini.”
Jacob menggerak-gerakkan kepala maju-mundur dengan
gerakan cepat.
"Kau tahu, Jacob, kau selalu menganggap dirimu benar
padahal kau sendiri werewolf.”
"Itu lain,” ulang Jacob, memelototiku.


“Aku tidak melihat perbedaannya. Kau bisa sedikit lebih
pengertian terhadap keluarga Cullen. Kau tidak tahu saja
betapa baiknya mereka-sebenarnya, Jacob.”
Kening Jacob berkerut semakin dalam. "Mereka tidak
seharusnya ada. Keberadaan mereka bertentangan dengan
alam.”
Kupandangi Jacob lama sekali. Sebelah alisku terangkat
dengan sikap tak percaya. Baru sejurus kemudian ia
menyadarinya.
“Apa?”
"Omong-omong tentang hal yang tidak alami...” aku
menyindir.
"Bella,” sergah Jacob, suaranya lambat dan berbeda.
Letih.
Kuperhatikan suaranya mendadak terdengar lebih tua
dari, pada aku – seperti orang tua atau guru. "Aku memang
terlahir seperti ini. Ini bagian diriku, bagian dari keluargaku,
bagian dari kami semua sebagai sebuah suku – itu alasan
mengapa kami masih ada.
"Selain itu" – ia menunduk menatapku, mata hitamnya
tidak terbaca - "aku masih tetap manusia.”
Ia mengangkat tanganku dan menekankannya di
dadanya yang panas membara. Dari balik T-shirtnya aku
bisa merasakan detak jantungnya yang teratur di bawah
telapak tanganku.
"Manusia normal tak bisa mengotak-atik sepeda motor
seperti kau.”
Jacob menyunggingkan senyum miring yang samar.
"Manusia normal menjauhi monster, Bella. Dan aku tak
pernah mengklaim diriku normal. Hanya manusia.”


Sulit sekali untuk tetap marah kepada Jacob. Aku mulai
tersenyum sambil menarik tanganku dari dadanya.
"Kau memang kelihatan seperti manusia di mataku.”
aku mengalah. "Saat ini.”
"Aku merasa seperti manusia.” Pandangan Jacob
menerawang jauh, ekspresinya melamun. Bibir bawahnya
bergetar, dan ia menggigitnya keras-keras.
"Oh, Jake,” bisikku, meraih tangannya.
Inilah sebabnya aku ada di sini. Inilah sebabnya aku rela
menghadapi perlakuan apa pun sekembalinya aku nanti.
Karena, di balik semua amarah dan kesinisan itu, Jacob
sebenarnya sedang sedih. Sekarang, itu terlihat sangat jelas
di matanya. Aku tak tahu bagaimana menolongnya, tapi
aku tahu aku harus berusaha. Lebih dari itu, aku berutang
budi padanya. Karena kesedihan harinya juga membuatku
sedih. Jacob sudah menjadi bagian diriku, dan tidak ada
yang bisa mengubahnya sekarang.
5. IMPRINT
"KAU baik-baik saja, Jake.? Kata Charlie, kau
mengalami masa-masa sulit ... Keadaanmu belum
membaik?"
Tangan hangat Jacob menggandeng tanganku.
"Lumayanlah,” jawabnya, tapi menolak menatap mataku.
Pelan-pelan ia berjalan kembali ke batang pohon,
matanya menerawang memandangi kerikil-kerikil yang
berwarna pelangi, dan menarikku ke sisinya. Aku duduk
lagi di batang pohon, tapi Jacob duduk di tanah yang basah
dan berbatu-batu, bukan di sebelahku. Aku penasaran


apakah itu ia lakukan supaya bisa lebih mudah
menyembunyikan wajahnya. Dipegangnya terus tanganku.
Aku mulai mengoceh apa saja untuk mengisi
kekosongan.
"Sudah lama sekali aku tidak pernah datang lagi ke sini,
Mungkin aku sudah melewatkan banyak hal. Bagaimana
kabar Sam dan Emily? Apakah Quil...?”
Aku tidak menyelesaikan kalimatku, teringat bahwa Quil
topik yang sensitif bagi Jacob.
"Ah, Quil,” desah Jacob.
Kalau begitu, itu pasti sudah terjadi – Quil pasti sudah
bergabung dengan kawanan.
"Aku ikut prihatin,” gumamku.
Yang mengagetkan, Jacob malah mendengus. "Jangan
bilang begitu padanya.”
“Apa maksudmu?"
"Quil tidak mau dikasihani. Justru sebaliknya – dia
girang bukan main. Gembira luar biasa.”
Itu tak masuk akal. Semua serigala lain justru sangat
tertekan membayangkan teman mereka mengalami nasib
yang sama. "Hah?"
Jacob menelengkan kepala menatapku. Ia tersenyum dan
memutar bola matanya.
"Quil menganggap ini hal terhebat yang pernah terjadi
padanya. Sebagian karena dia akhirnya tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Dan dia senang karena mendapatkan
teman-temannya lagi – menjadi bagian 'kelompok dalam’"
Lagi-lagi Jacob mendengus. "Tidak mengherankan,
sebenarnya. Quil memang seperti itu.”


"Dia menyukainya?"
"Sejujurnya ... sebagian besar dari mereka senang
menjadi serigala.” Jacob mengakui lambat-lambat,
"Memang ada hal-hal yang menyenangkan – kecepatan,
kebebasan, kekuatan... merasa seperti-seperti keluarga...
Hanya Sam dan aku yang benar-benar pernah merasa tidak
suka. Dan Sam sudah lama sekali berhasil mengatasi
perasaan tidak sukanya. Jadi tinggal aku sendiri yang
cengeng sekarang,” Jacob menertawakan diri sendiri.
Banyak sekali yang ingin kuketahui, "Kenapa kau dan
Sam berbeda? Apa yang sebenarnya terjadi pada Sam? Apa
masalahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari
mulutku tanpa memberi kesempatan Jacob menjawabnya,
dan ia pun tertawa lagi.
"Ceritanya panjang.”
"Aku sudah menceritakan kisah yang panjang untukmu.
lagi pula, aku tidak buru-buru pulang kok,” kataku,
kemudian meringis ketika terbayang masalah yang bakal
kuhadapi nanti.
Begitu mendengar nada waswas dalam suaraku, Jacob
dengan cepat mendongak dan menatapku. “Apakah dia
akan memarahimu?”
"Ya.” aku mengakui. "Dia sangat tidak suka aku
melakukan hal-hal yang dianggapnya ... riskan.”
"Seperti bergaul dengan werewolf.”
"Yeah.”
Jacob mengangkat bahu. "Kalau begitu tidak usah
pulang saja. Aku bisa tidur di sofa.”
"Ide bagus,” gerutuku. "Karena itu hanya akan
membuatnya datang mencariku.”


Jacob mengejang, kemudian tersenyum masam. "Begitu,
ya?”
"Kalau dia takut aku terluka atau sebangsanya – bisa
jadi.”
"Ideku jadi semakin bagus saja kedengarannya.”
"Please, Jake. Aku tidak suka mendengarnya.”
"Apa yang membuatmu merasa terganggu?"
"Bahwa kalian berdua sangat siap saling membunuh!"
keluhku. "Membuatku gila saja. Apa kalian tidak bisa
bersikap beradab?"
"Jadi dia siap membunuhku?" tanya Jacob sambil
tersenyum muram, tak peduli aku marah.
"Tidak sesiap kau yang sepertinya sudah sangat siap!"
Aku tersadar telah berteriak. "Setidaknya dia bisa bersikap
dewasa dalam hal ini. Dia tahu menyakitimu akan
menyakiti hatiku – jadi dia takkan pernah melakukannya.
Tapi kau sepertinya tidak peduli sama sekali!"
"Yeah, benar.” gerutu Jacob. "Aku yakin dia memang
pencinta damai.”
"Ugh!" Kusentakkan tanganku dari genggamannya dan
kudorong kepalanya jauh-jauh. Ialu kulipat lututku ke dada
dan kudekap kedua lenganku melingkari lutut.
Mataku menerawang jauh ke cakrawala, merengut.
Jacob terdiam beberapa menit. Akhirnya, ia bangkit dari
tanah dan duduk di sebelahku, lengannya memelukku. Aku
menepisnya dengan mengedikkan bahu.
"Maaf," ucapnya pelan. "Akan kucoba untuk bersikap
lebih baik.”
Aku tidak menyahut.


"Seperti kataku tadi, ceritanya panjang. Dan sangat..
aneh. Banyak sekali hal aneh dalam kehidupan baru ini.
Aku belum sempat menceritakan setengahnya padamu.
Dan masalah dengan Sam ini – well, entah apakah aku
bahkan bisa menjelaskannya dengan tepat.”
Kata-katanya memicu keingintahuanku, walaupun aku
masih kesal.
"Aku mendengarkan.” karaku kaku.
Dati sudut mata kulihat sebelah wajahnya terangkat,
membentuk senyuman.
"Pengalaman Sam jauh lebih sulit daripada kami semua.
Karena dia yang pertama, sendirian, dan tidak punya siapasiapa
yang bisa memberi tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Kakek Sam sudah meninggal sebelum dia lahir, dan
ayahnya tak pernah ada. Tak seorang pun mengenali tandatandanya.
Pertama kali itu terjadi – pertama kalinya dia
berubah – Sam mengira dia sudah gila. Butuh dua minggu
baru dia bisa cukup tenang untuk mengubah diri kembali.
"Itu terjadi sebelum kau datang ke Forks, jadi kau pasti
tidak ingat. Ibu Sam dan Leah Clearwater meminta para
jagawana hutan untuk mencarinya, juga polisi. Orang-orang
mengira dia mengalami kecelakaan atau sebangsanya...”
"Leah?" tanyaku, terkejut, Leah putri Harry. Mendengar
namanya langsung membuatku merasa kasihan. Harry
Clearwater, sahabat Charlie, meninggal karena serangan
jantung musim semi lalu.
Suara Jacob berubah, jadi lebih berat. "Yeah. Leah dan
Sam dulu berpacaran semasa SMA. Mereka mulai pacaran
waktu Leah kelas satu. Dia sangat panik waktu Sam
menghilang.”
"Tapi Sam dan Emily...”


"Nanti aku akan sampai ke sana – itu bagian ceritanya.”
kata Jacob. Ia menghirup napas dalam-dalam, kemudian
mengembuskannya dengan cepat.
Kurasa aku memang bodoh waktu mengira Sam tidak
pernah mencintai orang lain sebelum Emily. Kebanyakan
orang jatuh cinta berulang kali dalam hidupnya. Hanya saja
setelah melihat Sam bersama Emily, aku tidak bisa
membayangkan ia bersama wanita lain. Cara Sam menatap
Emily... well, mengingatkanku pada tatapan yang kadangkadang
kulihat di mata Edward – saat ia menatapku.
"Sam kembali," lanjut Jacob, "tapi dia tidak mau
mengatakan kepada siapa-siapa ke mana saja dia selama
itu. Kabar burung pun beredar – bahwa dia melakukan hal
yang tidak baik, kebanyakan menduga begitu. Kemudian
suatu siang Sam kebetulan bertemu kakek Quil, ketika Quil
Ateara Tua datang mengunjungi Mrs. Uley. Sam
menyalaminya. Si tua, Quil nyaris stroke,” Jacob berhenti
sebentar untuk tertawa.
"Kenapa?"
Jacob meletakkan tangannya di pipiku dan menarik
wajahku agar berpaling menatapnya – ia mencondongkan
tubuh ke arahku, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari
wajahku. Telapak tangannya membakar kulitku, seolaholah
ia demam.
"Oh, benar,” ujarku. Rasanya risi, wajahku begitu dekat
dengannya. Sementara tangannya terasa panas di kulitku.
"Tubuh Sam panas.”
Jacob tertawa lagi. "Tangan Sam seperti habis
dipanggang di atas kompor.”
Jacob begitu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan
embusan napasnya yang hangat. Dengan lagak biasa-biasa


saja, aku mengangkat tangan untuk menarik tangannya,
membebaskan wajahku, tapi kemudian menyusupkan jarijariku
ke sela-sela jemarinya, agar tidak melukai hatinya.
Jacob tersenyum dan menyandarkan tubuh kembali, tidak
tertipu usahaku untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Lalu Mr. Ateara langsung mendatangi para sesepuh.”
Jacob melanjutkan cerita. "Mereka satu-satunya sesepuh
yang masih hidup, yang masih tahu dan ingat hal itu, Mr.
Ateara, Billy, dan Harry bahkan pernah melihat kakek
mereka berubah. Waktu si tua Quil bercerita pada mereka,
mereka diam-diam menemui Sam dan menjelaskan.
"Keadaan jadi lebih mudah setelah Sam mengerti –
setelah dia tidak lagi sendirian, Mereka tahu bukan hanya
dia satu-satunya yang akan terpengaruh oleh kembalinya
keluarga Cullen" – Jacob melafalkan nama itu dengan
kegetiran yang tidak disadarinya-" tapi yang lain-lain masih
belum cukup tua. Jadi Sam menunggu kami-kami yang lain
untuk bergabung dengannya...”
"Keluarga Cullen sama sekali tidak tahu.” kataku
dengan suara berbisik. "Mereka tidak tahu werewolf masih
ada di sini. Mereka tidak tahu kedatangan mereka ke sini
akan mengubah kalian.”
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kami memang
jadi berubah.”
"Ingatkan aku untuk tidak membuatmu marah.”
"Kaukira aku juga harus segampang kau memaafkan
orang? Tidak semua orang bisa menjadi santo dan martir.”
"Dewasalah, Jacob.”
"Kalau saja aku bisa,” gumamnya pelan.


Kupandangi dia, berusaha memahami ucapannya tadi.
"'Apa?"
Jacob terkekeh. "Itu satu dari banyak hal aneh seperti
yang pernah kuceritakan.”
"Jadi kau... tidak bisa... jadi dewasa?" tanyaku
terperangah. "Kau apa? Tidak bisa... bertambah tua? Kau
bercanda, ya?”
"Tidak,” Jacob memberi penekanan pada jawabannya.
Aku merasa darah surut dari wajahku. Air mata – air
mata marah – merebak. Aku menggertakkan gigi dengan
suara keras.
"Bella? Aku salah omong, ya?”
Aku berdiri lagi, kedua tanganku mengepal, sekujur
tubuh gemetar.
"Kau. Tidak. Bisa. Bertambah. Tua.” geramku dari selasela
gigi.
Jacob menarik-narik lenganku lembut, berusaha
mendudukkanku. "Kami semua tidak bakal menua. Kau ini
kenapa sih?"
"Jadi aku satu-satunya yang bakal menua? Semakin hari
aku semakin tua!" aku nyaris menjerit, melontarkan kedua
tanganku ke udara. Sebagian kecil diriku sadar gayaku
marah-marah persis Charlie, tapi bagian rasional itu
tertutup oleh bagian yang tidak rasional. "Brengsek! Dunia
macam apa ini? Di mana keadilan?"
"Tenanglah, Bella.”
"Tutup mulut, Jacob. Pokoknya tutup mulut! Ini sangat
tidak adil!"


"Kau benar-benar mengentak-entakkan kaki, ya?
Kusangka hanya cewek-cewek di TV yang melakukannya.”
Aku menggeram marah.
"Ini tidak separah yang kaukira. Duduk dan akan
kujelaskan.”
"Biar aku berdiri saja.”
Jacob memutar bola matanya. "Oke. Terserah. Tapi
dengar, aku akan bertambah tua... suatu saat nanti.”
"Jelaskan.”
Jacob menepuk-nepuk batang pohon. Aku memandang
garang sedetik, tapi kemudian duduk; amarahku langsung
mereda secepat timbulnya tadi, dan aku cukup tenang untuk
menyadari tingkahku tadi memalukan.
"Kalau kami cukup bisa mengendalikan diri sehingga
bisa berhenti... ,” kata Jacob. "Bila kami berhenti berubah
wujud cukup lama, kami akan menua lagi. Tidak mudah
memang.” Jacob menggeleng-gelengkan kepala, merasa
ragu. "Butuh sangat lama untuk belajar menahan diri seperti
itu, kurasa. Bahkan Sam pun belum sampai ke tahap itu.
Apalagi sekarang ada sekelompok besar vampir di dekatdekat
sini. Bahkan tidak terpikir oleh kami untuk berhenti
jadi werewolf saat suku kami membutuhkan pelindung. Tapi
tak seharusnya kau panik dan marah-marah seperti tadi,
aku toh sudah lebih tua darimu, setidaknya secara fisik.”
“Apa maksudmu?"
"Lihat saja aku, Bells. Memangnya aku kelihatan seperti
anak enam belas tahun?"
Aku memandangi sosok raksasa Jacob dari ujung kepala
sampai ujung kaki, berusaha untuk bersikap objektif "Tidak
juga, kurasa.”


"Sama sekali tidak. Karena tubuh kami berkembang
penuh di bagian dalam selama beberapa bulan saat gen
werewolf terpicu. Pertumbuhannya sangar fantastis.” Jacob
mengernyitkan wajah. "Secara fisik usiaku kira-kira 25
tahun, Jadi kau tidak perlu marah-marah karena lebih tua
dariku selama setidaknya tujuh tahun lagi.”
Kira-kira dua puluh lima tahun. Pikiran itu membuat
kepalaku pusing. Tapi aku ingat pertumbuhan fisik Jacob
yang fantastis – aku menyaksikan sendiri bagaimana ia
bertambah tinggi dengan sangat cepat dan tubuhnya padat
berisi. Aku ingat bagaimana hari ini ia terlihat berbeda dari
kemarin... aku menggeleng-gelengkan kepala, merasa
pusing.
"Jadi, mau dengar cerita tentang Sam tidak, atau kau
mau berteriak-teriak memarahiku lagi untuk hal-hal yang
tidak bisa kukendalikan?"
Aku menghela napas dalam-dalam. "Maaf Masalah
umur adalah topik sensitif bagiku. Membuatku
tersinggung."
Mata Jacob mengeras, dan ia seperti berusaha
memutuskan bagaimana mengungkapkan sesuatu.
Karena tidak mau membicarakan hal-hal sensitif –
rencanaku untuk masa depan, atau kesepakatan yang bakal
dilanggar rencana tersebut, maka aku pun mendorongnya
meneruskan cerita. “Jadi, sejak Sam memahami apa yang
sebenarnya terjadi, setelah Billy, Harry, dan Mr. Ateara
memberitahu dia, katamu itu tidak begitu berat lagi
baginya. Dan, seperti katamu tadi, ada juga hal-hal
menyenangkan menjadi serigala ..
Sejenak aku ragu-ragu. "Kenapa Sam sangat membenci
mereka? Kenapa dia berharap aku juga membenci mereka?"


Jacob mendesah. "Ini bagian yang benar-benar aneh.”
“Aku suka yang aneh-aneh kok.”
"Yeah, aku tahu.” Jacob nyengir sebelum melanjutkan
ceritanya. "Kau benar, Sam tahu apa yang terjadi, dan
semuanya hampir baik-baik saja. Dalam banyak hal
hidupnya sudah kembali, well, bukan normal. Tapi lebih
baik.” Lalu ekspresi Jacob mengeras, seakan-akan ada
sesuatu yang menyakitkan. "Sam tidak boleh memberitahu
Leah. Kami tidak boleh memberi tahu siapa pun yang tidak
perlu tahu. lagi pula, tidak aman bagi Sam berada dekatdekat
dengan Leah – tapi Sam berbuat curang, sama seperti
yang kulakukan denganmu. Leah marah karena Sam tidak
mau memberitahu apa yang terjadi – ke mana saja Sam
selama ini, ke mana dia pergi pada malam hari, kenapa dia
selalu kelelahan – tapi mereka mulai berusaha
mengatasinya. Mereka benar-benar berusaha. Mereka
sangat saling mencintai.”
"Jadi Leah akhirnya tahu? Itukah yang terjadi?"
Jacob menggeleng. "Bukan, masalahnya bukan itu.
Sepupunya, Emily Young, datang dari reservasi Makah
untuk mengunjunginya pada akhir pekan.”
Aku terkesiap. "Jadi Emily sepupu Leah?"
"Sepupu jauh. Tapi mereka cukup dekat. Waktu masih
kecil, mereka bahkan seperti kakak-beradik.”
"Itu... menyedihkan. Tega-teganya Sam...? Suaraku
menghilang, menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan hakimi dia dulu. Adakah yang pernah
menceritakan padamu tentang... pernahkah kau mendengar
tentang imprint?"


"Imprint?" Aku mengulangi kata itu. "Tidak. Apa artinya
itu?”
"Itu satu dari sekian banyak hal aneh yang harus kami
hadapi. Itu tidak terjadi pada setiap orang. Faktanya, itu
pengecualian yang langka, bukan ketentuan utama. Saat itu
Sam sudah pernah ,mendengar cerita-cerita mengenainya,
cerita-cerita yang dulunya kami kira hanya legenda. Dia
pernah mendengar tentang imprint, tapi tak pernah
terbayang olehnya bahwa...”
"Apa itu sebenarnya?" desakku.
Mata Jaeob menerawang jauh ke laut. "Sam memang
mencintai Leah. Tapi begitu dia bertemu Emily, itu tidak
berarti lagi. Terkadang... kita tidak tahu persis kenapa .. kita
menemukan jodoh kita dengan cara seperti itu.” Matanya
melirikku lagi, wajahnya memerah. "Maksudku... belahan
jiwa kita.”
"Dengan cara seperti apa? Cinta pada pandangan
pertama?" tanyaku dengan nada mengejek.
Jacob tidak tersenyum. Mata gelapnya memerhatikan
reaksiku dengan kritis. "Agak lebih kuat daripada itu. Lebih
pasti.”
"Maaf" sergahku. "Kau serius, ya?”
"Ya, aku serius.”
"Cinta pada pandangan pertama? Tapi lebih kuat?"
Suaraku masih terdengar ragu, dan itu tak luput dari
pendengaran Jacob.
"Tidak mudah menjelaskannya. Toh itu tidak penting.”
Jacob mengangkat bahu dengan sikap tak peduli. "Kau kan
ingin tahu apa yang membuat Sam membenci para vampir
yang telah mengubahnya, membuatnya membenci dirinya


sendiri. Dan itulah yang terjadi. Dia membuat Leah patah
hati. Melupakan semua janji yang pernah dia ucapkan
kepada Leah. Setiap hari dia harus melihat tuduhan itu
terpancar dari mata Leah, dan tahu tuduhan itu benar.”
Mendadak Jacob berhenti bicara, seolah-olah
mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan.
"Bagaimana tanggapan Emily dalam hal ini? Padahal dia
kan dekat sekali dengan Leah...?" Sam dan Emily memang
benar-benar cocok satu sama lain, bagaikan dua keping
puzzle, dibentuk untuk saling melengkapi. Meski begitu...
bagaimana Emily bisa melupakan fakta bahwa Sam dulu
pernah menjadi milik wanita lain? Saudara perempuannya
sendiri, hampir bisa dibilang begitu.
"Emily sangat marah, pada awalnya. Tapi sulit menolak
komitmen dan pemujaan dalam taraf seperti itu.” Jacob
mendesah, “Apalagi Sam bisa menceritakan semua
kepadanya. Tidak ada aturan yang dapat menghalangimu
kalau kau sudah menemukan belahan jiwamu. Kau tahu
bagaimana Emily cedera?"
"Yeah.” Cerita yang beredar di Forks adalah Emily
diserang beruang, tapi aku tahu rahasia sebenarnya.
Werewolf itu tidak stabil, Edward pernah berkata. Orangorang
yang dekat dengan mereka cedera.
"Well, anehnya, peristiwa itu malah mendekatkan
mereka. Sam sangat ngeri dan muak pada dirinya sendiri,
tidak bisa menerima apa yang telah dia lakukan... Dia
bahkan rela menabrakkan diri ke bus kalau itu bisa
membuat Emily merasa lebih baik. Mungkin saja Sam akan
berbuat begitu, hanya supaya bisa melepaskan diri dari
perasaan bersalah akibat perbuatannya. Perasaannya
hancur... Tapi, entah bagaimana, justru Emily-lah yang
menghibur Sam, dan setelah itu...”


Jacob tidak menyelesaikan ucapannya, dan aku merasa
cerita itu jadi terlalu pribadi untuk dibagikan.
"Kasihan Emily,” bisikku. "Kasihan Sam. Kasihan Leah
...”
"Yeah, Leah yang paling dirugikan dalam hal ini.”
Jacob sependapat. "Dia berusaha menunjukkan sikap tabah.
Dia akan menjadi pendamping pengantin Emily nanti.”
Aku memandang jauh ke arah batu-batu karang yang
mencuat, dari dalam laut, bagai jari-jari gemuk yang patah
di pinggir sebelah selatan pelabuhan, berusaha memahami
semua itu. Aku bisa merasakan Jacob menatapku,
menungguku mengatakan sesuatu.
“Apakah itu pernah terjadi padamu?" tanyaku akhirnya,
masih menerawang jauh. "Cinta pada pandangan pertama
seperti itu?"
"Tidak.” jawab Jacob langsung. "Hanya Sam dan Jared
yang pernah mengalaminya.”
"Hmm.” ucapku, berusaha memperdengarkan nada
tertarik. Aku lega, dan aku berusaha menjelaskan reaksi itu
pada diriku sendiri, Kuputuskan aku senang Jacob tidak
menganggap ada hubungan mistik dan berbau serigala di
antara kami. Begini saja hubungan kami sudah cukup
membingungkan. Aku tidak butuh hal-hal supranatural lain
selain yang memang harus kuhadapi sekarang.
Jacob juga diam saja, dan keheningan kali ini terasa agak
canggung. Intuisiku mengatakan aku tidak ingin mendengar
apa yang ia pikirkan.
"Bagaimana itu terjadi pada Jared?" tanyaku untuk
memecah kesunyian.


"Tidak ada yang menghebohkan dalam prosesnya.
Pokoknya, pacarnya adalah gadis yang duduk di sebelahnya
di kelas selama setahun, tapi Jared tidak pernah meliriknya.
Kemudian, setelah Jared berubah, dia bertemu gadis itu lagi
dan sejak itu tidak pernah lagi melirik yang lain, Kim girang
sekali. Sudah lama dia naksir Jared. Dia bahkan
menuliskan nama keluarga Jared di belakang namanya
dalam buku harian.” Jacob tertawa mengejek.
Keningku berkerut. "Jared menceritakan itu padamu?
Seharusnya jangan.”
Jacob menggigit bibir, "Kurasa tidak seharusnya aku
tertawa. Tapi itu lucu.”
"Belahan jiwa apa itu!"
Jacob mendesah. "Jared bukannya sengaja menceritakan
semua itu pada kami. Aku pernah menceritakan soal ini
padamu kan, ingat?"
"Oh, yeah. Kalian bisa saling mengetahui pikiran
masing-masing, tapi hanya saat kalian menjadi serigala,
begitu, kan?”
"Benar. Sama seperti pengisap darahmu itu.” Jacob
memandang garang.
"Edward,” aku membetulkan.
"Tentu, tentu. Karena itulah aku jadi tahu banyak
tentang perasaan Sam. Bukan berarti dia mau menceritakan
semuanya pada kami seandainya bisa memilih. Sebenarnya,
itu sesuatu yang tidak disukai kami semua.” Kepahitan
terdengar jelas dalam suara Jacob. "Sungguh tidak enak.
Tidak ada privasi, tidak ada rahasia. Semua yang
memalukan terpampang sangar jelas.” Jacob bergidik.
"Kedengarannya mengerikan,” bisikku.


"Terkadang itu berguna saat kami perlu berkoordinasi.”
jelas Jacob enggan. "Sekali dalam beberapa bulan, kalau
ada pengisap darah menerobos masuk ke wilayah kami.
Seperti Laurent waktu itu, sungguh mengasyikkan. Dan
seandainya keluarga Cullen tidak menghalang-halangi kami
Sabtu kemarin ... ugh!" erang Jacob. "Kami pasti bisa
menangkapnya!" Tangannya mengepal marah.
Aku tersentak. Walaupun aku khawatir Jasper atau
Emmett bakal terluka, tapi itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan kepanikan membayangkan Jacob berhadapan
dengan Victoria. Emmett dan Jasper, dalam bayanganku
tidak mungkin bisa dikalahkan. Jacob masih hijau, masih
lebih "manusia" dibandingkan mereka. Bisa mati.
Terbayang olehku Jacob menghadapi Victoria, rambut
merahnya berkibar-kibar di sekeliling wajahnya yang kejam
dan buas... aku bergidik ngeri.
Jacob memandangiku dengan ekspresi ingin tahu. "Tapi
bukankah kau juga mengalami hal itu setiap saat? Dia bisa
mendengar pikiranmu?"
"Oh, tidak. Edward tidak pernah tahu pikiranku. Dia
hanya bisa berharap.”
Ekspresi Jacob berubah bingung.
"Dia tidak bisa mendengar pikiranku.” aku menjelaskan,
suaraku terdengar sedikit puas, biasa, itu kebiasaan lama.
"Aku satu-satunya yang seperti itu, bagi dia. Kami tidak
tahu kenapa dia tidak bisa mendengar pikiranku.”
"Aneh.” komentar Jacob.
"Yeah.” Nada puas itu lenyap. "Mungkin itu berarti ada
yang tidak beres dengan otakku.” aku mengakui.
"Sudah kukira ada yang tidak beres dengan otakmu.”
gerutu Jacob.


"Trims.”
Matahari tiba-tiba menyembul di balik awan, kejutan
yang tidak kusangka-sangka, dan aku harus menyipitkan
mata untuk melindungi mataku dari terik sinarnya yang
memantul di permukaan air. Segala sesuatu berubah warnaombak
berubah warna dari kelabu jadi biru, pepohonan dari
hijau zaitun kusam ke hijau zamrud cemerlang, dan kerikilkerikil
bernuansa warna pelangi berkilauan bak permata.
Kami menyipitkan mata sebentar, membiarkan mata
kami menyesuaikan diri. Tak terdengar suara apa pun selain
debur ombak yang bergema dari setiap sisi pelabuhan yang
terlindung itu, suara lembut bebatuan saling membentur di
bawah gerakan air, serta pekik burung-burung camar di atas
kepala. Damai sekali rasanya.
Jacob beringsut lebih dekat denganku, sehingga
tubuhnya menempel di lenganku. Tubuhnya hangat sekali.
Setelah semenit dalam posisi itu, kulepas jaketku. Jacob
mengeluarkan suara bernada senang, dan, menempelkan
pipinya ke puncak kepalaku. Aku bisa merasakan matahari
menyengat kulitku meski tidak sepanas kulit Jacob-dan
dalam hati aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk membuatku hangus.
Tanpa berpikir aku memutar tangan kananku ke satu sisi
dan memandangi cahaya matahari berpendar samar di
bekas luka yang ditinggalkan James di sana.
"Apa yang kaupikirkan?” gumam Jacob.
"Matahari.”
"Mmm. Bagus."
"Kau sendiri, apa yang kaupikirkan?" tanyaku.


Jacob terkekeh sendiri. "Aku teringat film konyol yang
kutonton bersamamu. Dengan Mike Newton yang muntahmuntah
habis-habisan.”
Aku tertawa, kaget saat menyadari berapa waktu telah
mengubah kenangan itu. Betapa dulu itu membuatku
tertekan, bingung. Begitu banyak yang berubah sejak malam
itu.. Dan sekarang aku bisa tertawa. Itu malam terakhir
yang dilewati Jacob dan aku sebelum ia mengetahui asalusulnya
yang sebenarnya. Kenangan terakhirnya sebagai
manusia. Kenangan yang anehnya sekarang terasa
menyenangkan.
"Aku rindu saat-saat seperti itu.” kata Jacob.
"Bagaimana hidup dulu terasa begitu mudah... tidak rumit.
Untung aku bisa mengingat semuanya dengan baik.” Jacob
mendesah.
Jacob merasakan tubuhku tiba-tiba mengejang karena
kata-katanya mendadak membuatku teringat hal lain.
"Ada apa?" tanyanya.
"Omong-omong soal ingatanmu yang baik..” Aku
melepaskan diri dari pelukannya agar bisa membaca
wajahnya. Saat itu, rasanya membingungkan. "Kau tidak
keberatan kan, memberitahuku apa yang kaulakukan Senin
pagi waktu itu? Kau memikirkan sesuatu yang mengganggu
perasaan Edward. Mengganggu sebenarnya bukan istilah
yang tepat, tapi aku menginginkan jawaban, jadi kupikir
lebih baik tidak usah cari gara-gara.
Wajah Jacob berubah cerah mendengarnya, dan ia
tertawa.
"Aku memikirkanmu. Dia tidak suka, ya?”
"Aku? Memikirkanku bagaimana?”


Jacob tertawa, kali ini bernada mengejek. "Aku
mengingat keadaanmu waktu kau ditemukan Sam malam
itu – aku melihat itu dalam pikirannya, jadi rasanya seolaholah
aku juga ada di sana; kenangan itu selalu menghantui
Sam, kau tahu. Kemudian aku mengingat bagaimana
keadaanmu waktu kau pertama kali datang ke rumahku.
Berani taruhan, kau pasti bahkan tidak sadar berapa
kusutnya penampilanmu waktu itu, Bella. Bermingguminggu
kemudian baru kau terlihat seperti manusia lagi.
Dan aku ingat bagaimana kau dulu selalu mendekap
tubuhmu sendiri, seperti berusaha memegangi tubuhmu
agar tidak hancur...” Jacob meringis, kemudian
menggeleng. "Mengingat betapa sedihnya kau waktu itu
saja aku tidak tega, padahal itu bukan salahku. Jadi kupikir
pasti lebih berat lagi bagi dia. Dan menurutku, dia harus
melihat akibat yang ditimbulkan olehnya.”
Kupukul bahu Jacob. Tanganku kesakitan, "Jacob Black,
jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi! Janji kau tidak
akan berbuat begitu.”
"Enak saja. Sudah berbulan-bulan aku tidak merasakan
keasyikan seperti itu.”
"Tolonglah, Jake...”
"Oh, tenanglah, Bella. Memangnya kapan aku akan
bertemu dia lagi? Jangan mengkhawatirkan soal itu.”
Aku berdiri, dan Jacob langsung menyambar tanganku
begitu aku beranjak menjauh, Aku berusaha menarik
tanganku dari pegangannya.
"Aku mau pulang, Jacob.”
"Tidak, jangan pergi dulu.” protesnya, tangannya
semakin erat mencengkeram tanganku. "Maafkan aku.
Dan... oke, aku tidak akan melakukannya lagi. janji.”


Aku mendesah, "Trims, Jake.”
“Ayolah, kita kembali ke rumahku,” ajak Jacob penuh
semangat.
"Sebenarnya, aku benar-benar harus pergi. Aku ditunggu
Angela Weber, dan aku tahu Alice khawatir. Aku tidak
mau membuatnya terlalu kalut.”
"Tapi kau kan baru sampai di sini!"
"Rasanya memang seperti itu.” aku sependapat.
Kupandangi matahari, yang entah bagaimana sudah berada
tepat di atas kepala. Bagaimana waktu bisa berlalu secepat
itu?
Alis Jacob bertaut di atas matanya. "Entah kapan aku
bisa bertemu lagi denganmu,” katanya sedih,
“Aku akan kembali kalau dia pergi lagi nanti,” janjiku
impulsif.
"Pergi?" Jacob memutar bola matanya. "Cara yang manis
untuk menggambarkan apa yang dia lakukan. Dasar parasit
menjijikkan.”
"Kalau kau tidak bisa bersikap manis, aku tidak akan
kembali sama sekali!" ancamku, berusaha menarik
tanganku dari genggamannya. Jacob menolak melepaskan
aku.
"Waduh, jangan marah,” katanya, nyengir. "Reaksi
spontan.”
"Kalau aku mau berusaha kembali lagi ke sini, aku perlu
meluruskan sesuatu denganmu, oke?"
Jacob menunggu.
"Begini.” Aku menjelaskan. "Aku tidak peduli siapa
vampir dan siapa werewolf. Itu tidak relevan. Kau Jacob, dan


dia Edward, dan aku Bella. Hal lain di luar itu, tidaklah
penting.”
Mara Jacob menyipit sedikit, "Tapi aku memang
werewolf,” katanya dengan sikap tidak rela, "Dan dia
memang vampir,” imbuhnya dengan sikap yang kentara
sekali jijik.
"Dan aku Virgo!" teriakku, sebal.
Jacob mengangkat alis, menilai ekspresiku dengan sorot
ingin tahu, Akhirnya ia mengangkat bahu.
"Kalau kau benar-benar bisa melihatnya seperti itu...”
"Aku bisa. Sungguh"
"Oke. Hanya Bella dan Jacob. Tidak ada makhluk
mengerikan bernama Virgo di sini.” Jacob tersenyum
padaku, senyum hangat familier yang sangat kurindukan.
Aku merasakan senyumku sendiri merekah, menanggapi
senyumnya.
"Aku benar-benar kehilangan kau, Jake,” aku mengakui
dengan sikap impulsif.
"Aku juga,” senyum Jacob melebar. Sorot matanya
bahagia dan jernih, sekali itu bebas dari sorot kegetiran
penuh amarah. "Lebih dari yang kauketahui. Kau akan
datang lagi nanti?"
"Secepat aku bisa,” aku berjanji.
6. SWISS
SAAT mengendarai truk pulang, aku tidak terlalu
memerhatikan jalan yang berkilau basah tertimpa cahaya
matahari. Aku sibuk memikirkan berbagai informasi yang
diceritakan Jacob padaku tadi, berusaha memilah-milahnya,


menjejalkan semua ke kepalaku agar terdengar masuk akal.
Meski bebanku menumpuk, aku merasa lebih ringan.
Melihat Jacob tersenyum, semua rahasia dibeberkan...
memang tidak membuat situasi sempurna, tapi toh jadi
lebih baik. Keputusanku untuk pergi memang benar. Jacob
membutuhkanku. Dan jelas, pikirku sambil menyipitkan
mata menahan terik matahari, sama sekali tidak berbahaya.
Mendadak itu muncul. Sedetik sebelumnya tidak ada
apa-apa kecuali jalan raya cemerlang di kaca spionku. Detik
berikutnya, cahaya matahari berkilau menerpa bodi perak
mengilat sebuah Volvo yang mengekor tepat di belakangku.
"Sial,” keluhku.
Aku sempat menimbang-nimbang untuk menepi. Tapi
aku terlalu pengecut untuk langsung menghadapi Edward.
Padahal aku berharap bakal punya waktu untuk
menyiapkan diri... dan ada Charlie di dekatku sebagai
peredam. Paling tidak itu bakal memaksa Edward
memelankan suaranya.
Volvo itu membuntuti hanya beberapa meter di
belakangku. Pandangan mataku tetap lurus ke depan,
Benar-benar pengecut pokoknya, aku mengendarai
trukku langsung ke rumah Angela tanpa sekali pun
membalas tatapan yang bisa kurasakan membakar,
melubangi spionku.
Edward mengikutiku terus sampai aku menepikan trukku
di depan rumah keluarga Weber. Ia tidak berhenti, dan aku
tidak mendongak waktu ia lewat, Aku tak ingin melihat
ekspresinya. Aku berlari-lari kecil menyusuri jalanan beton
pendek yang menuju pintu rumah Angela begitu Edward
tidak tampak lagi.


Ben membuka pintu sebelum aku sempat berhenti
mengetuk, seolah-olah sejak tadi ia sudah berdiri di
belakang pintu ..
"Hai, Bella,” sapanya, kaget.
"Hai, Ben. Eh, Angela ada?" Dalam hati aku bertanyatanya
apakah Angela lupa rencana kami, dan mengernyit
ngeri membayangkan harus pulang lebih cepat.
“Ada,” jawab Ben, dan saat itu juga Angela berseru,
"Bella!" lalu muncul di puncak tangga.
Ben melongok ke balik bahuku waktu kami mendengar
suara mobil di jalanan; suaranya tidak membuatku takut –
mesin mobil ini terbatuk-batuk dulu sebelum berhenti,
disusul suara letupan mesin. Sama sekali tidak seperti
dengkur halus mesin Volvo. Itu pasti tamu yang ditunggutunggu
Ben.
"Austin datang.” seru Ben waktu Angela tiba di
sampingnya.
Terdengar suara klakson dari arah jalan.
"Sampai ketemu lagi nanti.” janji Ben. "Belum pergi saja
aku sudah kangen padamu.”
Ben merangkul leher Angela dan menarik kepalanya agar
bisa menciumnya dengan antusias. Sejurus kemudian
Austin kembali mengklakson.
"Daah, Ang! Aku mencintaimu!" teriak Ben sambil
berlari melewatiku.
Angela limbung, wajahnya merona, lalu ia tersadar dan
melambai sampai Ben dan Austin lenyap dari pandangan.
Kemudian ia berpaling padaku dan nyengir masam.
"Terima kasih karena mau membantuku, Bella,”
katanya. "Ini tulus dari dasar hatiku yang terdalam. Kau


bukan hanya menyelamatkan tanganku dari cedera
permanen, tapi kau juga menyelamatkanku dari keharusan
duduk selama dua jam penuh, menonton film silat yang
tidak ada plotnya dan yang dubbing-nya buruk sekali.”
Angela mengembuskan napas lega.
"Senang bisa membantu.” Kepanikanku sedikit
berkurang, dan aku bisa bernapas lebih teratur, Rasanya
biasa sekali di sini. Drama kehidupan Angela yang ringan
dan khas manusia itu anehnya justru membuatku tenang.
Senang mengetahui ternyata ada juga kehidupan yang
normal.
Kuikuti Angela menaiki tangga menuju kamarnya.
Sambil berjalan ia menendangi mainan-mainan yang
berserakan menghalangi jalan. Tidak biasanya rumah
Angela sepi sekali.
"Mana keluargamu?”
"Orangtuaku membawa si kembar ke pesta ulang tahun
di Port Angeles. Aku tak percaya kau benar-benar mau
membantuku melakukan ini. Ben saja pura-pura tangannya
terkilir." Angela mengernyit.
"Aku sama sekali tidak keberatan,” kataku, berjalan
memasuki kamar Angela dan melihat tumpukan amplop
yang sudah menunggu.
"Oh!" aku terkesiap. Angela menoleh dan menatapku,
sorot matanya meminta maaf. Pantas ia menundanundanya
terus. Dan pantas juga Ben memilih menghindar.
"Kukira kau melebih-lebihkan.” aku mengakui.
"Kalau saja begitu. Yakin kau mau melakukannya?”
"Pekerjakan aku. Aku punya waktu seharian.”


Angela membagi dua tumpukan dan meletakkan buku
alamat ibunya di meja, persis di tengah-tengah. Selama
beberapa saat kami berkonsentrasi, dan yang terdengar
hanya suara bolpoin kami menggores pelan kertas.
“Apa yang dilakukan Edward malam ini?" tanya Angela
beberapa menit kemudian.
Bolpoinku menekan kuat-kuat amplop yang sedang
kukerjakan. "Emmett pulang akhir pekan ini. Sepertinya
mereka hiking.”
"Kedengarannya kau tidak yakin.”
Aku mengangkat bahu.
"Kau beruntung Edward punya saudara-saudara lelaki,
jadi dia bisa pergi hiking dan kemping bersama mereka.
Entah apa yang bakal kulakukan seandainya tidak ada
Austin yang mengajak Ben melakukan kegiatan-kegiatan
khas cowok.”
"Yeah, aku tidak suka melakukan aktivitas luar ruang.
Dan tidak akan bisa mengimbangi.”
Angela tertawa. "Aku juga lebih menyukai kegiatan di
dalam ruangan.”
Angela berkonsentrasi lagi ke tumpukan amplopnya.
Aku menyelesaikan empat amplop lagi. Aku tak pernah
merasa harus mengisi kesunyian dengan obrolan basa-basi
jika bersama Angela. Seperti Charlie, ia memang lebih suka
berdiam diri.
Tapi seperti juga Charlie, Angela terkadang juga sangat
tajam dalam menilai.
"Ada masalah?" tanyanya, suaranya rendah sekarang.
"Sepertinya kau... gelisah.”
Aku tersenyum malu-malu. "Sejelas itukah?"


"Tidak juga.”
Mungkin Angela berbohong untuk menenangkan
perasaanku.
"Kau tak perlu membicarakannya kalau memang tidak
mau.” Angela meyakinkanku. "Aku akan mendengarkan
kalau kaupikir itu bisa membantu.”
Aku hampir saja mengatakan Trims, tapi tidak usah
sajalah. Soalnya terlalu banyak rahasia yang harus
kusimpan. Aku benar-benar tidak bisa mendiskusikan
masalahku dengan seorang manusia. Itu melanggar aturan.
Meski begitu, keinginan itu mendadak muncul, kuat
sekali. Aku ingin berbagi pada teman perempuan yang
normal. Aku ingin mengeluh sedikit, seperti remaja-remaja
umumnya. Aku ingin masalahku sesederhana itu. Akan
menyenangkan bila ada orang di luar urusan pelik yang
melibatkan vampir dan werewolf ini, yang bisa memandang
masalah dalam perspektif yang benar. Seseorang yang bisa
objektif.
"Aku tidak akan ikut campur,” janji Angela, tersenyum
memandangi alamat yang sedang ditulisnya.
"Tidak.” ujarku. "Kau benar. Aku memang gelisah. Soal
... soal Edward.”
"Memangnya ada apa?"
Mudah sekali mengobrol dengan Angela. Kalau ia
bertanya seperti itu, aku tahu ia bukan sekadar ingin tahu
atau ingin mendengar gosip, seperti Jessica. Ia peduli pada
kegelisahanku.
"Oh, dia marah padaku.”
"Sulit membayangkannya.” kata Angela. "Kenapa dia
marah?”


Aku menarik napas. "Ingat Jacob Black?"
''Ah,'' ucapnya.
"Yeah.”
"Dia cemburu.”
"Tidak, bukan cemburu...” Seharusnya aku tadi tidak
usah cerita. Toh aku takkan bisa menjelaskan dengan benar.
Tapi aku masih ingin bicara. Baru sekarang aku menyadari
berapa hausnya aku pada obrolan manusia. "Edward
menganggap Jacob memberiku pengaruh buruk, kurasa.
Sedikit... berbahaya. Kau kan tahu bagaimana aku terlibat
masalah beberapa bulan lalu... Tapi semua itu konyol.”
Aku kaget juga melihat Angela menggeleng-gelengkan
kepala.
''Apa?'' tanyaku.
"Bella, aku lihat sendiri cara Jacob Black menatapmu.
Berani taruhan, masalah sebenarnya adalah cemburu.”
"Padahal tidak ada apa-apa di antara aku dan Jacob.”
"Bagimu, mungkin. Tapi bagi Jacob...”
Keningku berkerut. "Jacob tahu bagaimana perasaanku.
Aku sudah menceritakan semua padanya.”
"Edward juga manusia, Bella. Dia akan bereaksi seperti
cowok-cowok lain juga.”
Aku meringis. Tidak bisa menanggapi.
Angela menepuk-nepuk tanganku. "Dia pasti bisa
mengatasinya.”
"Mudah-mudahan saja. Jacob sedang susah sekarang.
Dia membutuhkanku.”
"Kau dan Jacob sangat dekat, ya?"


"Sudah seperti keluarga.” aku membenarkan.
"Dan Edward tidak suka padanya... Itu pasti sulit. Kirakira
kalau Ben akan menanganinya bagaimana, ya?” renung
Angela.
Aku separuh tersenyum. "Mungkin seperti cowok-cowok
lain juga.”
Angela nyengir. "Mungkin.”
Lalu ia mengubah topik. Angela bukan tipe orang yang
suka mengorek-ngorek, dan sepertinya ia bisa merasakan
aku tidak mau-tidak bisa-bercerita lebih banyak lagi.
"Kemarin aku mendapat kepastian soal kamar asrama.
Gedung yang terjauh dari kampus, jelas.”
"Ben sudah tahu akan dapat kamar di mana?"
"Di asrama yang terdekat dengan kampus. Beruntung
benar dia. Kau sendiri bagaimana? Sudah memutuskan mau
kuliah di mana?"
Aku menunduk, berkonsentrasi pada tulisan tanganku
yang jelek. Sejenak pikiranku beralih pada Angela dan Ben
yang akan kuliah di University of Washington. Beberapa
bulan lagi mereka sudah akan tinggal di Seattle. Sudah
amankah kota itu nanti? Apakah serangan vampir muda liar
itu sudah akan pindah ke tempat lain? Ataukah ada tempat
lain, kota lain yang bakal muncul dan menjadi headline
pemberitaan peristiwa-peristiwa menyeramkan seperti di
film horor?
Apakah headline-headline baru itu terjadi akibat salahku?
Aku mencoba menepisnya dan menjawab pertanyaannya
sedetik terlambat. "Alaska, mungkin. Di universitas di
Juneau.”


Aku bisa mendengar kekagetan dalam suara Angela.
“Alaska? Oh. Sungguh? Maksudku, hebat. Aku hanya
mengira kau akan pergi ke tempat lain yang ... lebih
hangat.”
Aku tertawa kecil, mataku masih tertuju ke amplop.
"Yeah. Forks benar-benar telah mengubah perspektifku
tentang kehidupan.”
"Dan Edward?" .
Walaupun nama itu membuat perutku langsung
bergolak, aku mendongak dan nyengir kepada Angela.
"Alaska juga tidak terlalu dingin bagi Edward.”
Angela balas nyengir. "Tentu saja tidak.” Lalu ia
mendesah, "Itu jauh sekali. Kau tidak akan bisa seringsering
pulang. Kau mau mengirimiku e-mail, kan?”
Mendadak hatiku dilanda kesedihan; mungkin salah
kalau aku justru semakin akrab dengan Angela sekarang.
Tapi apakah justru tidak lebih menyedihkan bila kehilangan
kesempatan terakhir ini? Kutepiskan pikiran-pikiran yang
tidak menyenangkan itu, agar bisa menjawab
pertanyaannya tadi dengan nada menggoda.
"Kalau aku bisa mengetik lagi sesudah ini.” Aku
mengangguk ke tumpukan amplop yang sudah selesai
kukerjakan.
Kami tertawa, dan selanjutnya mudah saja bagi kami
mengobrol riang tentang kelas dan jurusan sambil
menyelesaikan sisa tumpukan-yang perlu kulakukan hanya
tidak memikirkannya. Bagaimanapun ada banyak hal lain
yang lebih mendesak untuk dikhawatirkan hari ini.
Aku juga membantu Angela menempelkan prangkoprangkonya.
Aku takut membayangkan harus pulang.


"Bagaimana tanganmu?" tanyanya.
Aku meregangkan jari-jariku. "Kurasa akan pulih lagi...
suatu hari nanti.”
Terdengar suara pintu dibanting di bawah, dan kami
sama- sama mengangkat wajah.
“Ang?"seru Ben
Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku bergetar. "Kurasa
itu isyarat aku harus pulang.”
"Kau tidak perlu pergi. Walaupun Ben mungkin akan
menceritakan film itu padaku...secara mendetail.”
"Charlie pasti bingung kalau aku tidak pulang.”
"Terima kasih sudah membantuku.”
"Aku menikmatinya kok. Seharusnya kita melakukan
sesuatu seperti ini lagi. Asyik rasanya bisa punya waktu
khusus cewek-cewek.”
“Jelas.”
Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar.
"Masuklah, Ben,” sahut Angela.
Aku berdiri dan meregangkan otot-ototku.
"Hai, Bella! Bertahan juga kau rupanya.” Ben
menyapaku cepat sebelum menggantikan tempatku di sisi
Angela. Diamatinya hasil kerja kami. "Wah, hebat. Sayang
tidak ada lagi yang perlu dilakukan, kalau tidak aku kan
bisa...” Ben tidak menyelesaikan kalimatnya, kemudian
mulai berbicara lagi dengan penuh semangat. “Ang, rugi
sekali kau tidak ikut nonton film ini! Filmnya bagus sekali.
Di adegan perkelahian terakhir-koreografinya keren sekali!
Cowok ini-well, kau harus menontonnya sendiri baru bisa
memahami maksudku...”


Angela memutar bola matanya padaku.
"Sampai ketemu di sekolah.” kataku tertawa gugup.
Angela mendesah. "Sampai nanti.”
Aku gelisah dalam perjalanan ke trukku, tapi jalanan
kosong. Sepanjang perjalanan sebentar-sebentar mataku
melirik ke semua spion, tapi tidak ada tanda-tanda mobil
perak membuntutiku.
Mobilnya juga tidak ada di depan rumahku, meski itu tak
berarti banyak.
"Bella?" seru Charlie begitu aku membuka pintu depan.
"Hai, Dad.”
Aku menemukan Charlie di ruang duduk, di depan TV.
"Bagaimana harimu?"
"Menyenangkan.” jawabku. Lebih baik kuceritakan saja
semua-karena Charlie pasti juga akan mendengarnya dari
Billy. lagi pula, ini akan membuatnya senang. "Mereka
tidak membutuhkanku di toko, jadi aku pergi ke La Push.”
Wajah Charlie tidak terlalu kaget. Ternyata Billy sudah
bicara dengannya.
"Bagaimana kabar Jacob?" tanya Charlie, berlagak acuh
tak acuh.
"Baik.” jawabku, sama tak acuhnya.
"Jadi ke rumah Weber?"
"Yep. Semua amplopnya sudah selesai diberi alamat.”
"Bagus.” Charlie menyunggingkan senyum lebar.
Tumben ia memerhatikanku, padahal di layar televisi
sedang ditayangkan pertandingan olahraga. "Aku senang
kau nongkrong dengan teman-temanmu hari ini.”


“Aku juga.”
Aku melangkah gontai ke dapur, mencari kesibukan.
Sayang Charlie sudah membereskan bekas makan siangnya.
Aku berdiri di sana beberapa menit, memandangi sepetak
terang cahaya matahari yang menerangi lantai. Tapi aku
tahu tak bisa rnenunda-nundanya lebih lama lagi.
"Aku mau belajar,” kataku muram sambil beranjak
menaiki tangga.
"Sampai nanti.” Charlie balas berseru.
Kalau aku masih hidup, batinku.
Kututup pintu kamar dengan hati-hati sebelum berbalik
menghadap ke dalam kamar.
Tentu saja Edward ada di sana. Ia berdiri di depan
dinding yang berhadapan denganku, dalam bayang-bayang
di sebelah jendela yang terbuka. Wajahnya keras dan
posturnya tegang. Ditatapnya aku dengan garang tanpa
suara.
Aku mengkeret, menunggu semburan kata-kata
pedasnya, tapi tidak ada yang keluar. Ia terus menatapku
garang, mungkin terlalu marah untuk bisa bicara.
"Hai.” sapaku akhirnya.
Wajah Edward bagai batu yang dipahat. Aku
menghitung sampai seratus dalam hati, tapi tidak ada
perubahan.
"Eh... nah, aku masih hidup,” aku memulai.
Geraman pelan terdengar dari dalam dadanya, tapi
ekspresinya tak berubah.
"Tak kurang suatu apa pun,” aku bersikeras sambil
mengangkat bahu.


Edward bergerak. Matanya terpejam, dan ia mencubit
pangkal hidungnya dengan tangan kanannya.
"Bella,” bisiknya. "Tahukah kau aku nyaris nekat
menyeberangi perbatasan hari ini? Melanggar kesepakatan
untuk mencarimu? Tahukah kau apa artinya itu?”
Aku terkesiap dan Edward membuka mata. Mata itu
dingin dan keras seperti malam.
"Kau tidak boleh!" sergahku terlalu keras. Aku berusaha
menyetel volume suaraku supaya Charlie tidak mendengar,
tapi aku juga ingin meneriakkan kata-kata itu. "Edward,
mereka akan menggunakan alasan apa saja untuk
bertarung. Mereka menyukai itu. Pokoknya jangan pernah
melanggar aturan!"
"Mungkin bukan mereka saja yang senang bertarung.”
"Jangan macam-macam.” bentakku. "Kalian yang
membuat kesepakatan itu-jadi kalian harus menaatinya.”
"Kalau dia sampai mencelakakanmu...”
"Cukup!" potongku. "Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. “Jacob tidak berbahaya.”
"Bella,” Edward memutar bola matanya. "Kau bukan
orang yang tepat untuk menilai apa yang berbahaya dan apa
yang tidak.”
"Pokoknya aku tidak perlu khawatir soal Jake. Dan kau
juga tidak perlu.”
Edward menggertakkan giginya. Kedua tangannya
mengepal membentuk tinju di sisi tubuhnya. Ia masih
berdiri di depan dinding, dan aku tidak suka ada jarak yang
memisahkan kami.
Aku menghela napas dalam-dalam, dan melangkah
melintasi ruangan. Edward tak bergerak sedikit pun waktu


aku merangkulnya dengan dua tangan. Di sebelah
kehangatan terakhir matahari sore yang menerobos masuk
lewat jendela, kulitnya terasa sangat dingin. Ia seperti es,
membeku kaku seperti itu.
"Maaf aku membuatmu gelisah.” bisikku.
Edward mendesah, dan sedikit rileks. Kedua lengannya
memeluk pinggangku.
"Gelisah tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.”
gumamnya. "Hari ini rasanya panjang sekali.”
"Kau seharusnya tidak perlu tahu soal itu.” aku
mengingatkan Edward. "Kupikir kau berburu lebih lama.”
Aku mendongak menatap wajah Edward, matanya yang
defensif; dalam keadaan tertekan aku tidak memerhatikan
sebelumnya, tapi ternyata matanya berwarna gelap.
Lingkaran di bawah matanya berwarna ungu tua. Aku
mengerutkan kening tidak suka.
"Waktu Alice melihatmu lenyap, aku langsung kembali.”
Edward menjelaskan.
"Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu. Sekarang
kau harus pergi lagi,” Kerutan di keningku semakin dalam.
"Aku bisa menunggu.”
"Konyol. Maksudku, aku tahu Alice tidak bisa melihatku
saat aku bersama Jacob, tapi kau kan seharusnya tahu...”
"Tapi aku tidak tahu.” potong Edward. "Dan kau tidak
bisa mengharapkanku membiarkanmu...”
"Oh, ya, bisa saja.” selaku. "Memang itulah yang
kuharapkan...”
"Itu tidak akan terjadi lagi."


"Benar sekali! Karena kau tidak boleh bereaksi
berlebihan lagi lain kali.”
"Karena tidak akan ada lain kali.”
"Aku mengerti kapan kau harus pergi, walaupun aku
tidak suka...”
"Itu lain. Aku tidak mempertaruhkan nyawaku.”
"Demikian juga aku.”
"Werewolf sama dengan risiko.”
"Aku tidak setuju.”
"Aku tidak mau bernegosiasi soal ini, Bella.”
"Aku juga tidak.”
Kedua tangan Edward kembali mengepal. Aku bisa
merasakannya di punggungku.
Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa dipikir.
"Apakah ini benar-benar berkaitan dengan keselamaranku?"
"Apa maksudmu?" tuntutnya.
"Kau bukannya...”
Teori Angela kedengarannya lebih konyol daripada
sebelumnya. Sulit sekali menuntaskan pikiranku.
"Maksudku, kau bersikap begini bukan karena cemburu,
kan?”
Edward mengangkat sebelah alis. “Apakah aku
cemburu?"
"Serius dong.”
"Itu mudah – karena memang tidak ada yang lucu dalam
masalah ini.”


Aku mengerutkan kening dengan sikap curiga. "Atau...
mungkin ini soal lain? Omong kosong soal vampir dan
werewolf yang jadi musuh bebuyutan? Atau ini hanya
perselisihan yang dipicu hormon testosteron...”
Sorot mata Edward berapi-api. "Ini hanya tentang kau.
Yang kupedulikan hanya soal keamananmu."
Mustahil meragukan api yang berkobar di matanya.
"Oke.” desahku. "Aku percaya. Tapi aku ingin kau tahu
sesuatu – kalau urusannya sudah menyangkut masalah
musuh bebuyutan, aku tidak mau ikut-ikut, Aku ini negara
netral. Aku Swiss. Aku menolak dipengaruhi perselisihan
soal wilayah kekuasaan antar makhluk mistis. Jacob sudah
seperti keluarga sendiri. Sementara kau... well, tidak bisa
dibilang sebagai kekasih hidupku, karena aku berharap bisa
mencintaimu lebih lama daripada itu. Kekasih eksistensiku.
Aku tak peduli siapa yang werewolf, dan siapa yang
vampir... Kalau Angela ternyata penyihir, dia juga bisa ikut
bergabung.”
Edward memandangiku dengan mata menyipit, tak
berbicara sepatah kata pun.
"Swiss,” ulangku, menandaskan.
Edward mengerutkan kening, kemudian mendesah.
"Bella...” ia hendak mengatakan sesuatu, lalu
mengurungkannya. Hidungnya mengernyit jijik.
"Apa lagi sekarang?”
"Well. jangan tersinggung, tapi baumu seperti anjing.”
kata Edward.
Kemudian ia tersenyum miring, jadi aku tahu
pertengkaran selesai. Untuk sementara.


Edward harus pergi lagi untuk mengganti perburuannya
yang gagal, jadi Jumat malam nanti ia akan berangkat
bersama Jasper, Emmett, dan Carlisle ke kawasan hutan
lindung di California utara yang populasi singa gunungnya
membengkak.
Kami tidak mencapai kesepakatan apa-apa soal werewolf,
tapi aku tidak merasa bersalah saat menelepon Jake – di
kesempatan sempit ketika Edward harus mengembalikan
Volvonya ke rumah sebelum menyelinap masuk lewat
jendela kamarku – untuk memberitahu aku akan datang lagi
Sabtu nanti. Itu bukan sembunyi-sembunyi. Edward tahu
bagaimana perasaanku. Dan kalau ia menyabotase trukku
lagi, akan kusuruh Jacob menjemputku. Forks kan wilayah
netral, sama seperti Swiss-sama seperti aku.
Jadi waktu aku selesai bekerja hari Kamis dan ternyata
Alice yang menungguku di Volvo, bukan Edward, awalnya
aku tidak curiga. Pintu mobil terbuka, dan musik yang tidak
kukenal menggetarkan rangka mobil saat terdengar derum
suara bass.
"Hai, Alice,” teriakku, berusaha mengatasi raungan
suara musik sambil naik ke mobil. "Mana kakakmu?"
Alice menyanyi mengikuti lagu, suaranya satu oktaf lebih
tinggi daripada melodinya, menyatu dalam harmonisasi
yang rumit. Ia mengangguk padaku, mengabaikan
pertanyaanku karena masih berkonsentrasi pada musiknya.
Kututup pintu dan telingaku dengan tangan. Alice
nyengir, lalu mengecilkan volume sampai tinggal musik
latarnya saja. Kemudian ia mengunci pintu dan menginjak
pedal gas pada saat bersamaan.
"Ada apa?" tanyaku, mulai merasa tidak enak. "Mana
Edward?"


Alice mengangkat bahu. "Mereka berangkat lebih awal.”
"Oh.” Aku berusaha mengendalikan kekecewaanku yang
tak masuk akal. Kalau Edward berangkat lebih awal, berarti
ia akan kembali lebih cepat, aku mengingatkan diri sendiri.
"Berhubung semua cowok pergi, jadi kita akan pesta
semalam suntuk!" teriak Alice, suaranya melengking tinggi.
"Pesta semalam suntuk?" ulangku, kecurigaanku
akhirnya terbukti.
"Memangnya kau tidak senang?” kaoknya.
Kutatap mata Alice yang berbinar-binar itu selama
sedetik.
"Kau menculikku, ya?”
Alice tertawa dan mengangguk. "Sampai hari Sabtu.
Esme sudah mendapat izin dari Charlie; kau akan
menginap di rumahku dua malam, dan aku akan
mengantarmu ke dan dari sekolah besok.”
Aku membuang muka ke arah jendela, menggertakkan
gigi dengan gemas.
"Maaf," kata Alice, meski tidak terdengar sedikit pun
nada menyesal dalam suaranya. "Dia menyogokku.”
"Dengan apa?" desisku dari sela-sela rahang.
"Dengan Porsche. Persis seperti yang kucuri di Italia
dulu.” Alice mendesah bahagia. "Aku tidak seharusnya
mengendarainya di sekitar Forks, tapi kalau kau mau, bisa
kita lihat butuh waktu berapa lama untuk sampai di LA dari
sini-berani taruhan, aku pasti bisa membawamu kembali ke
sini tengah malam nanti.”
Aku menghela napas dalam-dalam. "Sepertinya tak
perlu.” desahku, berusaha untuk tidak bergidik.


Kami meliuk-liuk, ngebut seperti biasa, menyusuri jalan
masuk yang panjang. Alice menghentikan mobilnya di
dekat garasi, dan aku cepat-cepat menoleh memandangi
mobil-mobil yang diparkir di sana. Jip besar Emmett ada di
sana, sedangkan Porsche kuning kenari diparkir di antara
jip itu dan sedan convertible merah Rosalie.
Alice melompat turun dengan anggun, dan membelai -
belai bodi sogokannya. "Cantik, kan?”
"Cantiknya berlebihan.” gerutuku, tak percaya. "Dia
memberimu mobil itu hanya untuk menyanderaku selama
dua hari?"
Alice mengernyit.
Sedetik kemudian mendadak aku mengerti dan terkesiap
ngeri. "Ini untuk setiap kali dia pergi, kan?”
Alice mengangguk.
Kubanting pintu mobil dan berjalan dengan langkahlangkah
kesal menuju rumah. Alice menari-nari di
sebelahku, tetap tidak merasa bersalah.
"Alice, apa menurutmu ini tidak sedikit sok mengatur?
Agak sedikit sakit, mungkin?”
"Tidak juga.” Alice mendengus. "Sepertinya kau tidak
menyadari betapa berbahayanya werewolf yang masih muda
itu. Terutama kalau aku tidak bisa melihat mereka. Edward
tidak bisa mengetahui apakah kau aman. Tidak seharusnya
kau sesembrono itu.”
Suaraku berubah sinis. "Ya, karena pesta vampir
semalam suntuk merupakan puncak perilaku yang sadar
keamanan.”
Alice tertawa. "Aku akan memberimu layanan pedikur,
lengkap dengan perawatan lainnya.” janjinya.


Sebenarnya ini tidak terlalu buruk, kecuali fakta aku
disandera di luar kemauanku. Esme membawa makanan
Italia – pokoknya serba lezat, jauh-jauh dari Port Angeles
dan Alice sudah siap dengan film-film favoritku. Bahkan
Rosalie pun ikut, berdiam diri di latar belakang. Alice
benar-benar ngotot ingin melakukan pedikur, dan aku
bertanya-tanya apakah ia membuat daftar – mungkin
sesuatu yang disusunnya dari hasil menonton sinetronsinetron
kacangan.
"Sampai jam berapa kau mau begadang?" tanya Alice
setelah kuku-kuku jariku berkilau merah darah.
Antusiasmenya tetap berkobar meski suasana hatiku jelek.
“Aku tidak mau begadang. Besok kita harus sekolah.”
Alice mencebik.
"Omong-omong, aku harus tidur di mana?" Kuukur
panjang sofa dengan mataku. Ukurannya agak pendek.
"Memangnya kau tidak bisa mengawasiku di rumahku
saja?"
"Pesta semalam suntuk apa itu?' Alice menggeleng putus
asa. "Kau tidur di kamar Edward.”
Aku mendesah. Sofa kulit hitamnya memang lebih
panjang daripada yang ini. Bahkan karpet emas di
kamarnya mungkin cukup tebal sehingga tidur di lantai pun
tidak masalah.
"Boleh aku pulang ke rumahku untuk mengambil barangbarangku,
paling tidak?”
Alice nyengir. "Sudah dibereskan.”
"Boleh kupakai teleponmu?"
"Charlie tahu kau di mana.”


"Aku bukan mau menelepon Charlie,” Aku mengerutkan
kening. "Ada beberapa rencana yang harus kubatalkan.”
"Oh.” Alice menimbang-nimbang. "Soal itu aku kurang
yakin.”
“Alice!" erangku keras-keras, "Ayolah!"
"Oke, oke.” ujarnya, melesat keluar kamar, Setengah
detik kemudian ia kembali, ponsel di tangan. "Dia tidak
secara spesifik melarang ini...,” gumamnya pada diri sendiri
sambil menyerahkan ponsel.
Aku menghubungi nomor Jacob, mudah-mudahan ia
tidak sedang berkeliaran dengan teman-temannya malam
ini. Aku beruntung – Jacob sendiri yang menjawab.
"Halo?"
"Hai, Jake, ini aku.” Sedetik Alice menatapku dengan
sorot tanpa ekspresi, sebelum berbalik dan duduk di antara
Rosalie dan Esme di sofa.
"Hai, Bella,” kata Jacob, mendadak waswas. "Ada apa?”
"Kabar buruk. Ternyata aku tidak bisa datang ke
rumahmu Sabtu nanti.”
Jacob terdiam sebentar. "Dasar pengisap darah tolol.”
gerutunya akhirnya. "Kupikir dia pergi. Memangnya kau
tidak bisa punya kehidupan lain kalau dia tidak ada? Atau
jangan-jangan dia menguncimu di peti mati?"
Aku tertawa.
"Menurutku itu tidak lucu.”
"Aku tertawa karena tebakanmu hampir tepat,” kataku.
"Tapi dia akan pulang hari Sabtu, jadi itu tidak
masalah.”


"Dia mencari mangsa di Forks, kalau begitu?” sindir
Jacob sengit.
"Tidak.” Aku tidak membiarkan diriku jengkel karena
kata-kata Jacob. Soalnya aku sendiri juga nyaris sama
marahnya dengan Jacob. "Dia berangkat lebih awal.”
"Oh. Well, hei, datanglah sekarang kalau begitu.” sergah
Jacob, mendadak antusias. "Sekarang belum terlalu malam.
Atau aku bisa datang ke rumah Charlie.”
"Kalau saja bisa. Aku bukan di rumah Charlie,” kataku
jengkel. "Bisa dibilang aku disandera.”
Jacob terdiam saat otaknya mencerna perkataanku,
kemudian menggeram. "Kami akan datang menjemputmu.”
janjinya datar, otomatis langsung menggunakan kata ganti
orang jamak.
Perasaan dingin menjalari tulang belakangku, tapi aku
menanggapinya dengan nada ringan dan menggoda.
"Sungguh menggoda. Aku memang disiksa di sini-Alice
mengecat kuku kakiku.”
“Aku serius.”
"Tidak usah. Mereka hanya berusaha mengamankan
aku.”
Jacob menggeram lagi.
"Aku tahu ini tolol, tapi mereka sebenarnya berhati
baik.”
"Berhati baik?”dengusnya.
"Maaf tentang hari Sabtu.” aku meminta maaf "Aku
harus naik ke tempat tidur" -sofa, koreksiku dalam hati-"tapi
akan kutelepon kau lagi nanti.”


"Kau yakin mereka akan mengizinkanmu? tanya Jacob
sengit.
"Tidak sepenuhnya.” Aku mendesah. '''Malam, Jake.”
"Sampai nanti.”
Tahu-tahu Alice sudah berdiri di sampingku, tangannya
terulur meminta ponsel, tapi aku sudah menghubungi
nomor lain. Ia melihat nomornya.
"Sepertinya dia tidak membawa ponsel,” kata Alice.
"Aku akan meninggalkan pesan.”
Telepon berdering empat kali, disusul bunyi "bip" Tidak
ada salam apa-apa.
“Awas kau nanti.” kataku lambat-lambat, menekankan
setiap kata. "Kau akan menghadapi masalah besar. Beruang
grizzly yang marah akan terlihat jinak dibandingkan apa
yang menunggumu di rumah.”
Kututup ponsel kuat-kuat dan kuletakkan di telapak
tangan Alice yang sudah menunggu. "Aku sudah selesai.”
Alice nyengir. "Asyik juga main sandera-sanderaan
begini.”
"Aku mau tidur sekarang.” kataku, berjalan menuju
tangga.
Alice langsung membuntuti.
“Alice,” desahku. "Aku bukan mau menyelinap pergi
diam-diam. Kau pasti tahu kalau aku berniat berbuat begitu,
dan kau pasti akan menangkapku kalau aku berani cobacoba.”
“Aku hanya mau menunjukkan di mana barangbarangmu
disimpan.” tukasnya sok lugu.


Kamar Edward di ujung lorong lantai tiga, tidak
mungkin salah masuk walaupun kau tidak terlalu familier
dengan rumah besar ini. Tapi waktu aku menyalakan
lampunya, aku tertegun bingung. Jangan-jangan aku salah
masuk kamar?
Alice terkikik.
Ini memang kamar yang sama, aku menyadari dengan
cepat; perabotnya saja yang ditata ulang. Sofa dipindahkan
ke dinding utara dan stereo diletakkan menempel ke rak CD
yang memenuhi dinding-untuk memberi tempat bagi
ranjang besar yang kini mendominasi tengah-tengah
ruangan.
Dinding selatan yang terbuat dari kaca memantulkan
pemandangan itu seperti cermin, membuatnya tampak dua
kali lebih mengerikan.
Ranjang itu senada dengan perabot lain di kamar itu.
Penutupnya berwarna emas buram, sedikit lebih terang
daripada warna dinding-dindingnya; rangkanya hitam,
terbuat dari besi tempa dengan pola yang rumit. Mawarmawar
yang dibentuk dari besi melingkar-lingkar di tiang
ranjang yang tinggi dan membentuk semacam tirai yang
menjuntai di atas kepala. Piamaku terlipat rapi di kaki
ranjang, tas perlengkapan mandiku di sebelahnya.
"Apa-apaan ini?" semburku,
"Kau tidak berpikir dia akan membiarkanmu tidur di
sofa, kan?”
Aku bergumam tidak jelas dan menghambur masuk
untuk menyambar barang-barangku dari tempat tidur.
"Aku pergi dulu supaya kau bisa memiliki sedikit
privasi.” tawa Alice. "Sampai besok.”


Setelah menggosok gigi dan berganti baju, kusambar
bantal bulu gemuk dari atas ranjang besar dan menyeret
selimut emas itu ke sofa. Aku tahu sikapku ini konyol, tapi
aku tak peduli. Menyogok dengan Porsche dan ranjang
king-size di rumah yang anggota keluarganya tak pernah
tidur – semua itu benar-benar sangat menjengkelkan.
Kumatikan lampu-lampu dan meringkuk di sofa, bertanyatanya
dalam hati apakah hatiku terlalu kesal untuk bisa
tidur.
Dalam gelap dinding kaca tak lagi tampak seperti cermin
hitam yang memantulkan seisi kamar. Cahaya bulan
menerangi awan-awan di luar jendela. Setelah mataku bisa
menyesuaikan diri, aku bisa melihat pendar cahaya bulan
menerangi puncak-puncak pohon, dan memantul di seruas
kecil sungai. Kupandangi cahaya keperakan itu, menunggu
kelopak mataku memberat.
Terdengar ketukan pelan di pintu.
"Ya, Alice?" desisku. Aku langsung memasang sikap
defensif membayangkan betapa gelinya Alice melihatku
tidur di sofa.
"Ini aku,” jawab Rosalie lembut, membuka pintu
secelah supaya aku bisa melihat cahaya perak bulan
menyentuh wajahnya yang sempurna. "Boleh aku masuk"
7. AKHIR YANG MENYEDIHKA N
ROSALIE ragu-ragu sejenak di ambang pintu, wajahnya
yang memesona tampak ragu.
"Tentu saja.” sahutku, suaraku satu oktaf lebih tinggi
karena kaget. "Silakan masuk.”


Aku duduk tegak-tegak, bergeser ke ujung sofa untuk
memberinya tempat. Perutku terpilin gugup saat satusatunya
anggota keluarga Cullen yang tidak menyukaiku itu
bergerak tanpa suara, lalu duduk di tempat yang kosong.
Aku berusaha memikirkan alasan mengapa Rosalie ingin
menemuiku, tapi pikiranku hampa.
"Kau tidak keberatan bicara sebentar denganku?” tanya
Rosalie. "Aku tidak membangunkanmu atau apa, kan?
Matanya melirik tempat tidur yang telanjang tanpa
penutup, lalu kembali ke sofaku.
"Tidak, aku belum tidur, Tentu kita bisa bicara.” Entah
apakah ia bisa mendengar nada waswas dalam suaraku
sama jelasnya seperti aku bisa mendengarnya.
Rosalie tertawa renyah, dan kedengarannya seperti
denting serenceng lonceng. "Dia sangat jarang
meninggalkanmu sendirian.” katanya. "Jadi kupikir
sebaiknya kumaanfaatkan saja kesempatan langka ini.”
Apa yang ingin disampaikan Rosalie yang tidak bisa ia
katakan di depan Edward? Tanganku meremas-remas
gelisah pinggiran selimut.
"Kuharap kau tidak menganggapku ikut campur.” kata
Rosalie, suaranya lembut dan nyaris bernada memohon. Ia
melipat kedua tangannya di pangkuan dan menunduk
memandanginya saat bicara, "Aku yakin aku sudah cukup
sering melukai perasaanmu pada masa lalu, jadi aku tidak
ingin melakukannya lagi.”
"Jangan khawatir soal itu, Rosalie. Perasaanku baik-baik
saja. Ada apa?'
Lagi-lagi Rosalie tertawa, kedengarannya malu. "Aku
akan mencoba menjelaskan kepadamu, kenapa menurutku


sebaiknya kau tetap menjadi manusia-kenapa aku akan
memilih tetap menjadi manusia kalau aku jadi kau.”
"Oh.”
Rosalie tersenyum mendengar seruanku yang bernada
syok, kemudian mendesah.
"Pernahkah Edward bercerita padamu, apa yang
menyebabkan ini terjadi?” tanya Rosalie, melambaikan
tangan ke tubuh abadinya yang menawan.
Aku mengangguk lambat-lambat, tiba-tiba sendu. "Kata
Edward, hampir sama seperti yang terjadi padaku di Port
Angeles waktu itu, hanya saja tidak ada orang yang
menyelamatkanmu.” Aku bergidik mengenang peristiwa
itu.
"Benarkah hanya itu yang dia ceritakan padamu?" tanya
Rosalie.
"Ya.” jawabku, suaraku terdengar bingung.
"Memangnya masih ada lagi?’
Rosalie mendongak menatapku dan tersenyum;
ekspresinya keras dan pahit – namun tetap memesona.
"Ya,” jawabnya. "Masih ada lagi.”
Aku menunggu sementara Rosalie memandang ke luar
jendela. Tampaknya ia berusaha menenangkan dirinya
sendiri.
"Maukah kau mendengar ceritaku, Bella? Akhir kisahnya
menyedihkan – tapi mana ada kisah kami yang berakhir
bahagia? Kalau kisah kami berakhir bahagia, kami semua
pasti sudah berada di dalam kubur sekarang.”
Aku mengangguk, meski takut mendengar keresahan
dalam suaranya.


“Aku hidup di dunia yang sama sekali berbeda dari
duniamu, Bella. Dunia manusiaku dulu jauh lebih
sederhana, Saat itu tahun 1933. Umurku delapan belas, dan
aku cantik. Hidupku sempurna."
Rosalie memandang ke luar jendela, ke awan-awan yang
keperakan, ekspresinya menerawang.
"Orangtuaku berasal dari kalangan menengah. Ayahku
memiliki pekerjaan yang mapan di sebuah bank, sesuatu
yang kusadari sekarang sangat dibanggakan ayahku-beliau
melihat kemakmurannya sebagai buah dari bakat dan kerja
keras, daripada mengakui ada juga faktor keberuntungan di
sana. Ketika itu aku menganggap semua itu biasa saja; di
rumahku, era Depresi Besar hanya dianggap kabar burung
yang mengganggu. Tentu saja aku melihat orang-orang
miskin yang tidak seberuntung aku. Penjelasan ayahku
meninggalkan kesan seolah-olah kemiskinan itu akibat
kemalasan mereka sendiri.
"Ibuku mendapat tugas mengurus rumah-termasuk aku
dan dua adik lelakiku-agar bersih dan teratur. Jelas
kelihatan akulah prioritas utama sekaligus anak kesayangan
ibuku. Waktu itu aku tak sepenuhnya mengerti, tapi samarsamar
sebenarnya aku selalu menyadari kedua orangtuaku
tidak puas dengan apa yang mereka miliki, walaupun itu
jauh lebih banyak daripada yang dimiliki kebanyakan
orang. Mereka ingin lebih. Mereka memiliki aspirasi sosialsocial
climbers, begitulah istilahnya, Kecantikanku bagai
anugerah bagi mereka. Mereka melihat jauh lebih banyak
potensi di dalamnya daripada aku.
"Mereka belum puas, tapi aku sudah. Aku senang
menjadi diriku sendiri, menjadi Rosalie Hale. Senang
karena mata setiap lelaki memandangiku ke mana pun aku
pergi, sejak aku berumur dua belas tahun. Gembira karena
teman-teman perempuanku mendesah iri setiap kali


menyentuh rambutku. Bahagia karena ibuku bangga
padaku dan ayahku senang membelikan aku gaun-gaun
indah.
"Aku tahu apa yang kuinginkan dalam hidup ini, dan
kelihatannya tidak ada yang menghalangiku mendapatkan
apa yang kuinginkan. Aku ingin dicintai, dipuja. Aku ingin
pernikahanku dipestakan besar-besaran, dihiasi banyak
bunga, dan semua orang di kota akan menyaksikan aku
berjalan di lorong gereja dalam gandengan ayahku dan
menganggapku mempelai tercantik yang pernah mereka
lihat, Kekaguman sudah seperti udara bagiku, Bella. Aku
memang tolol dan dangkal, tapi aku bahagia.” Rosalie
tersenyum, geli mendengar penilaiannya sendiri.
"Pengaruh kedua orangtuaku begitu kuat hingga aku juga
menginginkan materi dalam hidup ini. Aku ingin punya
rumah besar dengan perabot elegan dan pelayan untuk
membersihkannya, menginginkan dapur modern lengkap
dengan juru masaknya. Seperti kataku tadi, dangkal. Muda
dan sangat dangkal. Dan aku tidak melihat alasan mengapa
aku tidak bisa mendapatkan semua itu.
"Ada juga beberapa hal lain yang kuinginkan yang lebih
berarti. Ini salah satunya. Sahabat karibku seorang gadis
bernama Vera. Dia menikah muda saat usianya baru tujuh
belas. Dia menikah dengan pemuda yang tidak akan pernah
direstui orangtuaku-seorang tukang kayu. Setahun
kemudian Vera melahirkan anak laki-laki, bocah tampan
dengan lesung pipi dan rambut hitam keriting. Untuk
pertama kalinya seumur hidupku aku benar-benar iri pada
orang lain.”
Rosalie menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa
diterka. "Saat itu zamannya berbeda. Aku seumur
denganmu sekarang, tapi aku sudah siap untuk semua itu.
Aku mendambakan punya bayi sendiri. Aku ingin punya


rumah sendiri, juga suami yang akan menciumku sepulang
kerja-persis seperti Vera. Tapi tentu saja rumah yang ada
dalam bayanganku berbeda dengan rumahnya...”
Sulit bagiku membayangkan dunia yang dulu dikenal
Rosalie. Ceritanya terdengar lebih mirip dongeng daripada
riwayat hidup. Aku sedikit syok saat menyadari dunianya
nyaris mirip dunia yang dijalani Edward ketika ia masih
menjadi manusia, dunia tempat ia tumbuh besar. Aku
sempat bertanya-tanya sendiri-saat Rosalie terdiam sejenakapakah
duniaku juga membingungkan bagi Edward seperti
dunia Rosalie membingungkanku?
Rosalie mendesah, dan waktu berbicara lagi suaranya
berbeda, kesenduannya lenyap.
"Di Rochester, hanya ada satu keluarga bangsawan-dan
ironisnya, nama mereka King. Royce King adalah pemilik
bank tempat ayahku bekerja. Dia juga memiliki hampir
semua usaha lain yang sangat menguntungkan di kota itu.
Di sanalah anak lelakinya, Royce King Kedua" -bibir
Rosalie mencibir saat mengucapkannya, nama itu meluncur
keluar dari sela-sela gigi-"melihatku untuk pertama kalinya.
Karena akan mengambil alih kepemimpinan di bank itu, dia
mulai mengawasi berbagai jabatan berbeda. Dua hari
kemudian ibuku berlagak lupa membawakan makan siang
untuk ayahku. Aku ingat betapa bingungnya aku waktu
ibuku bersikeras agar aku mengenakan gaun organza
putihku dan mengikalkan rambut hanya untuk pergi ke
bank sebentar.” Rosalie tertawa tanpa emosi.
"Aku tidak menyadari Royce memerhatikanku. Semua
orang memerhatikanku. Tapi malam itu, mawar-mawar
pertama mulai datang. Setiap malam selama kami pacaran,
dia mengirimkan mawar untukku. Kamarku selalu dipenuhi
mawar. Saking banyaknya, setiap kali meninggalkan rumah
tubuhku harum seperti mawar.


"Royce juga tampan. Rambutnya bahkan lebih pirang
daripada aku, dan matanya biru pucat. Menurutnya,
mataku bagaikan bunga violet, dan kemudian bunga-bunga
violet itu pun mulai berdatangan bersamaan dengan
kiriman mawar.
"Orangtuaku setuju-itu penggambaran yang paling
sederhana. Karena ini adalah segalanya yang mereka
impikan. Dan Royce tampaknya memiliki semua yang
kuimpikan. Pangeran dari negeri dongeng, datang untuk
menjadikanku putri. Semua yang kuinginkan, namun tetap
di luar dugaan. Kami bertunangan saat aku baru
mengenalnya kurang dari dua bulan.
"Kami jarang menghabiskan waktu berdua. Royce
mengatakan dia punya banyak tanggung jawab pekerjaan,
dan, bila ada kesempatan bersama-sama, dia senang
memamerkan aku pada orang-orang lain, menggandeng
lenganku. Aku senang diperlakukan seperti itu. Banyak
sekali pesta-pesta, dansa-dansi, dan gaun-gaun cantik.
Kalau kau anggota keluarga King, semua pintu terbuka
lebar untukmu, semua karpet merah dibentangkan untuk
menyambutmu.
"Pertunangan kami tidak lama. Berbagai rencana sudah
disusun untuk menyelenggarakan pesta pernikahan yang
paling mewah. Itu akan jadi perayaan yang kudambakan
selama ini. Aku sangat bahagia. Kalau pergi mengunjungi
rumah Vera, aku tak lagi merasa iri. Kubayangkan anakanakku
yang berambut pirang bermain-main di halaman
rumah keluarga King yang luas, dan aku merasa kasihan
kepada Vera.”
Tiba-tiba Rosalie menghentikan kisahnya, mengatupkan
rahangnya rapat-rapat. Aku tersadar dari keasyikanku
mendengarkan ceritanya, dan sadar kisahnya nyaris sampai
di bagian menyeramkan. Tidak ada akhir yang


membahagiakan, begitu kata Rosalie tadi. Aku bertanyatanya
dalam hati, inikah sebabnya Rosalie menyimpan
lebih banyak kepahitan dalam dirinya dibandingkan
anggota keluarga yang lain-karena ia nyaris mendapatkan
semua yang ia inginkan saat kehidupannya sebagai manusia
direnggut.
"Aku pergi ke rumah Vera malam itu.” Rosalie berbisik.
Wajahnya halus bagaikan pualam, dan sama kerasnya.
"Henry kecilnya benar-benar menggemaskan, suka
tersenyum memamerkan lesung pipinya-dia baru belajar
duduk sendiri. Vera mengantarku ke depan pintu waktu aku
mau pulang, menggendong bayinya, bersama suami yang
merangkul pinggangnya. Si suami mengecup pipi Vera
waktu dia kira aku tidak melihat. Itu membuatku gundah.
Kalau Royce menciumku, sepertinya berbeda-entah
mengapa, sepertinya tidak semanis itu... tapi kusingkirkan
pikiran itu jauh-jauh. Royce pangeranku. Suatu hari nanti,
aku akan menjadi ratunya.”
Meski sulit memastikannya dalam cahaya bulan, namun
tampaknya wajah Rosalie yang seputih tulang berubah
semakin pucat. .
"Jalan-jalan mulai gelap, lampu-lampu sudah menyala.
Aku tidak sadar hari ternyata sudah larut malam.” Rosalie
terus berbisik, nyaris tak terdengar. "Hawa juga dingin.
Sangat dingin untuk akhir bulan April. Pernikahan tinggal
seminggu lagi, dan aku mengkhawatirkan cuaca sambil
bergegas pulang-aku bisa mengingatnya sejelas itu. Aku
ingat setiap detail tentang malam itu. Aku mempertahankan
kenangan itu sekuat tenaga... pada awalnya. Aku tidak
memikirkan yang lain. Karenanya aku ingat ini, ketika
banyak kenangan indah lain justru telah hilang
sepenuhnya...”


Baca Twilight Saga Eclipse Part 2

2 komentar:

Di mohon untuk tidak melakukan SPAM .. And Thak you....^_*

http://www.claimfans.com